Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akhirnya menganggap serius merebaknya wabah flu burung, sembari menyebutkan langkah penanganannya akan dilakukan dalam keadaan darurat. Status darurat ini tentu saja menjadi penting karena menyangkut dana yang besar untuk menanggulangi wabah. Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengusulkan dana Rp 212 miliar, yang bisa diambilkan dari pos dana darurat yang memang dicadangkan dalam APBN. Dana itu, misalnya, untuk memusnahkan unggas yang terkena virus, pengadaan vaksin dan peralatannya, mensterilkan kawasan peternakan, juga untuk membeli peralatan laboratorium yang akan menangkal penyebaran virus.
Cuma, langkah darurat ini baru dicanangkan pemerintah setelah sekitar 5 juta ekor ayam tewas terkena virus dan sekitar Rp 8 triliun kerugian pada peternak. Belum lagi kerugian akibat perdagangan ayam yang mendadak mati suri, meskipun yang diperdagangkan ayam-ayam yang sehat. Masyarakat terkena "virus panik" dan menghentikan makan daging ayam. Anjuran pemerintah bahwa ayam yang terkena virus tetap sehat untuk dimakan—asal ketika dipotong masih hidup—tidak digubris masyarakat. Soalnya, anjuran itu memakai kata-kata tambahan, yakni: asal ayam itu dimasak pada suhu di atas 80 derajat. Masyarakat lebih memilih menghindari makan daging ayam ketimbang mencari tahu seberapa panas suhu 80 derajat itu.
Ketika wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) melanda negara-negara tetangga dan menjadi wabah yang menakutkan umat manusia, langkah yang ditempuh pemerintah cukup bagus. Meski masyarakat sempat juga panik, pemerintah melakukan tindakan tegas. Pengawasan lalu-lintas manusia dilakukan di pelabuhan udara dan laut, rumah sakit rujukan disiagakan, masyarakat dianjurkan memakai masker di tempat-tempat umum, juga sosialisasi tentang virus SARS gencar dilakukan lewat berbagai media massa. Boleh disebutkan, SARS tidak memakan korban di Indonesia.
Adakah kekurang-tanggapan mengatasi masalah flu burung ini karena menyangkut nyawa unggas dan bukan nyawa manusia? Kalau itu yang menjadi penyebabnya, bisa disebut keliru besar. Flu burung bisa menular ke manusia. Ketika flu burung muncul di Hong Kong pada 1997, virus unggas H5N1 (subtipe virus flu burung yang bisa menular ke manusia) membunuh enam orang. Kematian demi kematian pun menyusul di Vietnam, Thailand, dan Belanda. Meski tidak sampai membunuh 800 orang seperti pada kasus SARS, berlipatnya daya bunuh flu burung ini sangat mencemaskan. Bahkan para ilmuwan khawatir virus flu burung bisa bermutasi menjadi lebih ganas bila dalam tubuh manusia bertemu dengan virus flu biasa. Memang, ini baru teori.
Virus flu burung sudah masuk ke Indonesia tahun lalu, bahkan disinyalir sejak pertengahan tahun. Sudah ada yang mengingatkan tentang ditemukannya ayam-ayam yang mati karena ulah virus ini pada bulan September. Namun, pemerintah "kurang mendengar" dan para peternak pun sibuk mencari vaksin sendiri-sendiri. Ketika Korea Selatan mengumumkan flu burung menyerang negerinya pada 15 Desember dan memusnahkan 1,8 juta ayam, baru pemerintah Indonesia bertindak. Setelah ditelusuri, ternyata benar ada 51 kabupaten yang tersebar di Jawa dan Bali terkena virus flu burung. Korban manusia belum ada, meskipun seorang bocah di Tabanan, Bali, sempat diperiksa intensif karena diduga tertular flu burung. Bocah itu, yang memang suka bermain di peternakan ayam, menderita demam dan batuk, tanda-tanda yang mirip orang terkena virus flu burung. Dinas Kesehatan sigap turun tangan memantau dan memberi obat kepada sang bocah, sampai akhirnya disimpulkan anak itu tidak terjangkit virus flu burung.
Mungkin karena punya pengalaman menangani kasus SARS, aparat kesehatan rada tanggap dalam mengantisipasi virus flu burung ini. Tapi tidak sejawatnya di Departemen Pertanian. Beberapa perusahaan farmasi di Indonesia konon mengaku bisa memproduksi vaksin untuk menangkal virus ini, tetapi reaksi dari pemerintah nihil. Pemerintah lebih senang berhubungan ke luar negeri untuk mencari vaksin itu, sesuatu yang membutuhkan waktu. Padahal virus terus meluas dan semakin kejam, peternak ayam semakin tersedu. Berkarung-karung bangkai ayam dibakar setiap hari.
Musibah ini pada akhirnya seperti permainan domino. Bukan sektor peternakan saja yang semaput, juga sektor perdagangan, pertanian, dan akhirnya yang sangat mencemaskan adalah meningkatnya jumlah pengangguran. Industri pembenihan ayam (breeder) lesu, industri pengolah pakan merosot, petani jagung kehilangan pasar, bahkan para pedagang sayur keliling sudah mengeluh karena omzetnya berkurang. Tak ada yang membeli ayam, bahkan perdagangan telur pun lesu.
Pemerintah Korea Selatan sudah meminta warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia untuk menghindari terjangkit virus flu burung. Industri kerajinan yang terbuat dari bulu ayam pun tak lagi dilirik oleh turis di Bali. Artinya, dampak dari virus yang mematikan ayam ini merembet juga ke dunia pariwisata. Komponen pariwisata di Bali sampai menggelar "kampanye makan ayam bakar" untuk menunjukkan bahwa mengkonsumsi ayam masih tetap sehat. Namun, kampanye itu seperti tak digubris masyarakat.
Memulihkan keadaan menjadi normal jelas memerlukan waktu. Para peternak menyebutkan, paling tidak perlu tiga bulan untuk mensterilkan kandang-kandangnya dari virus flu burung ini. Entah berapa waktu yang diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat agar kembali makan ayam. Pelajaran mahal untuk sebuah keterlambatan bertindak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo