Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Antara merapi dan menoreh

Bentuk dan relief candi borobudur. (ling)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM buku Babad Tanah Jawi, Borobudur disebut sebagai "candi dengan seribu patung Budha". Babad Mataram bahkan menyatakan pantang bagi bangsawan Yogyakarta menginjak candi agung yang bagaikan bukit indah hasil karya manusia ini. Bagi orang Jawa, demikian Raffles dalam Histoy of Java, kebesaran leluhur mereka tetap hidup bagaikan dongeng dari bibir ke bibir, lebih-lebih kalau ada bukti nyata berupa monumen dalam bentuk arsitektur yang begitu unik, satu-satunya monumen Budha terbesar di dunia. Dalam masa kekuasaan Inggris di Jawa (1811-1816), Gubernur Raffles ketika berkunjung ke Semarang konon mendengar bahwa di dekat Desa Bumisegoro ada sebuah candi. Sebelumnya, Raffles berhasil mendokumentasikan kelompok candi di Jawa Timur. Dia membuat sketsa dan arti dari reruntuhan kota Medang Kamulan di Jawa Timur. Dan sementara mengagumi candi Prambanan dengan patung indah dari Roro Jonggrang, dia berpikir tentu ada candi lain di Jawa Tengah. Sayang, Raffles tampaknya tak punya waktu. Dia menyuruh seorang opsir zeni H.C. Cornelius yang juga telah menangani candi-candi sebelumnya. Bukit itu digali di tahun 1815. Dua puluh tahun kemudian, F.C. Wilsen mendapat perintah resmi untuk menyalin ratusan ikon di atas batu itu dalam gambar. Dilengkapi dengan monografi dari Leemans, sebuah buku tentang Borobudur akhirnya terbit di tahun 1873. Tahun berikutnya, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Borobudur lahir kembali, lebih-lebih sejak Theodore van Erp di tahun 1907 menata batu-batu yang berserakan itu. Kalau di Barat ada masa Karel Agung sebagai penguasa emporium Roma, di Timur ada Borobudur yang diduga didirikan oleh Raja Samaratunga dari wangsa Syailendra. Keduanya mempunyai eksistensi zaman yang sama, abad ke-8 Masehi. Terletak di jantung Pulau Jawa di dataran Kedu yang subur, Borobudur mempunyai lanskap yang indah. Gunung Merapi Merbabu berada di sebelah timurnya, dan disebelah barat terhampar memanjang bukit Menoreh. Menurut dongeng rakyat setempat, Menoreh adalah Gunadharma -- sang arsitek Borobudur -- yang tidur menelentangkan diri di samping karya agungnya. Lewat imaji mata, Menoreh memang tampak bagaikan seoran raksasa yang sedang tidur. Penduduk setempat percaya bahwa Gunadharma kini sedang tidur pulas dan puas akan karya seninya ini. Borobudur sendiri kemudian diterjang kekuasaan alam dengan meletusnya gunung Merapi di tahun 1006-Abu dan lava menimbuninya, sementara masa kerajaan Jawa Tengah turut musnah. Kemudian muncul masa kerajaan Jawa Timur. Candi dengan limas berundak ini mempunyai sisi panjang 123 m. Tingginya 42 m, termasuk puncak stupa. Ada 10 tingkat yang diduga melambangkan 10 raja-raja wangsa Syailendra. Enam tingkat pertama dalam bentuk segi empat. Setiap sisinya mempunyai bentuk liku-liku menonjol sehingga memberi kesan bersudut banyak. Tiga tingkat berikutnya berbentuk bulat, dengan 72 stupa dan satu tingkat teratas dalam bentuk stupa besar dengan diameter 9,90 m dan tinggi 7 m. Relief yang menceriterakan kisah sang Budha ada 3.000 m panjangnya, terbagi dalam 1.460 pigura. Selain itu ada 504 patung Budha dalam berbagai posisi mudra (simbol gaya dan letak tangan. Ahli purbakala Belanda A.J. Bernet Kempers menyebut Borobudur "Budhisme yang penuh misteri yang terlukiskan di batu." Perpaduan yang sempurna antara manusia dan kesucian yang keramat. Menelusur lorong-lorongnya mulai dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadatu, seseorang berarti menyimak dunia manusia biasa, dunia manusia suci dan kedewaan dalam arti simbolis. Simbolik yang berisi nilai-nilai hukum ada di dinding terbawah, karmawibangga. Oleh van Erp dinding terbawah yang penuh dengan adegan sadis dan seks ini ditutup, dan terbentang sebuah balustrada selebar 6 m, konon untuk memperkuat bangunan agar tidak miring. Bangunan raksasa dengan arsitektur unik ini mempunyai bentuk dan skala yang berbeda dengan candi-candi lain. Jumlah stupa di arupadhatu ada 32, 24 dan 16 di setiap tingkatnya. Tampak suatu selisih tetap dan bisa dibagi dengan angka 8, sebagai lambang mata angin di alam semesta. Diameter stupanya juga mempunyai selisih tetap, 10 cm. Yaitu 1,90, 1,80 dan 1,70 m. Jumlah stupa (dengan stupa induk) ada 73 buah. Angka biner 73 ini kalau diuraikan dan dijumlahkan (7 + 3) berakhir ke angka 10. Demikian pula jumlah patung Budha, dengan yang di stupa induk, ada 505 buah. Jumlahnya (5 + 0 + 5) kembali lagi ke angka 10. Angka 10 ini pun, menurut ilmu numerologi Jawa yang penuh dengan simbol, kembali lagi menjadi 1 (10 = 1 + 0 = 1). Dan angka 1 berarti lambang ingkangsawiji, sang Adhi Budha, atau kini lebih terkenal dengan Tuhan yang Esa. Tetapi yang pasti, relief candi merupakan buku terbuka dari sejarah masa itu. Bukan saja terlukis tujuan agama dan politik raja-raja tetapi juga gaya hidup masa itu. Misalnya, ada cara bersawah dengan teknologi membajak yang di seluruh Indonesia masih dipakai. "Masih banyak studi tentang Borobudur yang harus digali," ujar Dr. Soekmono, Kepala Proyek Pemugaran Candi Borobudur. Karena itu, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen. Kebudayaan Departemen P & K "Saya berharap Borobudur bisa hidup 1.000 tahun lagi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus