Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Setop sampah impor

Kapal greenpeace berlabuh empat hari di tanjungpriok, untuk kampanye membebaskan kawasan asean dari sampah impor. sampah b3 memang masih banyak diimpor ke sini dan sampai sekarang belum juga dilarang secara tuntas.

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA pemandangan yang tak biasa di pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta, Jumat pekan lalu. Lebih dari 60 orang berkaus kuning bertuliskan "Sampah Impor Stop" membentuk barisan yang pangkalnya di truk sampah dan ujungnya di kapal Greenpeace. Secara bergantian, mereka mengoper keranjang-keranjang berisi sampah untuk dinaikkan ke kapal. Sesampai di atas kapal, belasan keranjang itupun ditumpahkan ke dalam sebuah kotak lalu diangkat tinggi-tinggi, diayun-ayunkan di udara hingga menarik perhatian orang. Kegiatan itu merupakan upacara yang dimotori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ketika menyambut kapal Greenpeace, yang sehari sebelumnya membuang jangkar di perairan Tanjungpriok. Inilah pertama kali kapal milik lembaga swadaya yang punya reputasi internasional itu mendapat izin masuk ke Indonesia. Selama empat hari, kelompok Greenpeace yang terkenal radikal itu berada di negeri ini untuk mencari masukan bagi pertemuan Konvensi Basel II di Jenewa, Maret mendatang. Dalam konvensi internasional ini akan dibahas lintas batas pengiriman limbah B3 (berat, beracun, dan berbahaya). Sampah dari Walhi dan puluhan pemulung itu adalah salah satu titipan yang akan dibawa Greenpeace ke Basel. Setelah upacara serah terima sampah selesai, para pemulung tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyampaikan protes. Sebuah spanduk yang dipenuhi tanda tangan mereka -- yang nafkahnya sempat terganggu oleh sampah impor itu -- dititipkan pula untuk dibawa ke Basel. "Asia Bukan Tempat Pembuangan Sampah Anda" begitu bunyi spanduk yang diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris. Kedatangan kapal Greenpeace memang lebih dilihat sebagai kemenangan simbolis dari kelompok anti sampah impor. Dan juga kemenangan bagi Walhi maupun Greenpeace, yang tengah berkeliling Asia dengan membawa misi "Asia Toxic Tour". "Misi kami adalah membuka mata negara industri penghasil sampah ekspor bahwa produknya sangat merugikan orang lain," kata Simon Divecha, juru kampanye Greenpeace khusus untuk masalah sampah beracun. Menurut Ita Rachmita, aktivis Walhi, dalam upaya menentang sampah impor, Indonesia tertinggal dibanding dengan Afrika. Sejak 1991, benua termiskin di dunia itu bahkan sudah memiliki Konvensi Bamako, yang tegas-tegas melarang perdagangan dan pengiriman sampah ke Afrika. Tapi sebelum ada konvensi, Afrika memang merupakan sasaran sampah yang paling empuk. Menurut data Greenpeace, selama 1989-1991, ada 43 kegiatan perdagangan sampah luar negeri ke Afrika. Setelah konvensi Bamako diberlakukan, hingga Oktober 1993 hanya ada empat perdagangan sampah. Pengamanan dalam bentuk produk hukum semacam itulah yang belum dipunyai negara-negara di ASEAN. Indonesia, misalnya. Meski diakui bahwa sampah impor berbahaya, kampanye anti sampah beracun tampaknya masih perlu digenjot. Soalnya, Indonesia belum melarang impor semua jenis sampah. Menurut Ita Rachmita, peraturan pemerintah tentang sampah B3 sampai kini pun tak kunjung disahkan. Tak berlebihan jika muncul kekhawatiran bahwa tanpa peraturan ketat negara-negara ASEAN tetap akan dijadikan sasaran sampah. Apalagi kiriman sampah makin sulit diatasi. Menurut program lingkungan hidup PBB, pada tahun 1990 diperkirakan 300-400 juta ton limbah B3 dihasilkan di seantero dunia, 98% di antaranya oleh 24 negara maju anggota OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan). Negara-negara maju itu saat ini kelabakan mengatasi "ledakan" sampah mereka. Misalnya Kota Sydney di Australia, yang akan kehabisan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dalam tujuh tahun mendatang. AS juga kewalahan. Tak kurang dari 2.700 TPA di negeri adikuasa ini telah ditutup, sedangkan biaya pembuangan sampah di AS semakin meroket -- dari US$ 15 per ton (1980) menjadi US$ 250 per ton (1989). Tak heran bila ada saja yang membuang sampahnya ke negara-negara yang belum punya peraturan ketat soal sampah. "Selain itu, membuang sampah ke negara lain jelas menguntungkan," kata Nabiel Makarim, Deputi I Bapedal. Untuk membuang zat limbah cat pesawat terbang di AS, misalnya, biayanya mencapai US$ 25 per kilo. Sedangkan bila dikirim, biayanya hanya 50 sen per kilo. Untuk pengapalan dan uang untuk penerima limbah, hanya diperlukan tambahan 50 sen per kilo. Total 1 dolar per kilo, yang berarti ada selisih keuntungan US$ 24 per kilo. "Padahal, yang dikirim berton-ton," ujar Nabiel. Maka, tak bisa tidak, harus diciptakan perangkat ketentuan hukum yang mengamankan negeri ini dari kiriman sampah impor, termasuk peraturan tentang pengembalian sampah yang telanjur masuk. Seperti diketahui, tahun lalu Indonesia mendapat kiriman 247 kontainer sampah plastik yang dicoba direekspor. Usaha itu bukannya tanpa hambatan. Pemerintah Jerman kebetulan mau menerima kembali sampah industri mereka. Tapi sampah dari Belanda agak alot penyelesaiannya karena mesti berhubungan langsung dengan pihak perusahaan. Sikap para industriwan negara maju yang tidak ramah lingkungan itu hendaknya lebih memantapkan tekad kita untuk tidak menunda-nunda larangan masuk segala jenis sampah. Yah, sebelum semuanya terlambat.GSI, Bina Bektiati, dan Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum