DIIRINGI suara gemuruh, baja cair itu perlahan-lahan dituang
dari dapur listrik ke sebuah mangkuk besi raksasa. Di atas sana,
dekat ruang operator derek (crane), angka di papan penunjuk
berkelap-kejap menghitung volume baja yang dituang. Sambil
berusaha menahan silau cahaya baja cair, Dirut PT Krakatau Steel
(KS) Tungky Ariwibowo, dan sejumlah ahli dari Ferrostahl
kelihatan antusias menyaksikan proses penuangan di Pabrik Slab
Baja (PSB) itu. "Baja itu telah lahir," kata Ariwibowo.
Slab berwujud lembaran baja setebal 20 cm, lebar 2 m, panjang 12
m, dan berat 30 ton, memang telah lahir dari penuangan di pabrik
itu. Dengan bahan baku inilah, pabrik Hot Roll Mill (HRM) kelak
membuat baja gulungan, lembaran, dan pelat, yang antara lain
diperlukan industri otomotif dan perkapalan -- lewat proses
penggilingan panas. Dibangun dengan dana US$ 900 juta, PSB dan
HRM itu merupakan unit produksi KS yang pekan ini akan
diresmikan oleh Presiden Soeharto. "Dengan tambahan dua unit
produksi itu, jangkauan KS ke industri hilir kini semakin luas,"
kata Ariwibowo.
Sebagai industri hulu, sudah beberapa tahun terakhir ini KS
berusaha memenuhi kebutuhan industri hilir akan billet, besi
beton, besi profil, kawat baja, dan wire rod. Dari hasil
pengolahan bijih besi, sekitar 70% masih diimpor dari Swedia,
dihasilkannya juga besi spons yang sebagian sudah diekspor ke
India. Tapi kini tampaknya merupakan saat berat bagi KS untuk
memasarkan baja gulungan, lembaran, dan pelat, mengingat
industri otomotif? dan pipa, konsumen terbesar produk itu sedang
loyo.
Toh Dirut Ariwibowo tetap optimistis sasaran pemasaran 200 ribu
ton baja gulungan, lembaran, dan pelat hasil penggilingan panas
itu bisa dicapainya tahun ini. Pasar di dalam negeri untuk
ketiga produk itu, katanya, cukup potensial. Dia menunjuk pada
impor produk baja olahan eks Jepang yang tahun 1981 baru 1,3
juta ton, tapi tahun lalu sudah mencapai 1,5 juta ton. Dari
impor baja olahan tahun 1981 itu sekitar 300 ribu ton berupa
baja gulungan pelat, dan lembaran hasil penggilingan panas.
Tahun lalu (Januari-Mei) impor ketiga produk baja penggilingan
panas itu sudah 150 ribu ton.
PT Toyota Mobilindo, Jakarta, tahun lalu menyerap 5,5 ribu ton
baja pelat hasil penggilingan panas, 10 ribu ton baja pelat
hasil penggilingan dingin eks Nippon Steel, penghasil baja
terbesar di Jepang. Dengan pelat (panjang 4 m, lebar 1 m, dan
tebal 3 ,8 mm) penggilingan panas itu, misalnya, Mobilindo
membuat chasis Toyota Hi-Ace. Tahun ini pemakaian baja pelat
hasil penggilingan panas, dan dingin pabrik iN diperkirakan akan
mencapai 20 ribu ton.
Produk baja olahan eks Jepang itu diduga akan semakin kuat di
sini karena harga jualnya murah. Baja pelat, misalnya, Desember
lalu dilempar dengan harga ekspor Rp 189 per kg. Padahal produk
serupa di Jepang harganya Rp 260, sedang di pasar spot (tunai)
di perbatasan Jerman Barat-Prancis Rp 244 per kg. Menghadapi
siasat banting harga itu, pemerintah berusaha melindungi KS yang
dianggap masih belum mampu berproduksi secara efisien.
Caranya: menekan impor, dan menetapkan harga produk baja hasil
penggilingan panas eks impor (keluar gudang pelabuhan) sama
dengan eks KS (dari pabrik) yaitu Rp 301,5 per kg. Karena KS
juga berperan selaku Pusat Pengadaan Besi Baja, yang bertugas
mengendalikan impor baja, cara penetapan harga setinggi itu
agaknya membuat posisi KS di atas angin. Tapi buat pabrik-pabrik
(pembeli) itu berarti biaya produksi akan jatuh lebih tinggi
lagi.
Maukah industri komponen memikul beban itu? "Kalau memang itu
merupakan keharusan pemerintah ya akan kita taati," jawab Dirut
Toyota Mobilindo Osamu Ohnishi. Kendati pada permulaan industri
komponen itu bersedia membeli baja pelat dengan harga mahal, dia
mengharapkan agar di kemudian hari KS bisa bekerja lebih
efisien. Jika manajemen dan pabrik efisien, katanya, "tingkat
harga itu bisa ditekan."
Upaya belajar berproduksi secara efisien memang akan dilakukan
KS lewat persetujuan manajemen produksi dengan salah satu pabrik
baja terkemuka. Selama dua tahun terikat dalam persetujuan itu,
manajemen dan tenaga kerja KS hanya akan berperanan sebagai
orang kedua. Kini tawaran untuk mengoperasikan PSB dan HRM
dengan teknologi Jerman Barat iN sudah dibuka. Sejumlah pabrik
baja terkemuka seperti Thyssen (Jerman Barat), US Steel (AS),
dan Kobe Steel (Jepang), sudah mengajukan tawaran. "Jadi jika
kelak pihak Thyssen yang memenangkannya, rasanya soal kualitas
dan efisiensi tak perlu diragukan lagi," kata Ariwibowo.
Dia juga menjamin operator itu kelak bisa menyediakan produk
baja hasil penggilingan panas secara tetap, dan terjaga. Dengan
pelayanan semacam itu, dia menduga konsumen tak perlu lagi
melakukan penimbunan produk baja tadi secara berlebihan. "Kalau
hasil produksi kami jelek, jangan khawatir, kami akan
memperbaiki, dan menggantinya," sambung Ariwibowo.
Di hari-hari ini semua peralatan produksi di PSB dan HRM masih
dicoba kemampuannya oleh Ferrostahl (pabrik baja dari Jerman
Barat), sebagai kontraktor utama. Jika segalanya lancar, di
sebelah kedua unit produksi itu kelak berdiri pula unit Cold
Roll Mill, yang akan menghasilkan baja gulungan, lembaran, dan
pelat lewat proses penggilingan dingin. Di pabrik ini, yang
didirikan tanpa Jaminan pemerintah, KS akan memegang saham 40%,
pengusaha besar Liem Sioe Liong dan Ciputra 40%, sedang sisanya
(20%) dipegang sebuah lembaga perbankan Belgia. Biaya
pembangunan CRM ditaksir akan menelan US$ 800 juta lebih, dan
sekitar US$205 juta dibiayai dengan kredit sindikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini