Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkaan yang beragam variasinya dan menimbulkan reaksi berbeda-beda. Sebagian pendukungnya giat merapatkan barisan dan menembak mereka yang dituding itu dengan berbagai peluru politik, yang karet ataupun yang tajam. Pendukung yang lebih fanatik bahkan menggeramkan ancaman untuk menyiapkan massa bersenjata turun ke jalan. Sementara itu, yang dituding rajin berkelit, membantah, bahkan menyerang balik. Adapun yang terjepit di antara kedua pihak iniseperti para pelaku pasar dan orang awammenjadi waswas. Akibatnya, rasa aman berkurang, nilai rupiah melorot, dan harapan atas masa depan yang lebih baik semakin langka.
Boleh dikata tak ada yang untung dengan keadaan ini kecuali mereka yang tak peduli nasib bangsa. Tapi para pemimpin politik, yang selalu mencitrakan diri sebagai pembawa aspirasi rakyat, tetap saja asyik bergelut. Sepertinya jarak antara apa yang mereka anggap penting dan yang dirasakan masyarakat luas semakin jauh. Orang Inggris barangkali menyebutnya sebagai gejala disconnect, sementara kebanyakan kitayang masih ingat kegagalan eksperimen demokrasi bangsa ini di tahun 1950-anberdebar-debar meyakinkan diri bahwa harapan Indonesia menjadi negara demokratis terbesar ketiga di dunia bukanlah sebuah mission impossible.
Perasaan yang sama juga terpancar dari orang-orang dekat Presiden di Istana. Gus Dur, keluh seorang sahabatnya, ''gemar membuat para pendukungnya berada di posisi yang sulit." Keluhan yang tulus dan patut dicermati dengan serius karena banyak pendukung presiden keempat Indonesia ini dikenal sebagai tokoh-tokoh prodemokrasi yang nyaris tanpa pamrih dan punya reputasi prima.
Kekecewaan mereka tentu beralasan. Berbagai skandal yang belakangan ini meracuni masa jabatan Gus Dur lebih banyak berasal dari dirinya ketimbang pihak lawan. Kecenderungannya untuk banyak berbicara tanpa persiapan dan melakukan berbagai kegiatan tanpa mengindahkan aturan kenegaraan memunculkan banyak persoalan. Suatu kelemahan yang mudah diterima di saat awal masa jabatanketika bulan madu masih berlaku dan orang ramai sadar bahwa masa belajar sedang berlangsungtapi meruapkan skandal dan kejengkelan ketika berulang untuk kesekian kalinya.
Terutama karena hampir semua pengamat sepakat bahwa Presiden Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh yang sangat cerdas, memiliki visi kenegaraan yang cemerlang, dan kredibilitas tinggi perihal perjuangannya menegakkan demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia. Pribadi yang menelurkan harapan tinggi saat terpilih menjadi presiden Indonesia dan memecahkan kekecewaan ketika berbagai skandal kolusi dan korupsi mencuat dari orang-orang di sekelilingnya. Ibarat lakon Dr. Jekyll & Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson, Gus Dur mempunyai dua karakter yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Sang Visioner yang mendecakkan kekaguman orang banyak dan sang Manajer yang amburadul tapi merasa paling hebat.
Sebagai Visioner, Gus Dur dianggap pilihan tepat untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi. Perjuangannya untuk menyuburkan semangat toleransi antarumat yang berbeda agama, puak, golongan, ras, bahkan ideologi boleh dikata mendekati legenda. Ia tak hanya meneruskan jasa ayahnya dalam mempersatukan kalangan Islam dan nasionalis dalam membentuk negara Indonesia, melainkan juga dalam mencerdaskan dan mempersiapkan bangsa menjadi anggota komunitas dunia yang diperhitungkan.
Sayangnya, sebagai Manajer, Gus Dur bukannya menghasilkan solusi, malah menjadi akar permasalahan. Ia bahkan tak mampu mengamankan Istana dari bau kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akibatnya, upaya pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk memulihkan ekonomi nasional mudah tersandung. Wibawa pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam upaya penegakan hukum terperosok. Kedua hal ini membuat kepercayaan terhadap kemampuan masyarakat sipil untuk mengelola negara tergoyahkan dan godaan otoriterisme mulai menyala kembali.
Ancaman kembalinya otoriterisme ini tak boleh dianggap enteng. Samuel Huntington, pakar politik yang tersohor itu, pernah melakukan penelitian tentang nasib 30-an negara yang mengalami transisi menuju demokrasi. Pada negara yang penghasilan per kapitanya di atas $ 3.000, transisi boleh dikata berjalan mulus dan ancaman kudeta tak terdengar sama sekali. Pada kelompok negara yang penghasilan per kapitanya $ 1.000 hingga $ 3.000, tercatat beberapa percobaan kudeta militer tapi semuanya gagal. Pengambilalihan kekuasaan oleh pemilik bedil berjalan sukses di negara-negara dengan pendapatan per kapita di bawah $1.000, terutama sekitar $ 500.
Kita tahu bahwa penghasilan per kapita Indonesia saat ini sekitar $ 600, dan dalam kategori Profesor Huntington, masuk daerah berisiko tinggi untuk kembali ke rezim non-demokratis. Itu sebabnya, risiko ini harus dipertimbangkan dengan sangat serius oleh para politisi, termasuk Gus Dur dan kelompoknya, dalam melakukan manuver-manuver politik.
Bahkan, ada baiknya, semua pihak bersatu padu dalam memaksimalkan kemampuan Gus Dur sebagai sang Visioner dan meminimalkan kelemahannya sebagai sang Manajer.
Sungguh ironis. Kita harus melindungi Gus Dur yang baik dari Gus Dur yang arogan. Presiden Abdurrahman Wahid patut diimbau agar menyetop kegiatannya menuding ke mana-mana.
Kalaupun Gus Dur sulit menghentikan kebiasaan buruknya ini, ia dipersilakan menuding dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo