Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soraya Keguguran, Safrida Dituduh Intel

Dua istri perwira TNI akhirnya bebas dari penyanderaan GAM. Kapan Ferry Santoro menyusul?

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam di pedalaman Aceh Timur, Safrida, 35 tahun, bertanya kepada adiknya, "Dik, kamu pingin pulang, enggak?" Tentu saja Soraya, 28 tahun, mengangguk. Tapi tiba-tiba ia seperti membaui aroma khas rumah ibunya di Banda Aceh. Air matanya langsung meleleh.

Isyarat apa ini? Tujuh bulan ditawan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Peureulak, Aceh Timur, keduanya sudah muak mengarungi belantara, gunung, dan rawa dalam cuaca paling buruk sekalipun. Safrida sempat terserang malaria, sedangkan Soraya mengalami perdarahan sampai keguguran pada usia janin dua bulan. "Ini buah perkawinan saya yang baru setahun. Dan saya harus kehilangan dia," kata Soraya dengan mata berkaca-kaca.

Sedihnya, Letnan Satu Agung Setia Budhi belum sempat diberi tahu soal itu. Saat Soraya tersandera GAM, sang suami lagi mengikuti kursus komandan kompi di Bandung. "Tujuh bulan di hutan, saya tidak pernah mendengar suara suami saya," katanya dalam jumpa pers jarak jauh di Media Center TNI Lhok Seumawe dengan Markas Besar TNI di Jakarta.

Safrida bahkan sempat dikalungi senjata saat diinterogasi. Istri Letnan Kolonel Azhari, perwira Komando Pertahanan Udara Nasional, Surabaya, yang kini bertugas di Markas Besar TNI-AU, ini dianggap intel.

Keduanya berada di Aceh waktu itu karena ibu mereka sakit. Ketika hendak berjalan-jalan, kebetulan Ersa Siregar—yang indekos di rumah ibu Safrida-Soraya—mau meliput kamp pengungsian di Langsa, Aceh Timur, sejauh 400 kilometer dari Banda Aceh. Keduanya pun serta dan kemudian ikut tersandera bersama Ersa dan Ferry Santoro dari RCTI serta pengemudi kendaraan mereka, Rachmansyah.

Rachmansyah dibebaskan pasukan Marinir pada 17 Desember 2003. Malang bagi Ersa, ia tewas dalam pertempuran antara TNI dan GAM di Aceh Timur pada 29 Desember. Sedangkan Ferry masih bersama GAM.

Tibalah hari berisyarat itu, Kamis pekan lalu. Bersama 40 anggota GAM, Safrida dan Soraya lagi melintasi kawasan Darul Arman saat prajurit Batalion Infanteri 700/Raiders sedang memasak. Begitu Safrida melihat mereka, ia langsung mengajak Soraya bersembunyi. "Saya lihat, mereka (TNI) tak siap. Sepertinya enggak ngerti kalau ada GAM akan lewat di sekitar mereka," papar si kakak.

Ketika pecah pertempuran, keduanya pun lari menyelamatkan diri. Soraya sempat tersungkur dan tasnya terlempar. Safrida jadi terhenti dan merangkak balik mendekati adiknya. Menemukan satu selokan kering, mereka berbaring dengan Safrida tengkurap menutupi tubuh adiknya. "Hampir satu jam lamanya. Kami akhirnya ditemukan TNI," kata Safrida. Mereka mengaku tidak mendapat pelecehan seks dari penyanderanya.

Tapi itu berbeda dengan penjelasan Panglima Komando Operasi TNI Brigjen George Toisutta. Katanya, ada tiga tim dari Batalion Infanteri 700/Raiders Wirabuana pimpinan Letnan Satu Tomi yang mengintai keberadaan sandera sejak Rabu malam pekan lalu. Bergerak ke persembunyian GAM, satu tim tiba di Desa Tungka Gajah, Idie Rayeuk, Aceh Timur, pada pukul 07.00 WIB. Dengan suatu cara dan dalam bahasa isyarat, tim tersebut menyampaikan keberadaan dan gerakannya kepada Safrida.

Sekitar pukul 11, mereka sudah di sekitar persembunyian 20 anggota GAM. Sambil berteriak "serbu", tim tersebut menyiram tembakan dan merangsek. Tak tahan, para anggota GAM itu lari meninggalkan kedua sanderanya.

Saat itulah Soraya lari sambil membuang tasnya. "Jejak" ini diikuti TNI, yang akhirnya menemukan mereka tengkurap di parit, terpisah dari GAM. "Jadi, itulah cara TNI memisahkan sandera dan gerombolan. Jadi, tak benar kalau TNI tak siap saat itu," kata Komandan Satuan Tugas Info Komando Operasi TNI Letkol CAJ Asep Sapari.

Ishak Daud mengaku sengaja meninggalkan kakak-adik itu di sana. "Setiap kontak senjata, saya perintahkan orang sipil tiarap. Jika tidak mungkin mengikuti mundurnya pasukan, mereka lebih baik ditinggal saja," ucap Panglima GAM Wilayah Peureulak itu kepada TEMPO lewat telepon satelitnya.

Tinggal Mayawati Hendraningrum, istri Ferry Santoro, mempertanyakan nasib suaminya. "Mengapa dia tak dibebaskan dalam operasi itu?" ucapnya kepada Deddy Sinaga dari Tempo News Room.

Menurut Safrida, sejak 13 Juli 2003, para sandera ditempatkan terpisah. Ersa diangkut dengan speedboat ke arah yang berlawanan dengannya. Sedangkan Ferry dibawa dengan sepeda motor. Masing-masing dikawal 20 gerilyawan.

Ferry tak sendiri—masih ada 243 sandera GAM lainnya, menurut Ketua Tim Negosiasi Pembebasan Sandera, Sudi Silalahi. Sedangkan negosiasi pembebasan sandera sendiri masih buntu. Tapi para petinggi keamanan berjanji akan membebaskan mereka. Kita tunggu.

Widiarsi Agustina, Zainal Bakrie (Lhok Seumawe), TNR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus