Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALEX Ferguson tampak semringah, Kamis pekan silam. Senyum mengembang di bibirnya. Hati manajer merangkap pelatih klub Manchester United ini berbunga-bunga. Klub asuhannya kembali ke puncak klasemen Liga Primer? Tidak. Kontraknya dengan Manchester United (MU) diperpanjang setahun lagi, sampai Juni 2006. "Saya sangat bahagia dengan kontrak baru itu," ucap pelatih asal Skotlandia tersebut.
Menganggapnya tantangan, kontrak baru ini sekaligus membuat Alex, 62 tahun, lebih tenang untuk mendongkrak lebih tinggi prestasi MU. Musim ini, obsesi besarnya adalah mengawinkan gelar Liga Primer dengan Liga Champions Eropa seperti yang pernah ia lakukan pada 1999.
Tertahannya Ferguson di kandang MU karena ia bagian penting dari keberhasilan besar klub ini, baik prestasi lapangan maupun sukses keuangan. Dalam dekade terakhir, MU menjadi klub kaya berkat prestasi tingginya. Dua tahun silam, The Economist melaporkan bahwa pendapatan si "Setan Merah" terlonjak 700 persen dalam 10 tahun—dari 17,8 juta poundsterling pada 1990 ke 129 juta poundsterling (sekitar Rp 1,9 triliun) pada 2001. MU mendepak Real Madrid, yang meraup kira-kira Rp 1,3 triliun. Tahun lalu, MU masih menjadi klub terkaya di Inggris dengan pendapatan sekitar Rp 2,3 triliun.
Pendapatan MU terus naik sejak klub itu go public (1991). Pada 2000, nilai MU di Bursa Efek London mencapai 1 miliar poundsterling (sekitar Rp 15,4 triliun). Namun, pada 2002 turun menjadi 310 juta poundsterling (kira-kira Rp 4,7 triliun).
Sukses finansial MU jelas karena bagusnya kinerja klub dan peran Alex yang sudah melatih di sini sejak 1986. Di tangan pelatih paling sukses dalam sejarah MU inilah klub itu delapan kali menjuarai Liga Primer, empat kali juara Piala FA, dan masing-masing sekali juara Liga Champions, Piala Intercontinental, Piala Winners, dan Piala Super Eropa. Prestasi yang sulit tertandingi klub-klub Inggris lainnya.
Dengan 50 juta penggemar, ini peluang bisnis bagus yang ingin digarap manajeman MU dengan baik. Untuk menggencarkan penjualan cendera mata, mereka membuka gerai di berbagai negara, yang merupakan 35 persen dari pendapatan klub. Menurut konsultan olahraga Inggris, Gerry Boon, perolehan dari "komoditas" ini sangat potensial ditingkatkan—dari penggemar lokal, yang merupakan pembeli terbesarnya, ke pasar luar negeri yang belum tergarap baik. "Ini peluang bagus buat MU ataupun klub lain," kata Boon.
Penjualan tiket pertandingan menyumbang sedikitnya 35 persen dari pendapatan total klub. Maklum, Old Trafford, yang berkapasitas 68.174 tempat duduk, selalu sesak setiap kali MU merumput di stadion itu. Tambahkan pula pendapatan dari sponsor, iklan, royalti, dan hak siar televisi.
Dengan dana melimpah, manajemen klub dengan mudah mencegah para pemain bintang yang ingin kabur ke klub lain. Kapten tim Roy Keane, misalnya, bergaji 100 ribu poundsterling seminggu (sekitar Rp 1,5 miliar). Dua pemain senior lainnya, Ryan Giggs dan Garry Neville, berupah sedikitnya 70 ribu poundsterling (Rp 1 miliar lebih) seminggu. Ferguson sendiri mengantongi kira-kira Rp 890 juta seminggu. Namun, tak semua pemain bergaji setinggi itu sehingga alokasi gaji pemain tak sampai 50 persen dari pendapatan klub. Maka, bagi MU, tak ada istilah kesulitan uang.
Menurut peneliti olahraga Inggris, Oliver Butler, dari 20 klub Liga Primer, hanya MU yang meraih laba besar. Beberapa klub malah merugi, seperti Leeds United dan Chelsea. Soalnya, mereka amat royal dalam membeli pemain bintang. Sejumlah klub Eropa lainnya juga lebih besar pasak daripada tiang. Real Madrid, misalnya, masih terlilit utang ratusan juta euro.
Seharusnya mereka tak meniru MU. Untuk meremajakan timnya, Ferguson membeli tujuh pemain baru, yang menguras 42,29 juta pound. Rinciannya: Cristiano Ronaldo (Portugal, 12,24 juta pound), Louis Saha (Prancis, 12,82 juta pound), Tim Howard (AS, 2,3 juta pound), Kleberson (Brasil, 5,93 juta pound), Eric Djemba-Djemba (Kamerun, 3,5 juta pound), dan Dong Fangzhou (Cina, 3,5 juta pound).
Dengan mengumpulkan banyak pemain asing, Ferguson sebenarnya ingin menebar jaring bisnis ke penjuru dunia. Gerai cendera mata MU diharapkan akan diserbu penggemar yang lebih besar. Demi rasa bangganya pada Fangzhou, misalnya, pengagum fanatik Cina siap membayar Rp 460 ribu untuk sepotong kostum yang dipakai pemain sanjungannya itu. Setengah persen saja dari 1,2 miliar penduduk Cina, berapa itu?
Real Madrid pernah menerapkan kiat ini. Seperti diakui Direktur Pemasaran Madrid, Jose Angel Sanchez, klubnya pernah memboyong sejumlah pemain bintang untuk mendongkrak pendapatan tim. "Punya Zinedine Zidane dalam tim seperti memiliki Tom Cruise bagi studio film," kata Sanchez mencontohkan.
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo