Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sudah Padam, tapi Masih Berasap

Masyarakat Ambon meluapkan semangat berdamai dengan berpawai. Tiada lagi dendam?

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANDONGE sio gandonge. Mari beta gendong, beta gendong ale jua, satu hati, satu gandonge?." Syarif, kernet angkutan kota jurusan Keboncengkih di Kota Ambon, melantunkan nyanyian daerah ini sembari menarik ongkos dari para penumpang. Lagu Gandonge yang syairnya melukiskan indahnya hidup berdampingan dengan kelompok lain itu menjadi lagu yang dibenci dan terlarang dinyanyikan sejak konflik Ambon meletus pertama kali 19 Januari 1999. Tapi pekan lalu pemuda 22 tahun itu bisa dengan santai mendendangkannya lagi. Ketegangan di Ambon dan juga di daerah lain di Kepulauan Maluku memang mulai mencair, tak lama setelah pertemuan Malino II 11-12 Februari lalu usai. Dalam perundingan yang diadakan di Malino, kota pegunungan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan itu, kedua kelompok yang bertikai menyetujui 11 butir kesepakatan. Poin yang terpenting, antara lain, penghentian kekerasan, pengembalian para pengungsi ke tempat semula, dan penegakan hukum. Sepulang dari Malino, delegasi kelompok Islam dan Kristen langsung menyebarkan ke-sepakatan Malino II ke masyarakat. Kedua kubu memanfaatkan berbagai saluran seperti gereja, masjid, bahkan obrolan di warung kopi, untuk menjalarkan kesepakatan Malino II. Mereka juga bekerja sama dengan para bapak raja (kepala desa) di penjuru Maluku untuk menjaga kerukunan. Pelan tapi pasti, akhirnya kekerasan di akar rumput berangsur surut. Di luar dugaan, gairah berdamai cepat sekali menyebar, dan Kamis lalu meluap dalam wujud pawai. Penduduk Kota Ambon berkonvoi dari area permukiman muslim di Jalan Slamet Riyadi, memasuki kawasan Mardika, lalu ke tempat permukiman Kristen di Jalan A.Y. Patty. Ada yang berpawai sambil menyanyikan lagu-lagu daerah, ada yang saling menyapa setelah sekian lama tak berjumpa, ada juga yang cuma menonton. Ular-ularan massa dan berbagai jenis kendaraan itu berkeliling kota dari tengah hari hingga lepas magrib. Warga Ambon seperti memasuki kehidupan baru. Polisi dan tentara yang selama ini selalu bersiaga sudah tampak berbaur di jalanan. Pusat keramaian yang masih tersisa (tidak terbakar), seperti Ambon Plaza, mulai ramai dikunjungi penduduk. "Saya sangat senang bisa kembali berbelanja di sini," kata Popy Kastanya, seorang ibu 54 tahun yang sejak kerusuhan meletus baru berani datang ke pusat pertokoan itu Jumat pekan lalu. Pertikaian benar-benar sudah usai? Sebagian besar warga yang ditemui TEMPO memang berharap begitu. Tapi ada juga yang justru mengkhawatirkan luapan kegembiraan yang datang amat cepat itu. "Dua kelompok memang sudah membaur, tapi saya khawatir masih ada dendam yang bisa menyulut kerusuhan lagi," kata Muhamad, 34 tahun, warga Desa Batumerah, Ambon. Munculnya provokator yang paling dikhawatirkan oleh masyarakat Ambon. Insiden penembakan sopir mobil dinas Kodya Ambon Senin pekan lalu, misalnya, sempat membuat keadaan menegang. Maka, seperti Muhammad, Dieng Mardiana memilih bersikap hati-hati. "Prinsipnya kami mendukung hasil Malino, tapi keadaan di sini kan ibarat api yang baru padam, masih berasap," tutur ibu 34 tahun ini. Selama kerusuhan ia telah kehilangan lima orang anggota keluarganya. Ada juga yang terang-terangan tidak mau menerima kesepakatan Malino II. Ia masih menganggap bahwa kesepakatan itu tidak lebih dari paksaan Jakarta. "Pertemuan Malino terlalu cepat dan sangat tidak tepat," kata Mohammad Attamimi, tokoh masyarakat Islam yang menolak menjadi delegasi. Hanya, sebagian besar masyarakat Maluku umumnya sudah letih bertikai. Apalagi konflik yang berlangsung lebih dari tiga tahun ini sudah terlalu banyak menelan korban. Diperkirakan hingga akhir tahun lalu 8.000 jiwa meninggal, 220 ribu mengungsi. Kerugian materi seperti bangunan terbakar, rusak, dan lainnya belum terkalkulasi. Yang juga belum terhitung: kerugian mental akibat kehilangan sanak saudara, atau trauma. Jangan heran bila mereka kemudian menyambut kesepakatan Malino dengan antusias. Dan memang inilah yang diharapkan pemerintah. "Yang penting saat ini adalah dukungan dan pemahaman utuh tentang semangat Malino II," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo B. Yudhoyono, kepada TEMPO. Tapi masyarakat harus tetap hati-hati, siapa tahu masih ada dendam di balik api konflik yang padam. Bina Bektiati, Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus