Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari dukuh yang harus ditinggalkan

Sejumlah penduduk sekitar candi borobudur, digusur akan dibangun sebuah taman wisata, soal ganti rugi menjadi masalah.(ling)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOROBUDUR seperti dikarantina. Jalan menuju candi itu ditutup. Menyilang ujung jalan itu, banyak drum bekas yang ditanam dengan semen. Itulah yang tampak menjelang peresmian purna pugarnya 23 Februari. Sejak November lalu secara tak langsung kawasan itu memang dinyatakan tertutup. Mulai dari batas itulah direncanakan pembangunan Taman Wisata Borobudur. Taman itu akan mencakup areal 85 ha, yaitu meliputi sekitar 17 ha kawasan candi dan 68 ha daerah lima dukuh. Ceritanya diawali pada 1973, ketika pemugaran Borobudur baru berjalan beberapa tahun. Kala itu muncul ide, konon dari orang Jepang, bahwa alangkah baiknya bila kawasan di sekitar candi dibangun taman. Tiga tahun kemudian, Pemerintah RI menyetujui ide itu, apalagi ada tawaran pinjaman lunak dari Jepang sebesar 2,8 milyar yen. Maret 1980, dengan Keputusan Presiden dibentuk PT Taman Wisata Nasional Candi Borobudur dan Prambanan. Juli tahun itu pula ditetapkan pengelolanya antara lain H. Boediardjo sebagai Dirut. Serangkaian riset pun kemudian dilakukan, dengan bantuan tenaga ahli dari Jepang. Dasarnya, menurut Boediardjo yang ternyata orang Borobudur juga, daerah itu memendam banyak benda purbakala. Maka masalah pertama yang dihadapi perencana taman ialah membebaskan daerah itu dari pemukiman penduduk. Taman itu direncanakan "bersih dari pemukiman," kata Boediardjo, bekas Menteri Penerangan. Dan itulah sebabnya ada penutupan jalan yang memisahkan Dukuh Kenayan dan Ngaran. Di dua dukuh itu masih banyak penduduk yang belum pindah. Tawar-menawar pembebasan kawasan itu antara pihak PT Taman Wisata dan Pemda Jawa Tengah dan penduduk di situ telah berjalan sejak awal 1981. Kebulatan kata rupanya susah dicapai, meski sebagian penduduk ternyata bersedia pindah dengan syarat yang ditetapkan Pemda Ja-Teng. Per meter tanah diganti antara Rp 7,5 ribu dan Rp 5 ribu, tergantung lokasi. Bangunan rumah antara Rp 12,5 ribu dan Rp 50 ribu, menurut kualitas bangunannya. Untuk pohon-pohon juga disediakan uang ganti. Dari Rp 10 untuk sebatang pohon singkong, hingga Rp 25 ribu untuk sebatang pohon kelapa. Masalah yang dipertanyakan ialah cukupkah uang itu bagi penduduk Dukuh Kenayan, Ngaran, Gendingan, Gopalan, dan Sabrangrowo yang harus pindah. Seorang pegawai PT Taman Wisata, putra bungsu salah satu penduduk Dukuh Ngaran punya cerita. Orangtuanya termasuk rombongan pertama, sekitar Juli 1981, yang bersedia menerima ganti rugi itu. "Tanah bapak saya sekitar 900 meter persegi," tuturnya. "Kini kami mempunyai tanah sekitar seribu meter persegi, sudah membangun rumah, meski kami belum pindah." Semuanya, katanya dibayar dengan uang ganti rugi. Orangtua pegawai itu tidak memilih tanah pemukiman yang disediakan pihak PT Taman Wisata, tapi mencari sendiri. Lain lagi hal tetangganya, bapak berusia hampir 50 tahun. Dia memilih tanah pemukiman, yang "dekat dengan kios saya," katanya Ia memang pedagang barang kerajinan dan kiosnya harus pindah pula. Bapak ini bersedia cepat-cepat pindah, semuanya telah diperhitungkannya. "Saya tahu, uang makin lama makin turun nilainya," katanya. Sayangnya, muncul soal lain. Menurut pegawai Taman Wisata tadi, setelah ayahnya menyerahkan tanahnya, kadang-kadang malam hari beberapa batu menghantam genteng rumahnya. "Mereka jadi bersikap lain. Semula mereka baik sama saya, kini tak saling menegur," tambahnya. Hal seperti ini pun dialami tetangganya, pemilik kios kerajinan. Mereka yang kini sudah pindah umumnya punya penghasilan yang tidak tergantung pada tanah. Ada pensiunan guru, ada pedagang barang kerajinan, ada tukang sado. Pekan lalu di Kenayan dan Ngaran Prajan masih tinggal 98 keluarga. Dukuh yang lain, hanya sebagian yang terkena pembebasan, praktis telah kosong. Di Ngaran dan Kenayan, mereka yang belum pindah itu hidup dari hasil kebun: bayam, kacang, cabai dan lain-lain. Ada pula yang hidup dari nderes menyadap air bunga kelapa untuk dijadikan gula merah. Atau pemilik warung makan. Pindah itu memang masalah bagi mereka. "Kalau ibu saya pindah, dan warung ini pun pindah, belum tentu di tempat baru dagangan bisa laku," kata seorang anak. Seorang ibu, yang memiliki dagangan tas kulit, sepatu dan topi anyaman, cuma melengos ketika ditanya mengapa belum pindah. Ada duka di wajahnya. Mereka merasa berat memutuskan hubungan batin dengan tanah kelahiran. Mereka merasa, "pun dadi siji nasibe kalih kebon lan gubuge, " (nasib sudah menyatu dengan tanah dan rumah mereka). Ada yang tak rela bekas tanahnya dijadikan taman dan dikelola "orang asing". Siapa? "Lha ndisik nika sing ngukur-ngukur siti niku tiyang Jepang" dulu yang mengukur-ukur tanah orang Jepang). Pembebasan tanah di Desa Borobudur sering pula tidak beres. Pernah ada pemindahan kuburan, pemindahan pemukinan untuk terminal, dan penduduk selalu dirugikan. Kini harga tanah di dukuh lain sudah naik, "ada yang Rp 50 ribu per meter," kata seorang yang masih tetap bertahan di Kenayan. Dia menuntut ganti rugi yang lebih tinggi. Ada pula tanah yang per meter masih berkisar Rp 5 sampai 7 ribu, misalnya, di Dukuh Barepan, sebelah timur Ngaran. "Tapi dukuh itu nantinya sepi, kok," kata seorang bapak yang tetap belum rela pindah dari Ngaran. Tidak jelas, mengapa kawasan itu hari depannya dianggap sepi. Bila malam, jalan yang ditutup memang agak gelap. "Listrik jalan sudah dicabut, mas," kata seorang pemilik toko kelontong. "Tapi, ya biar, wong dulu di sini ya ndak ada listrik." Listrik ke rumah-rumah hingga pekan lalu masih menyala terang. Seperti tak ada apa-apa, "cuma lebih sepi." Beberapa rumah memang telah ditinggalkan penghuninya. Seorang yang masih tak mau pindah rupanya belum paham, mengapa lokasi taman justru tempat pemukiman penduduk. "Mengapa tak mengambil lokasi tanah kosong saja di barat dan utara candi?" tanyanya. "Atau mengapa rumah-rumah kami tak dibiarkan tetap di sini, sekaligus sebagai suguhan buat turis, beginilah kampung di Jawa? " Sesungguhnya tak benar penduduk tidak mau memberikan tanahnya demi "pembangunan." Hampir semua tanah kosong telah diserahkan, dan pemiliknya telah menerima ganti rugi. Yang mereka pertahankan adalah rumah dan tanah sekeliling rumah, yang memang kebanyakan dijadikan kebun sayur. Adakah Borobudur memerlukan taman? Menurut Boediardjo, salah satu fungsi taman ialah menyelamatkan candi dari turis yang berbondong-bondong, agar semua turis tak terus naik ke candi tapi bisa diatur hingga beban yang harus dipikul fondasi candi terbatas. Idealnya beban candi sesudah dipugar, menurut Harsono dari Humas Proyek Pemugaran Borobudur, dibausi 500 sampai 1.000 orang. Dari sudut lain taman ini dikhawatirkan mengurangi nilai religius Borobudur. Walubi (Perwalian Umat Budhis Indonesia) pernah menemui Boediardjo. Waktu itu, Maret 1981, Ketua Umum Walubi berpesan, "bagaimanapun, menurut umat Budha, Borobudur itu suci juga tanahnya." Yang lebih jelas bersuara ialah Aggie Tjetje, Ketua Perwakilan World Fellowship of Buddhist di Indonesia. "Sejak dulu saya khawatir Borobudur yang kami sucikan itu dijadikan obyek komersial, dengan dibuatnya taman wisata di sekelilingnya," katanya kepada TEMPO. Aggie berpendapat Borobudur menyimpan relik (sisa jasad Sang Budha yang tak terbakar). "Mustahil bila Borobudur yang sebesar itu tak menyimpan relik Sang Budha Candi yang lebih kecil di Beijing menyimpan geraham Sang Budha, tuturnya. "Tapi saya tak tahu pasti relik apa yang ada di Borobudur." Namun Bikhu Jinapalo, 110 tahun, yang tinggal di Yogyakarta, rupanya tak risau benar. Bagi Bikhu yang dulu bernama Dwijo Siswoyo itu, "di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya berubah." Ia menganggap wajar saja bila citra religius Borobudur menurun. "Yang penting bagi saya," katanya, "masih diperbolehkannya umat Budha memakai candi itu untuk upacara pada hari tertentu." Bagi Bikhu satu ini, juga bagi Seno Sunoto, Sekjen Walubi, "dipugarnya Borobudur berarti penghormatan untuk agama Budha." Seno, yang juga jadi Ketua Majelis Agama Budha Nichiren Soshu Indonesia, lebih melihat ke diri sendiri. "Bila umat Budha bersatu dan sepenuh hati menganggap Borobudur sebagai tempat suci, saya kira, kekuatan mistik di candi itu akan membuat siapa saja tak mampu berbuat sesuatu yang tidak baik." Tapi adakah kemungkinan suara umat Budha yang seperti itu karena ada SK Presiden belum lama ini? Ialah tentang Waisak, hari raya umat Budha, yang dijadikan hari libur nasional. Juga tentang diperbolehkannya mereka tiga kali setahun mengadakan upacara keagamaan di Borobudur, ialah upacara Waisak, Kathina, dan Ashada -- menurut Seno Sunoto. Dari segi keagamaan agaknya rencana pembangunan taman tak menjadi soal benar. PT Taman Wisata melangkah mantap. Kini, misalnya, sudah ada tempat pembibitan tanaman untuk taman itu, seluas sekitar seperempat hektar. Di situ disemaikan sekitar 60 jenis tanaman yang diduga dulu berkembang subur di kawasan Borobudur, yang kini makin jarang. Antara lain pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum), kluweh (Artocarpus indica), kapuk (Ceiba petandra). Dua orang lulusan Sekolah Farming Menengah Atas di Magelang mengelola kebun pembibitan ini. Dari segi ilmu pengetahuan pun pemugaran dan rencana taman itu membawa angin optimistis. Di kawasan itu akan didirikan Museum Arkeologi, Pusat Studi Borobudur, dan Pusat Konservasi Batu Candi. Tapi haruskah semua penduduk di lima dukuh Desa Borobudur pindah? Haruskah suasana di Dukuh Kenayan dan Ngaran teruuma, seperti diselubungi kabut permusuhan? Di sebuah warung yang telah dikosongkan di pinggir jalan yang ditutup, terdapat coret-coret yang memaki-maki Widyoko, Kepala Kantor Agraria Kabupaten Magelang. Juga coret-coret yang mengumpat Boediardjo, Dirut Taman Wisata. Di desa itu, rasa persaudaraan ternyata bisa berubah gara-gara soal taman. Menurut seorang pemilik warung, ketika teungganya yang sudah bersiap pindah meninggal, sungguh di luar dugaan, hanya beberapa gelintir orang saja yang datang melayat. "Kematian di desa ini sekarang bisa sangat menyedihkan," kata bapak itu dalam bahasa Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus