Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bom Preman Meledakkan SARA

Kelompok-kelompok preman dengan perekat kesukuan berbiak di Jakarta. Soal rebutan rezeki berpotensi memicu kerusuhan berbau SARA.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA bom tertanam di tanah Betawi. Bukan jenis peledak sisa peninggalan zaman perang, melainkan ego kesukuan warga pendatang di tanah menjanjikan ini. Begitupun, daya hancurnya sama saja. Hawa ledaknya mampu meluluh-lantakkan apa pun: nyawa manusia atau bangunan tembok beton. Dua pekan terakhir, Jakarta merasakan tiga letupan "kecil"-nya. Dua atau tiga kelompok etnis bergesekan dan bentrok. Pertama di Kalijodo, Jakarta Utara, kemudian di Kramatjati dan Ujungmenteng, keduanya di Jakarta Timur. Pada kejadian pertama, pertengahan Februari lalu, 27 rumah ludes terbakar, empat orang tertembak, dan seorang polisi kena panah di wajahnya. Sedangkan pada kejadian terakhir, di Ujungmenteng, Cakung, sedikitnya enam orang terluka parah akibat sabetan celurit dan kelewang. Seorang bahkan tangannya terbabat putus. Adakah soal besar yang memicu benturan antar-etnis itu? Ternyata tidak. Sumbu ledak dibakar cuma oleh kejadian sepele antarkelompok preman lokal. Kerusuhan Kramatjati, misalnya, terjadi hanya gara-gara Mudatsir alias Nasir?seorang pedagang kerang yang kebetulan dari suku Madura?membuang air bekas cucian kerangnya ke belakang pos jaga di Pasar Kramatjati. Eh, di luar perhitungannya, pos yang dinding kayunya rompal sebagian itu dipakai pedagang lain yang kebetulan berasal dari Banten. Air kotor pun tepercik dan menyulut pertengkaran. Angin berbisa pun berembus. Cekcok mulut antarpedagang itu cepat menjalar menjadi kemarahan antarkelompok. Warga Madura dan orang Banten?baik pedagang maupun bukan?berhadap-hadapan dengan menggenggam golok, celurit, pentungan kayu dan besi, juga batu. Senjata tajam pun berkelebat, batu berhamburan, dan sejumlah orang terluka. Rupanya, sudah lama ada rivalitas diam-diam antara orang Madura dan sejumlah etnis lain di sana. Pokok soalnya berkisar masalah rebutan lapak dagangan. Kelompok preman Madura berusaha menguasai sejumlah lokasi pasar yang akan "dijual" kepada pedagang dari kalangan sukunya. Di pihak lain, ada kelompok preman lain dengan kepentingan sama: menguasai lapak bagi kelompoknya sendiri. Ini memang perkara rezeki, perkara perut. Dan sejatinya, konflik berbau etnis di perkotaan hampir semuanya berawal dari adanya dominasi dalam perebutan sumber daya ekonomi. Gumilar W. Somantri, pakar sosiologi perkotaan Universitas Indonesia, menyebut bahwa masuk dan berkembangnya sekelompok orang baru dalam komunitas yang sudah stabil akan membawa perubahan komposisi sosial, ekonomi, dan juga "kekuasaan" lokal. "Orang Madura terkenal kompak dan solid," kata Gumilar kepada Nezar Patria dari Koran Tempo. Modal itu biasanya diikuti dengan modus kekerasan dalam memenangi persaingan. Mereka pun tidak terintegrasi dengan struktur kebudayaan lokal. Etnis Madura umumnya mengontrak rumah secara berkelompok dan tidak berbaur. "Inilah yang mengundang reaksi kolektif negatif dari kelompok lain," ujarnya. Tapi kebiasaan hidup dan tinggal di Jakarta secara berkelompok karena ikatan primordial bukan monopoli orang Madura. Urbanisasi yang bertahun-tahun menyerbu Ibu Kota?dari desa-desa yang miskin atau rusuh?memperlihatkan fenomena tumbuhnya kawasan-kawasan yang cenderung berwarna monoetnis. Celakanya, "Pengelompokan secara etnis ini kebanyakan terjadi di kalangan yang kurang beruntung," Adrianus Meliala, kriminolog UI, memperhalus istilah masyarakat kelas bawah. Persoalan bertambah rumit ketika model urbanisasi ini juga mengangkut kelompok-kelompok potensial bermasalah, atau sering disebut oleh masyarakat sebagai preman, ke Jakarta. Secara alamiah, preman-preman di ibu kota republik ini datang dari kampung atau daerah. Sedikit sekali yang lahir dan dibesarkan di Jakarta. Mereka yang datang dari desa akan menetap dulu di tempat tinggal keluarganya atau kenalan sekampungnya. "Dia menumpang hidup dulu dan terus bekerja seadanya," kata Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yorrys Raweyai. Calon preman ini?kalau boleh disebut demikian?sangat jarang yang berpendidikan tinggi. Mereka umumnya cuma tamat SD atau SMP. "Paling banter SMU," ujar Yorrys. Dengan tingkat pendidikan begitu, mereka sulit merebut tiket masuk lapangan kerja formal dan akhirnya harus memilih pekerjaan gampangan seperti tukang parkir, pengaman partikelir, atau tukang pukul. "Pekerjaan seperti itu biasanya mudah didapatkan dari jaringan primordial," ujar Ketua Masyarakat Adat Papua Jakarta ini. Orang menjadi tukang parkir di sebuah lokasi karena ada temannya satu daerah yang telah lebih dulu menjadi tukang parkir di kawasan tersebut. Dengan sejarah pertumbuhan seperti itu, orang-orang sedaerah yang bekerja di sektor informal mempunyai solidaritas sangat tinggi. Kalau ada masalah menimpa salah satu di antara mereka, salah atau benar, yang lainnya akan ikut. "Padahal kalangan ini cuma punya sumbu pendek sehingga gampang terbakar jika terjadi gesekan," kata Adrianus. Akibatnya, potensi daya ledak sentimen kesukuan di Jakarta terus menggelembung dari waktu ke waktu seiring dengan membengkaknya kota ini sebagai melting pot berbagai orang dari pelbagai sudut Indonesia. Para petinggi Jakarta, baik pemerintah daerah maupun pihak keamanan, bukannya tidak menyadari bahaya itu. Panglima Kodam Jaya, Mayjen Bibit Waluyo, bahkan mensinyalir benih-benih kerusuhan saat ini sudah kentara di beberapa wilayah Ibu Kota. Ia tak mau menyebut kawasan Jakarta mana saja yang potensial meledak. Bibit hanya memberikan sinyal, daerah tersebut umumnya berciri beberapa kelompok preman dari etnis berbeda berada di sebuah lokasi. Informasi lebih jelas muncul dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Bidang Pemerintahan, Abdul Kahfi. Dalam pantauan pemda, titik rawan kerusuhan antarkelompok di Jakarta antara lain berada di Blok M, Mayestik, Jatinegara, Tanahabang, Senen, dan Glodok. Tempat yang disebut Kahfi itu kebanyakan adalah pasar atau terminal transportasi umum kota. "Intinya adalah meeting point yang bernilai ekonomi," ujar Adrianus Meliala. Selain faktor meeting point ini?yang menyebabkan beberapa kelompok hidup berdampingan?teori munculnya beberapa kelompok preman dalam satu kawasan datang dari Yorrys. Pria kelahiran Serui, Papua, ini berpendapat kelompok preman semakin terspesialisasi dalam menggarap "bisnis"-nya. Kelompok yang menguasai parkir lain dengan yang menguasai warung-warung makan pinggir jalan. Di pasar, dimungkinkan "penguasa" lapak ikan laut berbeda dengan jawara lapak sayur-mayur. Demikian juga di terminal angkutan kota. Rute bus kota yang awaknya didominasi suku tertentu akan dibekingi suku tertentu pula. Akibat perubahan ini, Yorrys menilai, tak mudah memetakan kelompok preman berdasarkan lokasi operasi. Dulu preman memang mudah dipetakan berdasarkan tempat operasinya itu. Misalnya di Tanahabang pasti orang Timor Timur, di kawasan Manggadua pasti dari Maluku, dan Kramatjati ditongkrongi orang Madura. "Sekarang pemetaan seperti itu agak mencair," katanya. Sebuah lokasi bisa saja dikuasai beberapa kelompok berbeda. Dampaknya, para preman gampang bersinggungan. Bentrok. Dan bom yang diam-diam bersemayam di kota yang dibangun Fatahillah ini akan meledak. Meluluh-lantakkan sebagian darinya, atau seluruhnya. Prasidono L., Wenseslaut Manggut, Tempo News Room -------------------------------------------------------------------------------- Mereka Berebut Kawasan Jakarta Pusat Kawasan Tanahabang Tim-Tim, Irian, Betawi, Makassar, Madura, Maluku Manggadua Maluku, Cina Senen Batak, Maluku Harmoni, Roxi Maluku Catatan Bentrok 25-6-1999: Bentrok preman Tim-Tim dengan Irian 23-11-1998: Kerusuhan Jalan Ketapang, Harmoni, antara pemuda Maluku dan warga lokal. Jakarta Utara Kawasan Tanjungpriok Makassar, Madura, Maluku Kalijodo Makassar, Mandar Pel. Sunda Kelapa Makassar, Madura Catatan Bentrok 21-5-2001 dan 16-2-2002: Bentrok warga Makassar dan Mandar di Kalijodo. Jakarta Timur Kawasan Kramatjati Madura, Banten, Betawi Cakung Madura, Betawi Kampung Rambutan Batak, Sunda Jatinegara, Kampung Melayu Batak Pendongkelan Flores Ps. Pramuka Betawi, Madura Catatan Bentrok 25-2-2002: Bentrok preman Madura dengan warga Banten di Kramatjati. Jakarta Barat Kawasan Grogol Batak Slipi Maluku, Batak Lokasari Cina, Maluku Manggabesar Cina, Maluku Glodok Cina Palmerah Betawi Catatan Bentrok 2000-2001: Sejumlah perkelahian kecil di Glodok dan Manggabesar. Jakarta Selatan Kawasan Ps. Kebayoran Lama Betawi, Madura Blok M Batak, Jawa, Maluku, Cina, Madura Mayestik Batak, Jawa Ps. Minggu Batak, Minang, Jawa, Betawi Manggarai, Ps. Rumput Batak Lebakbulus Batak, Jawa Catatan Bentrok 26-3-2001: Kelompok Madura bentrok dengan kelompok Betawi di Pasar Kebayoran Lama 1999: Bentrok antara preman Batak dan warga Sunda. Sumber: Polsek-polsek Metro Jaya dan berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus