Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggunting dalam Lipatan?

Sejumlah partai politik cenderung mengajak pendukungnya hanya mencoblos tanda gambar. Agar pemilu sukses atau supaya para elite partai terpilih?

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NURANI Abdul Madjid tertusuk, meski bukan oleh ilalang. Soalnya, nasionalis tua ini merasa artikel di sebuah surat kabar bertajuk Partai Politik Jangan Membodohi Publik itu terutama terarah ke DPP PDI Perjuangan. Sebab, beberapa waktu sebelumnya, di hadapan para bakal calon anggota legislatif PDI Perjuangan se-Jabotabek, Sutjipto selaku sekjen partai meminta dengan tegas agar massa pemilih "banteng gemuk" mencoblos tanda gambar saja. Sedangkan gambar calon anggota legislatif diabaikan.

Anggota Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan itu sekaligus mengecam tajam "kebijaksanaan" sang Sekjen. Tiga lembar surat kritik dilayangkannya ke Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, 13 Januari silam.

Isinya? "Itu bertentangan dengan prinsip Undang-Undang Pemilu, dan merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi demokrasi para pemilih dan para calon legislatif," demikian ditulis Madjid dalam surat yang dikirim ke TEMPO, Jumat pekan lalu.

Dengan sistem daftar calon anggota legislatif terbuka, tutur "banteng" sepuh itu, ada dua prinsip yang harus ditegakkan. Pertama, tiap calon legislatif punya hak asasi demokrasi dan, karena itu, memperoleh kesempatan terbuka yang sama untuk dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil ("luber" dan "jurdil"). Kedua, pemilih juga punya kesempatan terbuka yang sama untuk memilih calon legislatif yang ia kehendaki secara luber dan jurdil.

Lalu, apa "salah"-nya menyuruh pemilih hanya mencoblos tanda gambar? Itu, menurut mertua/ayah pasangan seniman panggung Nano N. Riantiarno-Ratna Riantiarno ini, jelas memperkosa hak-hak tersebut. Para calon anggota legislatif "nomor sepatu" tertutup peluangnya menjadi anggota legislatif terpilih, karena telah dirampas kebijakan DPP.

"Bukankah ini sangat tidak jujur, tidak adil, dan kejahatan politik yang akan sangat mencemarkan martabat dan citra PDI Perjuangan?" demikian ia menulis. Madjid sendiri menjadi calon anggota legislatif nomor 4 di daerah pemilihan Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo, Jawa Timur.

Sikap dan prinsip senada itu juga dilontarkan Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Mahfud Md. Ia menyebut kampanye mencoblos tanda gambar saja sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat Undang-Undang Pemilu yang dulu diperjuangkan: memilih orang dengan sistem setengah distrik dan setengah proporsional, atau yang disebut juga proporsional terbuka.

Kampanye itu, katanya, juga dapat berarti pimpinan atau pengurus parpol ingin tetap aman dengan pencalonannya. Sebab, undang-undang memang membolehkan yang dicoblos tanda gambar sekaligus nama calon legislatif, atau tanda gambar saja. Banyak pengurus parpol yang khawatir, jika banyak warga mencoblos nama calon legislatif tapi lupa mencoblos gambar parpol, suaranya menjadi tidak sah. Sehingga, untuk amannya, rakyat pun cuma diminta menusuk gambar partai.

"Jadi, sebenarnya proses Pemilu 2004 tidak terlalu berbeda dengan pemilu sebelumnya," tutur Mahfud, Menteri Pertahanan Keamanan zaman Presiden Abdurrahman Wahid.

Tapi Sutjipto tidak sendiri. Niat yang sama juga tersimpan di hati kalangan elite partai lain. Rully Chairul Azwar, Sekretaris Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar, termasuk yang akan mengusulkan agar para kader partainya cukup mencoblos tanda gambar, dan gambar calon legislatifnya dibiarkan tak tercolek.

Bahkan pengurus Partai Persatuan Pembangunan di daerah-daerah telah melakukannya, meski di tingkat pusat mereka meminta sosialisasi pencoblosan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Pemilu. Ketua DPC PPP Solo, Hasan Mulachela, mengaku telah mengeluarkan semacam instruksi lisan kepada anggotanya agar para kader PPP memilih tanda gambar tok.

Alasannya, sejak Pemilu 1955 masyarakat terbiasa hanya memilih tanda gambar. Karena itu, jika sekarang disuruh mencolok nama calon anggota legislatif dan tanda gambar, tak cukup waktu untuk sosialisasi. Bila dipaksakan hanya dalam 1-2 bulan, ia khawatir akan banyak suara yang tidak sah. Jika itu terjadi, "Kami bisa dianggap tidak menyukseskan pemilu," Hasan mengajukan kilahnya kepada Imron Rosyid dari TEMPO.

Di sisi lain, kampanye coblos gambar dan nama sesuai dengan undang-undang sebetulnya bukan berarti bebas dari risiko. Dalam prakteknya, persaingan nantinya tak cuma terjadi antar-partai, tapi juga antar-calon anggota legislatif dalam satu partai. Alih-alih berjalan fair, persaingan justru sangat mungkin berlangsung tidak sehat. Jadinya, para calon akan lebih ngoyo "menjual" namanya sendiri ketimbang "menjajakan" partai tempatnya bernaung.

Munculnya kaus-kaus bergambar calon legislatif tertentu, bagi Wakil Sekjen PPP Djuhad Mahja, mengindikasikan ekses tak sehat itu. Untuk meredamnya, ia menggariskan agar dalam kampanye nanti setiap calon diwajibkan menyebut nama-nama calon lain rekannya di daerah pemilihannya. "Di Jawa Tengah, saya juga melarang para calon legislatif membuat kaus bergambar diri mereka," kata Djuhad.

Kembali ke surat protes Madjid, Ketua DPP PDI Perjuangan, Roy B.B. Janis, menilainya hanya kesalahpahaman belaka. Sebab, sosialisasi untuk hanya mencoblos tanda gambar belum resmi menjadi kebijakan partai. Juga bukan harga mutlak. Sebab, partainya kemungkinan akan menerapkan sosialisasi berpola "gado-gado".

Maksudnya, kepada masyarakat dan kader banteng di pedesaan dan wilayah pinggiran, akan lebih dianjurkan memilih tanda gambar. Hal ini didasari oleh data Biro Pusat Statistik yang menunjukkan masih tingginya angka buta huruf masyarakat Indonesia: mencapai 20-an juta jiwa! "Jadi, hanya mencoblos gambar itu justru untuk membantu sekaligus melindungi mereka," Roy berdalih.

Sedangkan kepada kader dan masyarakat di perkotaan yang pendidikannya cukup baik, sosialisasi pencoblosan tetap pada pencoblosan gambar dan pencoblosan nama. Tapi ia mengaku tak cukup optimistis jika langkah ini bisa membuahkan hasil optimal. Kekhawatiran Roy itu didasari hasil simulasi Pusat Reformasi Pemilu (Cetro) pertengahan Oktober 2003.

Simulasi yang diikuti 500 "pemilih" di sembilan kota besar itu menunjukkan tingkat kesalahan pencoblosan rata-rata 33,1 persen. Ajaibnya, tingkat kesalahan tertinggi itu justru terjadi di Jakarta, 54,68 persen. Sedangkan terendah di Bandung, 22,46 persen. Banyak peserta melakukan kesalahan dengan mencoblos silang: mencoblos tanda gambar parpolnya sendiri dan mencoblos nama calon anggota legislatif parpol lain. Atau, hanya mencolok nama calon anggota legislatif sehingga surat suaranya menjadi tidak sah.

Penerapan strategi "gado-gado" itu, kata Roy, tak lepas dari sikap Panitia Pengawas Pemilu, baik di pusat maupun di daerah-daerah, yang terlalu kaku. Ini membuat kalangan partai politik gamang untuk melakukan sosialisasi. Padahal masa kampanye yang disediakan KPU hanya 21 hari—yang dinilainya tak memadai karena kelewat sempit.

"Serba salah kita sekarang ini. Jangankan mau mengajari cara nyoblos gambar dan nama calon legislatif, mau pasang bendera saja sudah disemprit Panwas," kata Roy.

Apa pun alasannya, Ketua Divisi Sosialisasi Pemilu, Valina Singka, mengaku gusar dengan perilaku partai politik itu. Mereka dianggap tak konsisten dengan aturan buatannya sendiri. Cuma mencoblos gambar itu, kata Valina, hanya akan menguntungkan calon anggota legislatif urutan atas, yang biasanya diisi para elite parpol. Sebaliknya, para calon yang mungkin berkualitas tapi ditempatkan di urutan bawah cuma akan gigit jari.

Repotnya, kata Valina, KPU tak bisa menegur pola sosialisasi ala partai-partai itu. "Cuma, yang bikin kesal adalah etika politik yang mereka langgar sendiri. Bikin undang-undang, kok, tak konsisten," gerutunya. Kalau partai besar saja bersikap seperti itu, bagaimana dengan parpol baru?

Sudrajat, Jobpie Sugiharto, Widiarsi Agustin, L.N. Idayanie(Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus