TIM Peneliti yang dibentuk Menmud Abdul Gafur untuk menyelidiki
kecelakaan dalam Lomba Lintas Pantai Muara Gembong-Ancol, Senin
lalu mulai bekerja. Tapi dengan terbentuknya tim itu saja,
menurut Sekjen KONI Pusat, M.F. Siregar, sudah menjadi pertanda
"ada sesuatu yang kurang beres" dalam lomba yang menelan korban
4 orang peserta tewas itu.
Dari pihak penyelenggara sendiri, tak seorang anggota panitia
pun yang bisa memberikan rekonstruksi di saat-saat musibah itu
terjadi 12 Februari lalu. Ketua Panitia, Udung S.A., bahkan
mengakui panitia belum siap benar di pos masing-masing ketika
para peserta mulai berangkat dari tempat start.
Musibah itu terjadi sekitar pukul 12, padahal start ditentukan
pukul 12.15. "Para korban berjatuhan di tempat kira-kira 2 jam
perjalanan dari tempat start," kata Udung, pengusaha udang itu.
Peserta sebanyak 2.630 orang itu diangkut dengan kapal ALRI dari
Tanjungpriok dan diturunkan di Desa Muara Gembong sekitar pukul
10. Mereka berebutan mencari tempat start yang terbaik,
lama-lama melewati garis start, sehingga akhirnya berangkat
sebelum aba-aba diberikan. "Tempat musibah itu sebenarnya tidak
angker menurut penduduk yang mengusahakan perikanan empang di
situ," tutur Udung pemuda berusia 30 tahun asal Sumedang itu.
"Para korban itu menyeberang di tempat yang terbuka, tidak ada
pohon untuk bisa menambatkan tali, kira-kira 300 m dari rute
yang ditentukan," tambah Hanafi, sekretaris panitia. Setiap
peserta lomba diwajibkan memperlengkapi diri dengan tali 20 m
dan tongkat 2 m, selain obat-obatan.
Penyimpangan peserta dari tempat penyeberangan yang telah
ditentukan, menurut Edy Sukamto, seorang peserta regu SMA
Al-Chasanah, karena sekitar pukul 12 hari itu ada sebuah perahu
motor. tempel. Peserta yang melihatnya langsung hendak memakai
perahu itu untuk menyeberang. Tapi pemilik perahu buru-buru
membawa kendaraannya pergi. Ternyata uang bensin Rp 100 yang
ditagihnya tak dibayar oleh 20 orang yang telah ia seberangkan
sebelumnya.
Karena itu sebagian peserta yang bisa berenang langsung
menyeberangi sungai Blacan. "Permukaan sungai itu tenang, tapi
arusnya deras di bagian bawah," tutur dua remaja yang ditemui
TEMPO sedang menerima piagam keberhasilan ikut lomba di
sekretariat panitia Sabtu lalu.
Peserta yang mampu menyeberangi kali itu antara lain Darwin,
pelajar SMA Al Chasanah. Ia yang memasangkan tali penyeberangan
untuk 4 regu sekolahnya. Ia dibantu rekannya, Edy Sukamto.
"Semenura Darwin memasang tali, Dedy Purwanto, salah seorang
yang jadi korban itu ada di samping saya," tutur Edy. Menghadapi
kali selebar 50 m itu Dedy sempat mengucapkan rasa khawatir
kepada Edy. Gua juga ragu-ragu Dedy. Kalau takut, mendingan
nyeberang pakai tali saja," Edy memberi nasihat.
Sementara itu Dedy membuat rakit sekenanya. "Sewaktu saya sedang
mengetes sambungan tali yang sempat putus 3 kali, saya lihat
Dedy berenang mendorong rakit yang digantunginya ransel.
Tahu-tahu saya lihat ranselnya hanyut. Saya berteriak kepada
orang di tepi kali agar membantu Dedy," tutur Edy Sukamto.
Johny Yohansyah, rekan Dedy dari SMA 16, kemudian terjun
mengejar ransel Dedy yang berisi perlengkapan lomba, termasuk
kamera dan walkman. "Begitu Johny mengangkat ransel itu, ia
bingung tidak menemukan Dedy. Tapi kemudian Johny sendiri
tenggelam," tutur Edy.
Sekitar 20 menit kemudian sementara menunggui tali untuk
regunya, Darwin melihat 5 orang menyeberang di atas sampan yang
mestinya cuma muat 3 orang. "Sampai di tengah kali, perahu itu
terbalik. Dua orang kemudian hilang," tutur Darwin. Kedua korban
terakhir ini dikeuhui bernama Gogon Mungani dan Suganda.
"Kami baru mengetahui ada kecelakaan itu setelah mendengar
laporan Orari sekitar pukul 13," kata Hanafi. Ia dan tim
penyelamat datang ke tempat kejadian dan mulai melakukan
pencarian hingga pukul 20 bersama Tim SAR dan Marinir. Yang
ditemukan hanya 4 korban itu, padahal peserta yang pingsan
sampai puluhan orang.
"Sebenarnya korban itu tak perlu terjadi kalau tidak teledor.
Istilah marabahaya cuma berlaku di kalangan bahari. Begitu
karam, tak ada jalan lari, kecuali berjuang untuk menyelamatkan
diri," kata Hans Kawulusan, ketua Masyarakat Bahari yang
mensponsori lomba ini. KONI Jaya sebagai pengawas lomba ini
menilai panitia sudah melakukan persiapan cukup dan
menyelenggarakan lomba ini dengan "sukses". "Kecelakaan terjadi
karena peserta itu tidak sabar. Buktinya yang lain-lain sampai
dengan selamat," kata ketua KONI DKI, Erwin Baharuddin dalam
konperensi pers panitia pekan lalu.
Tapi setelah konperensi pers itu, panitia dipanggil Menmud Abdul
Gafur. Menteri yang menyumbangkan piala kejuaraan, Kamis lalu
memerintahkan penyusunan suatu tim pengusut musibah itu. Tim
yang terdiri dari unsur polisi, Pangdaeral, KONI Jaya, panitia
dan staf Menmud, mulai bekerja awal pekan ini.
Apa pun juga hasil kerja tim itu, tapi M.F. Siregar menilai
panitia "tampaknya menganggap enteng dan berpikir lihat saja
nanti". Hal ini tercermin dari pemberangkatan secara massal.
"Akibatnya, begitu tiba di tempat bahaya, panitia tak bisa
mengontrol lagi. Kalau belum berpengalaman, panitia bisa belajar
dari perlombaan-perlombaan berbahaya dulu, seperti Tri Lomba
Juang (1980)," tambah Sekjen KONI itu. Panitia TLJ waktu itu
melakukan survei terhadap lokasi lomba sampai 1 tahun.
Pengamanan pun dengan 1 batalyon tentara dibantu 2 helikopter.
Padahal medan yang ditempuh tidak seganas rute lintas pantai di
Muara Gembong ini.
"Pengamanan lomba gerak jalan Bogor-Jakarta (60 km) juga jauh
lebih baik dibandingkan dengan lintas pantai ini," kata Sariah,
juara III gerak jalan Bogor-Jakarta I982 dan kapten regu putri
Al Chasanah yang jadi juara Semangat Bahari lomba lintas pantai.
Panitia tidak mengetes fisik dan ketahanan peserta, padahal "ini
merupakan tanggung jawab panitia," kata direktur SMA Al
Chasanah, Achyar Musa. SMA Al Chasanah serigaja mengirim 25
pelajarnya untuk ikut lomba ini karena menganggap: "ini kegiatan
rekreasi yang lebih terarah dihandingkan dengan berkemah".
Peserta Al Chasanah dipilih di anura mereka yang pernah ikut
lomba ketahanan jalan kaki Bogor-Jakarta, di samping tes push up
(50 kali), lari rintangan (16 kali) dan berdisiplin.
Sistem seleksi ini juga sudah diselenggarakan Wanadri,
perkumpulan pendaki gunung dan menempuh rimba yang terkenal di
Indonesia. Di Bandung, antara lain Wanadri melakukan tes dengan
long march, menyeberangi danau dengan tali, mengemudikan dan
mendayung perahu, termasuk mencari makanan darurat tanpa merusak
lingkungan. Ketatnya pemilihan calon anggota Wanadri ini
tampaknya untuk tidak mengulangi sejarah korban-korban pendaki
gunung, dan terutama 7 korban anggotanya yang tewas dalam rally
Citarum pertama (1975).
Tapi panitia lintas pantai ini rupanya tidak kapok. "Tahun depan
kami akan mengadakan lomba kedua, tepat pada 12 Februari lagi.
Tapi dengan peserta lebih selektif," tekad ketua Masyarakat
Bahari, Hans Kawulusan. Memang tekad yang berani, asal tanggal
itu tidak jadi hari celaka lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini