Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Menyusuri musibah pantai muara...

Musibah pada lomba lintas pantai muara gembong ancol, yang menelan korban, mulai diteliti, ada sesuatu yang kurang beres.(or)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIM Peneliti yang dibentuk Menmud Abdul Gafur untuk menyelidiki kecelakaan dalam Lomba Lintas Pantai Muara Gembong-Ancol, Senin lalu mulai bekerja. Tapi dengan terbentuknya tim itu saja, menurut Sekjen KONI Pusat, M.F. Siregar, sudah menjadi pertanda "ada sesuatu yang kurang beres" dalam lomba yang menelan korban 4 orang peserta tewas itu. Dari pihak penyelenggara sendiri, tak seorang anggota panitia pun yang bisa memberikan rekonstruksi di saat-saat musibah itu terjadi 12 Februari lalu. Ketua Panitia, Udung S.A., bahkan mengakui panitia belum siap benar di pos masing-masing ketika para peserta mulai berangkat dari tempat start. Musibah itu terjadi sekitar pukul 12, padahal start ditentukan pukul 12.15. "Para korban berjatuhan di tempat kira-kira 2 jam perjalanan dari tempat start," kata Udung, pengusaha udang itu. Peserta sebanyak 2.630 orang itu diangkut dengan kapal ALRI dari Tanjungpriok dan diturunkan di Desa Muara Gembong sekitar pukul 10. Mereka berebutan mencari tempat start yang terbaik, lama-lama melewati garis start, sehingga akhirnya berangkat sebelum aba-aba diberikan. "Tempat musibah itu sebenarnya tidak angker menurut penduduk yang mengusahakan perikanan empang di situ," tutur Udung pemuda berusia 30 tahun asal Sumedang itu. "Para korban itu menyeberang di tempat yang terbuka, tidak ada pohon untuk bisa menambatkan tali, kira-kira 300 m dari rute yang ditentukan," tambah Hanafi, sekretaris panitia. Setiap peserta lomba diwajibkan memperlengkapi diri dengan tali 20 m dan tongkat 2 m, selain obat-obatan. Penyimpangan peserta dari tempat penyeberangan yang telah ditentukan, menurut Edy Sukamto, seorang peserta regu SMA Al-Chasanah, karena sekitar pukul 12 hari itu ada sebuah perahu motor. tempel. Peserta yang melihatnya langsung hendak memakai perahu itu untuk menyeberang. Tapi pemilik perahu buru-buru membawa kendaraannya pergi. Ternyata uang bensin Rp 100 yang ditagihnya tak dibayar oleh 20 orang yang telah ia seberangkan sebelumnya. Karena itu sebagian peserta yang bisa berenang langsung menyeberangi sungai Blacan. "Permukaan sungai itu tenang, tapi arusnya deras di bagian bawah," tutur dua remaja yang ditemui TEMPO sedang menerima piagam keberhasilan ikut lomba di sekretariat panitia Sabtu lalu. Peserta yang mampu menyeberangi kali itu antara lain Darwin, pelajar SMA Al Chasanah. Ia yang memasangkan tali penyeberangan untuk 4 regu sekolahnya. Ia dibantu rekannya, Edy Sukamto. "Semenura Darwin memasang tali, Dedy Purwanto, salah seorang yang jadi korban itu ada di samping saya," tutur Edy. Menghadapi kali selebar 50 m itu Dedy sempat mengucapkan rasa khawatir kepada Edy. Gua juga ragu-ragu Dedy. Kalau takut, mendingan nyeberang pakai tali saja," Edy memberi nasihat. Sementara itu Dedy membuat rakit sekenanya. "Sewaktu saya sedang mengetes sambungan tali yang sempat putus 3 kali, saya lihat Dedy berenang mendorong rakit yang digantunginya ransel. Tahu-tahu saya lihat ranselnya hanyut. Saya berteriak kepada orang di tepi kali agar membantu Dedy," tutur Edy Sukamto. Johny Yohansyah, rekan Dedy dari SMA 16, kemudian terjun mengejar ransel Dedy yang berisi perlengkapan lomba, termasuk kamera dan walkman. "Begitu Johny mengangkat ransel itu, ia bingung tidak menemukan Dedy. Tapi kemudian Johny sendiri tenggelam," tutur Edy. Sekitar 20 menit kemudian sementara menunggui tali untuk regunya, Darwin melihat 5 orang menyeberang di atas sampan yang mestinya cuma muat 3 orang. "Sampai di tengah kali, perahu itu terbalik. Dua orang kemudian hilang," tutur Darwin. Kedua korban terakhir ini dikeuhui bernama Gogon Mungani dan Suganda. "Kami baru mengetahui ada kecelakaan itu setelah mendengar laporan Orari sekitar pukul 13," kata Hanafi. Ia dan tim penyelamat datang ke tempat kejadian dan mulai melakukan pencarian hingga pukul 20 bersama Tim SAR dan Marinir. Yang ditemukan hanya 4 korban itu, padahal peserta yang pingsan sampai puluhan orang. "Sebenarnya korban itu tak perlu terjadi kalau tidak teledor. Istilah marabahaya cuma berlaku di kalangan bahari. Begitu karam, tak ada jalan lari, kecuali berjuang untuk menyelamatkan diri," kata Hans Kawulusan, ketua Masyarakat Bahari yang mensponsori lomba ini. KONI Jaya sebagai pengawas lomba ini menilai panitia sudah melakukan persiapan cukup dan menyelenggarakan lomba ini dengan "sukses". "Kecelakaan terjadi karena peserta itu tidak sabar. Buktinya yang lain-lain sampai dengan selamat," kata ketua KONI DKI, Erwin Baharuddin dalam konperensi pers panitia pekan lalu. Tapi setelah konperensi pers itu, panitia dipanggil Menmud Abdul Gafur. Menteri yang menyumbangkan piala kejuaraan, Kamis lalu memerintahkan penyusunan suatu tim pengusut musibah itu. Tim yang terdiri dari unsur polisi, Pangdaeral, KONI Jaya, panitia dan staf Menmud, mulai bekerja awal pekan ini. Apa pun juga hasil kerja tim itu, tapi M.F. Siregar menilai panitia "tampaknya menganggap enteng dan berpikir lihat saja nanti". Hal ini tercermin dari pemberangkatan secara massal. "Akibatnya, begitu tiba di tempat bahaya, panitia tak bisa mengontrol lagi. Kalau belum berpengalaman, panitia bisa belajar dari perlombaan-perlombaan berbahaya dulu, seperti Tri Lomba Juang (1980)," tambah Sekjen KONI itu. Panitia TLJ waktu itu melakukan survei terhadap lokasi lomba sampai 1 tahun. Pengamanan pun dengan 1 batalyon tentara dibantu 2 helikopter. Padahal medan yang ditempuh tidak seganas rute lintas pantai di Muara Gembong ini. "Pengamanan lomba gerak jalan Bogor-Jakarta (60 km) juga jauh lebih baik dibandingkan dengan lintas pantai ini," kata Sariah, juara III gerak jalan Bogor-Jakarta I982 dan kapten regu putri Al Chasanah yang jadi juara Semangat Bahari lomba lintas pantai. Panitia tidak mengetes fisik dan ketahanan peserta, padahal "ini merupakan tanggung jawab panitia," kata direktur SMA Al Chasanah, Achyar Musa. SMA Al Chasanah serigaja mengirim 25 pelajarnya untuk ikut lomba ini karena menganggap: "ini kegiatan rekreasi yang lebih terarah dihandingkan dengan berkemah". Peserta Al Chasanah dipilih di anura mereka yang pernah ikut lomba ketahanan jalan kaki Bogor-Jakarta, di samping tes push up (50 kali), lari rintangan (16 kali) dan berdisiplin. Sistem seleksi ini juga sudah diselenggarakan Wanadri, perkumpulan pendaki gunung dan menempuh rimba yang terkenal di Indonesia. Di Bandung, antara lain Wanadri melakukan tes dengan long march, menyeberangi danau dengan tali, mengemudikan dan mendayung perahu, termasuk mencari makanan darurat tanpa merusak lingkungan. Ketatnya pemilihan calon anggota Wanadri ini tampaknya untuk tidak mengulangi sejarah korban-korban pendaki gunung, dan terutama 7 korban anggotanya yang tewas dalam rally Citarum pertama (1975). Tapi panitia lintas pantai ini rupanya tidak kapok. "Tahun depan kami akan mengadakan lomba kedua, tepat pada 12 Februari lagi. Tapi dengan peserta lebih selektif," tekad ketua Masyarakat Bahari, Hans Kawulusan. Memang tekad yang berani, asal tanggal itu tidak jadi hari celaka lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus