TURNAMEN tinju amatir Piala Presiden dari tahun ke tahun makin sepi dan lesu darah. Berikut ini petikan wawancara Ivan Haris dari TEMPO dengan Presiden Asosiasi Tinju Amatir Dunia (AIBA) Anwar Chowdhry. Penonton sepi dan makin tak menarik. Komentar Anda? Saya setuju dengan pendapat itu. Menyedihkan. Itu sudah berlangsung 3-4 tahun ini. Padahal, pertandingannya bagus. Yang begini hanya di Jakarta? Tidak. Saya menyaksikan gejala penurunan penonton ini sudah melanda dunia. Di Beijing atau Bangkok sama saja. Ini problem kota besar. Kita lakukan di Beijing hanya ditonton 1.000 orang. Tapi, begitu diselenggarakan di Xian Tu, malah dihadiri 8.000 penonton. Bagaimana cara mengatasinya? Kami masih memikirkannya. Tapi ada juga pengalaman di Beijing yang dapat dipetik. Misalnya, tiket dijual digabung lotere berhadiah televisi atau sepeda motor. Itu dapat ditiru. Di kota besar seperti Jakarta, sulit menyedot penonton karena sudah banyak hiburan menarik. Jadi, bukan karena mutu petinju yang tampil tak sesuai dengan besarnya kejuaraan ini? Tidak juga. Ini sudah bagus, petinju-petinju seimbang. Bisa juga, misalnya, mengundang Kuba. Tapi akibatnya dapat dibayangkan. Semua pertandingan, mulai babak penyisihan sampai final, bisa hanya selesai 1,5 jam. Sebab, mereka akan meng-KO lawan- lawannya di ronde pertama. Ini jelas tak menarik. Rencana tinju amatir wanita? Persoalannya begini. Tahun lalu, AIBA pernah diminta Asosiasi Atlet Wanita agar memperbolehkan mereka ikut dalam pertandingan tinju. Kami menolak karena menganggap tinju bukan olahraga yang pantas dilakukan oleh wanita. Akibatnya, di AS mereka menggugat kami dengan tuduhan melanggar hak mendapat kesempatan yang sama dan jelas melanggar konstitusi di AS itu. AIBA dikalahkan. Kami naik banding. Tapi pengacara kami menasihati bahwa kami tak punya harapan menang. Akhirnya, kami memutuskan menyerah, dengan harapan, bila mereka kemudian naik ring dan seorang wanita terpukul KO, mereka akan sadar sendiri. Begitulah inti pemikirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini