Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan Februari 2002 mungkin saja merupakan bulan yang penting dalam kehidupan Wakil Presiden Hamzah Haz. Pada suatu hari di bulan Februari itu, dalam sidang kabinet yang berlangsung di Istana, Presiden Megawati Sukarnoputri secara lisan telah mengalihkan penanganan masalah-masalah ekonomi yang sukar dan berat?seperti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)?kepada Hamzah Haz.
Implikasi dari keputusan lisan Megawati diharapkan kelak akan bermuara pada terobosan yang membuka jalan ke arah perbaikan ekonomi. Tapi bisa juga sebaliknya. Jalan keluar tak ditemukan, keputusan pemerintah yang ditunggu-tunggu tak kunjung bisa dirumuskan, bahkan keputusan yang sudah disepakati pun tidak dilaksanakan. Dan kalau ditelusuri, tampaknya ketiga hal itulah yang terjadi selama ini.
Di bidang ekonomi terutama, masyarakat memang merasakan adanya ganjalan yang teramat besar, tapi tidak bisa memastikan secara konkret bentuk ganjalan itu. Apakah ganjalan datang dari resistensi aparat pemerintah, sehingga muncul pemeo tentang keranjang sampah. Atau dari tidak adanya kerja sama di tingkat pengambil keputusan, sehingga terjadi konflik yang seru antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie di satu pihak dan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, serta Ketua BPPN I Putu Gde Ary Suta di pihak lain. Ganjalan itu bahkan bisa muncul gara-gara kebijakan yang dirumuskan secara gegabah, sehingga ditentang keras oleh masyarakat, misalnya dalam kasus privatisasi PT Semen Gresik.
Apa pun sebabnya, dugaan tersebut bisa benar, bisa juga tidak benar. Namun, dalam ketidakpastian yang memprihatinkan kini, keterlibatan Hamzah Has semestinya mampu menghadirkan sekepal kepastian, sehingga masyarakat tidak apatis, dunia usaha berhenti mengeluh, dan aparat di daerah tidak melakukan protes berkepanjangan. Sikap tegas memang harus bisa diperlihatkan oleh pemerintah, tidak bisa tidak. Bukankah sebelum ini pemerintah telah berani menghadang risiko untuk tidak populer dengan menaikkan harga bahan bakar minyak, menaikkan tarif listrik dan telepon? Apalagi, di saat yang sama, mengajukan usul perpanjangan waktu pembayaran utang para konglomerat yang terkesan akomodatif kendati para pengutang besar itu selama ini jelas-jelas wanprestasi alias ingkar janji.
Keberanian untuk menaikan berbagai tarif yang jelas sangat membebani rakyat itu sewajarnya diiringi dengan ketegasan tekad pemerintah untuk mengimbanginya dengan imbalan berupa pelayanan yang berkualitas. Selain itu, diperlukan keseriusan pemerintah dalam menjelaskan semua kebijakan yang menyangkut nasib orang banyak. Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dipimpin Menko Dorodjatun Kuntjoro-Jakti untuk memperpanjang pelunasan utang konglomerat, misalnya, harus jelas dasar-dasar pertimbangannya. Pemerintah berutang penjelasan itu kepada rakyat. Sebab, sekali kebijakan diberlakukan, seluruh warga memikul akibatnya. Singkat kata, pemerintah tidak cukup sekadar mengucurkan dana kompensasi Rp 2,2 triliun, yang kabarnya sampai kini pun belum semuanya bisa dicairkan, apa pun kendala dan alasannya.
Bicara tentang perbaikan ekonomi, sukses kecil di bidang ini sebenarnya bisa lebih mudah dicapai, asalkan kebijakan yang digariskan cukup membumi dan tidak neko-neko, serta dalam jangka panjang menguntungkan pelaku ekonomi?jadi bukan sekadar menguntungkan oknum pejabat. Menggalakkan usaha kecil menengah, misalnya?dengan menggariskan strategi penyaluran kredit yang efektif dan tepat sasaran?sudah harus diprioritaskan, tanpa menunggu saham BCA laku dijual atau tidak. Menghemat pengeluaran pemerintah tentu segera dapat dilaksanakan, tanpa mesti menunggu pencairan US$ 400 juta dari IMF. Menegosiasikan penambangan gas alam cair di Papua atau di Samudra Hindia dari sekarang bisa dirintis tanpa menunggu kedatangan investor asing.
Namun, seperti disebut di bagian awal tulisan ini, ada ganjalan yang begitu besar, sehingga Kabinet Gotong-Royong belum berhasil mencatat prestasi yang memadai dan layak dibanggakan. Predikat "gotong-royong" bahkan berbalik jadi bumerang karena para menteri (bidang ekonomi) bukannya bekerja sama, tapi berseteru di forum terbuka, tanpa ada upaya untuk sedikit menahan diri.
Tidak berlebihan bila kini IMF mendesak agar tim ekonomi pemerintah menyelesaikan enam prior action dalam dua pekan, sebelum letter of intent (LoI) yang kelima disetujui dewan direksi IMF. Batas dua pekan itu mengisyaratkan adanya "kemarahan dan sinisme" di pihak IMF. Apalagi dalam prior action tercakup di antaranya penyelesaian divestasi BCA melalui proses yang kredibel, kejelasan tentang strategi pemerintah mengenai PKPS, juga strategi yang jelas dalam amandemen UU Bank Indonesia. IMF juga tidak lupa mengancam?seperti biasa?bahwa kalau enam prior action itu tidak selesai, IMF tidak akan mengambil keputusan yang terbaik untuk Indonesia.
Memang terlalu dini untuk menilai apakah Wakil Presiden Hamzah Haz akan mampu dalam dua pekan meloloskan Indo-nesia dari "jepitan ranjau" IMF dan melayarkan bahtera ekonomi ke teluk yang teduh dan bebas dari ancaman. Sampai saat ini juga belum jelas apakah tim ekonomi yang tidak kompak itu pun diharuskan membantu Hamzah atau Wakil Presiden harus membentuk timnya sendiri. Presiden Megawati diharapkan ketegasannya karena tiap detik yang lewat terlalu berharga bagi ke-selamatan ekonomi bangsa.
Dalam hal ini, tentu tidak bisa dianggap gegabah bila Megawati, misalnya, melakukan bongkar-pasang kabinet. Sebab, menteri yang tidak mampu mencatat prestasi dalam enam bulan, apalagi yang malah membuang waktu dengan bersengketa di depan publik, juga akan tidak mampu berbuat banyak sampai tahun 2004. Presiden Megawati tentu patut menimbang-nimbang lagi, tapi sesudahnya bertindaklah. Tanpa bertindak, Kabinet Gotong-Royong bukan hanya lemah, tapi tidak akan ditoleransi lebih jauh keberadaannya. Ada proses pembusukan, seperti dikatakan Ketua MPR Amien Rais. Itulah yang harus segera dihindarkan dan caranya tentu tidak dengan tambal sulam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo