Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis baru tvri, sinetron

Dalam mencari dana tambahan untuk operasional, TVRI menjual kaset sinetron. diantaranya losmen, sinetron berseri. Menyusul Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON yang ingin bertemu Pak Broto, Bu Broto, Tarjo, dan Mbak Pur kini tak perlu lagi menunggu jadwal TVRI. Terhitung September ini, Losmen -- sinetron berseri yang populer itu -- sudah go public. Maksudnya, penonton sudah dapat menyak- sikan serial losmen dengan cara membeli kaset rekamannya, yang dijual di beberapa toko buku terkenal. Inilah salah satu jurus televisi milik pemerintah itu dalam mencari dana tambahan untuk operasional. Nah, dari bisnis itu, TVRI akan mengumpulkan dana tambahan. Namun, Direktur Televisi, Ishadi, belum berani menaksir uang yang akan diterima dari penjualan sinetron. "Tidak terlalu besar. Tapi, lumayanlah untuk menambah anggaran," ujar Ishadi. Seperti yang dikatakan Ishadi beberapa waktu yang lalu, setiap tahun TVRI memerlukan dana sedikitnya Rp 120 milyar. Jumlah tersebut, kata lshadi, bisa dipenuhi dari iuran TV Rp 90 milyar dan anggaran Pemerintah Rp 16 milyar. Nah, sisanya dari berbagai usaha, termasuk dari penjualan kaset sinetron tadi. Namun, Ishadi menolak jika bisnis ini dikaitkan dengan larangan penyiaran iklan oleh TVRI. Dalam bisnis ini, TVRI bekerja sama dengan PT Video Tara, Balai Pustaka (yang punya hak paten atas buku-buku yang disinetronkan), dan Gramedia yang akan menjual kaset video itu. Belum jelas bagaimana bentuk kerja samanya. Hanya saja, dari penjualan setiap kaset sinetron tersebut, kabarnya TVRI akan memperoleh bagian 60%. PT Video Tara, yang ditunjuk untuk memperbanyak kaset video, memperoleh bagian 40%. Untuk bisnis itu, tentu bukan hanya Losmen yang akan dikomersialkan oleh TVRI. Beberapa sinetron lainnya, yang juga diproduksi TVRI, kini siap dijual. Sampai saat ini, sinetron yang sudah pasti dijual ke masyarakat baru dua buah. Yakni, sinetron Sitti Nurbaya sebanyak empat episode dan Sengsara Membawa Nikmat (enam episode). Yang masih dalam penggarapan adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Vijk. Ternyata, di samping sinetron, TVRI juga akan meng-go public-kan paket acara musik. Ini memang bukan perhitungan bisnis murni. Sebab, jika hasil penjualan sinetron dibandingkan dengan ongkos produksi, tidaklah memadai. Untuk membuat sinetron bermasa putar 40 menit, misalnya, TVRI harus merogoh kocek paling sedikit Rp 80 juta. Kata Ishadi, kendati nantinya akan pas-pasan menutup seluruh biaya produksi, bisnis ini agaknya termasuk lumayan. Daripada film-film yang sudah diputar beberapa kali itu terbuang percuma alias masuk gudang, mengapa tidak dijual saja. Lagi pula, beberapa produksi sinetron tak seluruhnya diambil dari kocek TVRI. Untuk membuat 10 episode sinetron Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat, TVRI menanggung Rp 500 juta. Sisanya ditanggung oleh Bank Rakyat Indonesia, yang dengan suka hati bersedia menjadi sponsor. Dalam perkara mencari sponsor dan penjualan sinetron, TVRI memang tidak turun tangan. Semua kegiatan bisnis ini seluruhnya diserahkan kepada Yayasan Tele- visi. Soal pasar, tampaknya, tak jadi masalah bagi TVRI. Selain Indonesia, TVRI juga mengharapkan sinetronnya dibeli oleh kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri. Kata Ishadi, di Jerman saja ada sekitar 15 ribu mahasiswa Indonesia. "Bukankah itu juga merupakan pasar bagi kami," ujar Ishadi. Bagi TVRI, berbisnis sinetron bukan perkara baru. Secara teratur, sejak tahun 1988, Radio Televisien Malaysia (RTM) menayangkan film-film drama TVRI. Bukan hanya ke Malaysia, melainkan sinetron serupa juga telah dijual ke Singapura. Dari setiap penjualan sinetron TVRI mengantongi Rp 3 juta sampai Rp 5 juta. Konon di Malaysia film-film Indonesia yang penuh dengan air mata ini ditonton oleh sekitar dua juta pemirsa. Kita tunggu saja hasilnya. Siapa tahu sinetron Losmen TVRI ini tidak hanya mengalahkan kepopuleran film seri Mac Gyver, tapi juga kaset-kaset video Barat yang saat ini sudah lebih dahulu beredar di pasar. BA, Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus