Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Menikmati Veteran di J League

Kompetisi Liga Sepak Bola Jepang merupakan contoh sukses pembinaan dalam tempo singkat. Sayang, masih terlalu lembek.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBARAT restoran, kini televisi swasta menawarkan menu lebih lengkap, terutama bagi penggemar sepak bola dunia. Pengelola siaran partikelir tidak hanya menyajikan siaran langsung liga Eropa dan Amerika Latin. Salah satu televisi swasta sejak Sabtu lalu menyuguhkan sajian peluh dari pemain sepak bola Jepang. Siaran itu bersamaan dengan awal musim kompetisi Liga Jepang, yang dikenal dengan merek J League. Liga ini memang masih kalah pamor dan kelas dibandingkan dengan liga Eropa atau Amerika Latin. Namun, dilihat dari usianya, Liga Jepang merupakan contoh sukses. Dibentuk sepuluh tahun lalu, J League baru memulai kompetisinya dua tahun kemudian. Saat itu, liga ini hanya diikuti sepuluh kesebelasan. Kini, pesertanya membengkak menjadi 28 tim?16 tim berada di divisi satu dan sisanya di divisi dua. Liga Sepak Bola Jepang sebenarnya berawal 37 tahun lalu dalam bentuk kompetisi amatir. Tim yang bermain merupakan bentukan dari perguruan tinggi di Jepang. Kini, setelah dikelola secara profesional, liga ini ternyata mampu menggenjot prestasi Jepang di tingkat dunia. Hasilnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Jepang meloloskan tim nasionalnya ke putaran final Piala Dunia di Prancis pada 1998. Tahun ini, mereka kembali bermain di putaran final Piala Dunia?setelah mendapat tiket gratis sebagai tuan rumah bersama Korea Selatan. Sukses itu berawal dari kompetisi yang mencetak pemain-pemain kelas dunia. Salah satu tim yang cukup mencorong adalah juara liga tahun lalu, Kashima Antlers. Selama tiga tahun terakhir, Kashima dilatih oleh Toninho Cerezo dari Brasil. Tim itu telah mencatat prestasi menjadi juara tiga kali, dan dua kali menempati posisi runner-up. Nama besar Kashima mungkin hanya bisa ditandingi oleh Jubilo Iwata. Tim dari Kota Iwata ini dalam empat tahun terakhir tak tergeser dari posisi empat besar. Bahkan dua tahun lalu mereka sempat menjadi jawara. Tahun lalu, pemain tengah Jubilo, Toshiya Fujita, mendapat gelar pemain terbaik. Jubilo juga terkenal dengan duet penyerang Dimitri Radchenko dan Masashi Nakayama. Radchenko adalah pemain tim nasional Rusia yang tiga tahun lalu hijrah dari Deportivo, Spanyol. Sedangkan pemain tua Nakayama, 35 tahun, dua tahun lalu tercatat sebagai pencetak gol terbanyak. Satu tim lagi yang layak diperhitungkan adalah Yokohama F Marinos. Tim ini tahun lalu duduk di tempat kedua. Prestasi itu tak lepas dari racikan manajernya, pemain nasional Argentina pada akhir 1970-an, Osvaldo Cesar Ardiles. Selain dipenuhi pemain lokal, J League mempunyai daya tarik dengan merumputnya sejumlah pemain asing?meski kebanyakan pemain veteran dunia yang menjelang masa pensiun. Nama seperti Zico, Dunga, Gary Lineker, Pierre Littbarski, Hristo Stoitchkov, Daniele Masaro, dan Salvatore Schillaci pernah meramaikan liga ini. Sementara itu, pelatih Arsenal saat ini, Arsene Wenger, juga pernah menjadi pelatih untuk tim Nagoya Grampus Eight. Kini pemain-pemain dunia itu telah pensiun. Pemain yang berasal dari Eropa Timur dan Amerika Latin yang kini masih bermain di Jepang rata-rata adalah pemain kelas dua. Selain memiliki pemain impor, Liga Jepang termasuk sukses menjual beberapa pemain binaannya. Kazuyoshi Miura merupakan binaan Liga Jepang pertama yang bermain di liga Eropa, bersama klub Genoa, Italia, delapan tahun lalu. Miura, yang dibesarkan klub Verdy Kawasaki, kemudian bermain untuk Zagreb dalam Liga Kroasia. Namun, dua tahun lalu dia kembali ke Jepang dan kini bergabung dengan Vissel Kobe. Sukses paling besar adalah lahirnya Hidetoshi Nakata. Pemain kelahiran 25 tahun lalu itu ditempa oleh Bellmare Hiratsuka sejak 1995. Setelah bermain untuk Perugia, AS Roma, dan Parma di Italia, kini kabarnya Nakata akan segera pindah ke Chelsea, Inggris. Sedangkan dua pemain lainnya yang masih bermain di Eropa adalah Shoji Jo (Marinos, Spanyol) dan Shinji Ono (Feyenoord, Belanda). Namun, menurut Philippe Troussier, pelatih tim nasional Jepang, J League terlalu lembek. Pelatih asal Prancis ini menyebut permainan Liga Jepang terlalu soft, baik pemain maupun wasitnya. ?Benturan sedikit saja sudah dianggap pelanggaran,? kata Troussier seperti dikutip situs J League. Padahal benturan yang lebih keras di kompetisi Liga Spanyol, Inggris, atau negara Eropa lainnya tak bakal menjadi pelanggaran. Troussier juga menyebut para pemain dan manajer liga Jepang masih membutuhkan banyak pengalaman. ?Para manajer itu mestinya pergi ke Afrika agar mereka lebih paham segala hal,? kata Troussier. Bagaimana pemain Indonesia? Cukup duduk di depan layar kaca dulu. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus