Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah dongeng dalam keterbatasan

Sinetron di TVRI menjadi primadona. Tapi, penulis skenario, sutradara dan pemain handal kurang. Penayangan sinetron Sitti Nurbaya banyak dibicarakan dan mampu merebut perhatian pemirsa.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinetron di TVRI sudah menjadi primadona, melihat sambutan penonton atas ditayangkannya Sitti Nurbaya. Beberapa sinetron malah sudah dijual. Sayangnya, tenaga kreatif kurang. CITA-CITA pengasuh TVRI untuk menjadikan sinetron sebagai primadona agaknya bukan hanya impian. Hari-hari ini pembicaraan orang yang menyangkut TVRI tak jauh berkisar dari penayangan Sitti Nurbaya. Sinetron ini, yang baru ditayangkan episode pertamanya, mampu merebut perhatian pemirsa, dan mutunya pun sudah jauh di atas film nasional. Sebagai primadona acara, sinetron memang mulai dimanjakan oleh TVRI. Pekan sinetron untuk menyambut HUT ke-29 TVRI pun baru saja usai. Memang, tidak semua sinetron yang ditayangkan itu berhasil sebagai tontonan yang bagus. Ada satu dua yang kurang, baik dari segi penyutradaraan maupun -- dan ini yang utama -- dari segi cerita. Misalnya Sang Bapak pada malam ketiga. Sutradara Agus Widjoyono terasa terengah-engah menceritakan kisah ini di layar kaca. Naskah Marselli ini jadi hambar walau belakangan penonton "disiram kesegaran" dengan lontaran dialog yang mencoba memberanikan diri dengan kritik sosial. Penggarapan sinetron di TVRI bukannya tanpa seleksi. Menurut Irwinsyah, kepala seksi produksi acara drama TVRI, sehari sebelum meninggal, skenario yang bagus bisa menjadi sinetron jelek di tangan sutradara yang kurang terampil. Begitu pula sebaliknya. Idealnya, skenario bagus ditangani sutradara piawai. Celakanya, kata Irwin, yang pada masa hidupnya bekerja tak kenal lelah ini, sebagian besar skenario ditulis oleh pemula. "Karena itu, penulis skenario yang muncul ya itu-itu saja. Kita memang miskin penulis. Ini antara lain masalah besar kita, masalah Indonesia," kata sutradara Sayekti dan Hanafi yang menggondol Piala Vidya 1988 itu. Untuk menjaring skenario bagus, TVRI pernah menyelenggarakan sayembara. Namun, dari 400 yang masuk, hanya 10 skenario yang layak. Itu pun masih harus dipermak. Maka, sejak 9 September lalu selama tiga minggu, TVRI menyelenggarakan pendidikan penulisan skenario, diikuti 20 orang, dengan pengajar Asrul Sani dan Misbach Yussa Biran. Irwin, selama hidupnya, memang mendambakan bisa menghasilkan sinetron yang bagus. Namun, beberapa kendala menghadang. "Kendala itu klise meski saya tidak mau mengeluh atau menyerah," kata Irwin. Misalnya, selain kurangnya skenario yang baik, juga terbatasnya dana dan peralatan. Selain itu, juga tidak banyak pemain yang baik. "Para pemain kita banyak, tapi yang bermutu nggak banyak," katanya lagi. Namun, bila pemain yang pas-pasan ditangani sutradara baik, ia bisa tampil lumayan. Sayangnya, masih menurut almarhum Irwin, sutradara yang profesional juga langka. Sayangnya lagi, Irwin terlalu cepat meninggalkan TVRI, meninggalkan dunia ini. Di tengah segala keterbatasan itu, syukurlah ada beberapa sinetron yang baik. Misalnya Sayekti dan Hanafi Bulan dalam Baskom Di Timur Matahari Aksara tanpa Kata Tuanku Tambusai beberapa episode Jendela Rumah Kita, dan yang masih gres tentu saja Sitti Nurbaya. Ini semua, salah satunya berkat penciptaan iklim kerja dalam pembuatan film televisi oleh almarhum Irwinsyah -- seperti diakui sutradara Arifin C. Noer. Memang ada penonton yang mengharapkan tampilnya nama-nama besar untuk sesering mungkin menyutradarai sinetron. Sebutlah nama Asrul Sani, Misbach Yussa Biran, Tatiek Maliyati, Teguh Karya, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, N. Riantiarno. Namun, TVRI belum mampu menyediakan dana yang besar. Arifin sendiri mengakui betapa sulitnya bekerja dengan dana yang amat terbatas. Untuk memproduksi Sebuah Dongeng Cinta, misalnya, ia hanya mendapat Rp 35 juta. "Dengan Rp 35 juta, dengan 13 shooting days, 5-6 hari untuk editing dan final editing, mengisi tata suara, menyusun musik dan mixing. Total semuanya kurang dari sebulan. Maka, dengan dana Rp 35 juta, semua orang bilang itu kecil sekali," kata Arifin. Namun, baginya, "Lakon televisi yang saya bikin lebih merupakan kegiatan sosial yang saya kerjakan dengan tulus dan bahagia." Di antara tujuh sinetron yang ditayangkan pada Pekan Sinetron yang lalu, setidak-tidaknya dua yang bagus. Yaitu Bayang-Bayang (skenario N. Riantiarno dan Eros Djarot, sutradara Suprantio Djarot) yang disajikan pada malam keempat. Lalu yang paling menonjol Sebuah Dongeng Cinta, malam terakhir, yang ditulis sekaligus disutradarai Arifin C. Noer. Asrul Sani menyebutkan, Dongeng Cinta merupakan karya yang paling unik dari semuanya, bahkan dari semua sinetron dan film Indonesia selama ini. Dongeng Cinta merupakan directors film (film sutradara) yang pertama dibuat di Indonesia. Menurut Asrul, ada dua macam film: film pengarang (writers film) yang bertopang pada plot, karakter, peristiwa, yang biasa kita lihat di sinetron atau film layar lebar dan film sutradara seperti karya Arifin, yang tak bertopang pada plot dan karakter. Dialognya pun tidak informatif karena memang bukan untuk berkomunikasi -- dan tidak lagi penting. Yang penting gambar-gambar yang puitis. Ceritanya sangat sede rhana, malah boleh dikata bukan cerita hanya kenangan orang-orang jompo mengenai masa muda. "Ini lebih merupakan sebuah puisi dengan gambar daripada sebuah prosa biasa," kata Asrul. Barangkali, sinetron Arifin ini tidak banyak dipahami orang -- termasuk para kritikus. "Dongeng Cinta adalah sebuah puisi. Nggak penting lagi apa itu yang namanya pelukisan," kata Asrul lagi. Akan halnya Sitti Nurbaya, yang diangkat dari novel Marah Roesli, menurut Asrul, itu merupakan "program budaya". Skenarionya ditulis oleh Asrul Sani, disutradarai oleh Dedi Setiadi, episode pertama disiarkan Sabtu lalu, sebagai bagian dari paket acara cakrawala sastra sebelum dan semasa Pujangga Baru. Tiga tahun lalu acara ini diusulkan Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani, karena buku-buku itu, sebagai warisan budaya, tidak lagi dibaca anak-anak sekolah. Asrul sebanyak mungkin mempertahankan sifat novel itu, bukan diambil plotnya lalu dikarang-karang. Untuk itu, ditampilkanlah narasi yang kalimatnya merupakan cuplikan dari novel itu, berikut visualisasi buku terbitan Balai Pustaka ini. Akibatnya, bahasa novel karya tahun 1930-an itu masih bisa didengar. Ada kesulitan Asrul menafsirkan karya Marah Roesli itu. "Sitti Nurbaya kurang sekali melukiskan kejadian. Ini yang kita cari, apa kira-kira kejadiannya, lalu direkonstruksi, biarpun dalam novel tidak disebut," katanya. Namun, bagi penyair Angkatan 45 itu, pembuatan sinetron Sitti Nurbaya, antara lain, bertujuan merangsang kembali iklim tumbuhnya kehidupan kesusastraan. Termasuk pembuatan sinetron ber- dasarkan sastra-sastra lama yang lain -- dan dengan warna adat daerah lain -- seperti Sukreni Gadis Bali karya I G.N. Panji Tisna. Budiman S. Hartoyo, Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus