BOROBUDUR seperti dikarantina. Jalan menuju candi itu ditutup.
Menyilang ujung jalan itu, banyak drum bekas yang ditanam
dengan semen. Itulah yang tampak menjelang peresmian purna
pugarnya 23 Februari.
Sejak November lalu secara tak langsung kawasan itu memang
dinyatakan tertutup. Mulai dari batas itulah direncanakan
pembangunan Taman Wisata Borobudur. Taman itu akan mencakup
areal 85 ha, yaitu meliputi sekitar 17 ha kawasan candi dan 68
ha daerah lima dukuh.
Ceritanya diawali pada 1973, ketika pemugaran Borobudur baru
berjalan beberapa tahun. Kala itu muncul ide, konon dari orang
Jepang, bahwa alangkah baiknya bila kawasan di sekitar candi
dibangun taman. Tiga tahun kemudian, Pemerintah RI menyetujui
ide itu, apalagi ada tawaran pinjaman lunak dari Jepang sebesar
2,8 milyar yen. Maret 1980, dengan Keputusan Presiden dibentuk
PT Taman Wisata Nasional Candi Borobudur dan Prambanan. Juli
tahun itu pula ditetapkan pengelolanya antara lain H.
Boediardjo sebagai Dirut.
Serangkaian riset pun kemudian dilakukan, dengan bantuan tenaga
ahli dari Jepang. Dasarnya, menurut Boediardjo yang ternyata
orang Borobudur juga, daerah itu memendam banyak benda
purbakala. Maka masalah pertama yang dihadapi perencana taman
ialah membebaskan daerah itu dari pemukiman penduduk. Taman itu
direncanakan "bersih dari pemukiman," kata Boediardjo, bekas
Menteri Penerangan.
Dan itulah sebabnya ada penutupan jalan yang memisahkan Dukuh
Kenayan dan Ngaran. Di dua dukuh itu masih banyak penduduk yang
belum pindah. Tawar-menawar pembebasan kawasan itu antara pihak
PT Taman Wisata dan Pemda Jawa Tengah dan penduduk di situ telah
berjalan sejak awal 1981.
Kebulatan kata rupanya susah dicapai, meski sebagian penduduk
ternyata bersedia pindah dengan syarat yang ditetapkan Pemda
Ja-Teng. Per meter tanah diganti antara Rp 7,5 ribu dan Rp 5
ribu, tergantung lokasi. Bangunan rumah antara Rp 12,5 ribu dan
Rp 50 ribu, menurut kualitas bangunannya. Untuk pohon-pohon juga
disediakan uang ganti. Dari Rp 10 untuk sebatang pohon singkong,
hingga Rp 25 ribu untuk sebatang pohon kelapa. Masalah yang
dipertanyakan ialah cukupkah uang itu bagi penduduk Dukuh
Kenayan, Ngaran, Gendingan, Gopalan, dan Sabrangrowo yang harus
pindah.
Seorang pegawai PT Taman Wisata, putra bungsu salah satu
penduduk Dukuh Ngaran punya cerita. Orangtuanya termasuk
rombongan pertama, sekitar Juli 1981, yang bersedia menerima
ganti rugi itu. "Tanah bapak saya sekitar 900 meter persegi,"
tuturnya. "Kini kami mempunyai tanah sekitar seribu meter
persegi, sudah membangun rumah, meski kami belum pindah."
Semuanya, katanya dibayar dengan uang ganti rugi. Orangtua
pegawai itu tidak memilih tanah pemukiman yang disediakan pihak
PT Taman Wisata, tapi mencari sendiri.
Lain lagi hal tetangganya, bapak berusia hampir 50 tahun. Dia
memilih tanah pemukiman, yang "dekat dengan kios saya," katanya
Ia memang pedagang barang kerajinan dan kiosnya harus pindah
pula. Bapak ini bersedia cepat-cepat pindah, semuanya telah
diperhitungkannya. "Saya tahu, uang makin lama makin turun
nilainya," katanya.
Sayangnya, muncul soal lain. Menurut pegawai Taman Wisata tadi,
setelah ayahnya menyerahkan tanahnya, kadang-kadang malam hari
beberapa batu menghantam genteng rumahnya. "Mereka jadi bersikap
lain. Semula mereka baik sama saya, kini tak saling menegur,"
tambahnya. Hal seperti ini pun dialami tetangganya, pemilik kios
kerajinan.
Mereka yang kini sudah pindah umumnya punya penghasilan yang
tidak tergantung pada tanah. Ada pensiunan guru, ada pedagang
barang kerajinan, ada tukang sado. Pekan lalu di Kenayan dan
Ngaran Prajan masih tinggal 98 keluarga. Dukuh yang lain, hanya
sebagian yang terkena pembebasan, praktis telah kosong.
Di Ngaran dan Kenayan, mereka yang belum pindah itu hidup dari
hasil kebun: bayam, kacang, cabai dan lain-lain. Ada pula yang
hidup dari nderes menyadap air bunga kelapa untuk dijadikan gula
merah. Atau pemilik warung makan. Pindah itu memang masalah bagi
mereka.
"Kalau ibu saya pindah, dan warung ini pun pindah, belum tentu
di tempat baru dagangan bisa laku," kata seorang anak. Seorang
ibu, yang memiliki dagangan tas kulit, sepatu dan topi anyaman,
cuma melengos ketika ditanya mengapa belum pindah. Ada duka di
wajahnya.
Mereka merasa berat memutuskan hubungan batin dengan tanah
kelahiran. Mereka merasa, "pun dadi siji nasibe kalih kebon lan
gubuge, " (nasib sudah menyatu dengan tanah dan rumah mereka).
Ada yang tak rela bekas tanahnya dijadikan taman dan dikelola
"orang asing". Siapa? "Lha ndisik nika sing ngukur-ngukur siti
niku tiyang Jepang" dulu yang mengukur-ukur tanah orang
Jepang).
Pembebasan tanah di Desa Borobudur sering pula tidak beres.
Pernah ada pemindahan kuburan, pemindahan pemukinan untuk
terminal, dan penduduk selalu dirugikan.
Kini harga tanah di dukuh lain sudah naik, "ada yang Rp 50 ribu
per meter," kata seorang yang masih tetap bertahan di Kenayan.
Dia menuntut ganti rugi yang lebih tinggi.
Ada pula tanah yang per meter masih berkisar Rp 5 sampai 7 ribu,
misalnya, di Dukuh Barepan, sebelah timur Ngaran. "Tapi dukuh
itu nantinya sepi, kok," kata seorang bapak yang tetap belum
rela pindah dari Ngaran. Tidak jelas, mengapa kawasan itu hari
depannya dianggap sepi.
Bila malam, jalan yang ditutup memang agak gelap. "Listrik jalan
sudah dicabut, mas," kata seorang pemilik toko kelontong. "Tapi,
ya biar, wong dulu di sini ya ndak ada listrik." Listrik ke
rumah-rumah hingga pekan lalu masih menyala terang. Seperti tak
ada apa-apa, "cuma lebih sepi." Beberapa rumah memang telah
ditinggalkan penghuninya.
Seorang yang masih tak mau pindah rupanya belum paham, mengapa
lokasi taman justru tempat pemukiman penduduk. "Mengapa tak
mengambil lokasi tanah kosong saja di barat dan utara candi?"
tanyanya. "Atau mengapa rumah-rumah kami tak dibiarkan tetap di
sini, sekaligus sebagai suguhan buat turis, beginilah kampung di
Jawa? "
Sesungguhnya tak benar penduduk tidak mau memberikan tanahnya
demi "pembangunan." Hampir semua tanah kosong telah diserahkan,
dan pemiliknya telah menerima ganti rugi. Yang mereka
pertahankan adalah rumah dan tanah sekeliling rumah, yang memang
kebanyakan dijadikan kebun sayur.
Adakah Borobudur memerlukan taman? Menurut Boediardjo, salah
satu fungsi taman ialah menyelamatkan candi dari turis yang
berbondong-bondong, agar semua turis tak terus naik ke candi
tapi bisa diatur hingga beban yang harus dipikul fondasi candi
terbatas. Idealnya beban candi sesudah dipugar, menurut Harsono
dari Humas Proyek Pemugaran Borobudur, dibausi 500 sampai 1.000
orang.
Dari sudut lain taman ini dikhawatirkan mengurangi nilai
religius Borobudur. Walubi (Perwalian Umat Budhis Indonesia)
pernah menemui Boediardjo. Waktu itu, Maret 1981, Ketua Umum
Walubi berpesan, "bagaimanapun, menurut umat Budha, Borobudur
itu suci juga tanahnya." Yang lebih jelas bersuara ialah Aggie
Tjetje, Ketua Perwakilan World Fellowship of Buddhist di
Indonesia. "Sejak dulu saya khawatir Borobudur yang kami sucikan
itu dijadikan obyek komersial, dengan dibuatnya taman wisata di
sekelilingnya," katanya kepada TEMPO.
Aggie berpendapat Borobudur menyimpan relik (sisa jasad Sang
Budha yang tak terbakar). "Mustahil bila Borobudur yang sebesar
itu tak menyimpan relik Sang Budha Candi yang lebih kecil di
Beijing menyimpan geraham Sang Budha, tuturnya. "Tapi saya tak
tahu pasti relik apa yang ada di Borobudur."
Namun Bikhu Jinapalo, 110 tahun, yang tinggal di Yogyakarta,
rupanya tak risau benar. Bagi Bikhu yang dulu bernama Dwijo
Siswoyo itu, "di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya
berubah." Ia menganggap wajar saja bila citra religius Borobudur
menurun. "Yang penting bagi saya," katanya, "masih
diperbolehkannya umat Budha memakai candi itu untuk upacara pada
hari tertentu." Bagi Bikhu satu ini, juga bagi Seno Sunoto,
Sekjen Walubi, "dipugarnya Borobudur berarti penghormatan untuk
agama Budha."
Seno, yang juga jadi Ketua Majelis Agama Budha Nichiren Soshu
Indonesia, lebih melihat ke diri sendiri. "Bila umat Budha
bersatu dan sepenuh hati menganggap Borobudur sebagai tempat
suci, saya kira, kekuatan mistik di candi itu akan membuat siapa
saja tak mampu berbuat sesuatu yang tidak baik."
Tapi adakah kemungkinan suara umat Budha yang seperti itu karena
ada SK Presiden belum lama ini? Ialah tentang Waisak, hari raya
umat Budha, yang dijadikan hari libur nasional. Juga tentang
diperbolehkannya mereka tiga kali setahun mengadakan upacara
keagamaan di Borobudur, ialah upacara Waisak, Kathina, dan
Ashada -- menurut Seno Sunoto.
Dari segi keagamaan agaknya rencana pembangunan taman tak
menjadi soal benar. PT Taman Wisata melangkah mantap. Kini,
misalnya, sudah ada tempat pembibitan tanaman untuk taman itu,
seluas sekitar seperempat hektar. Di situ disemaikan sekitar 60
jenis tanaman yang diduga dulu berkembang subur di kawasan
Borobudur, yang kini makin jarang. Antara lain pohon nyamplung
(Calophyllum inophyllum), kluweh (Artocarpus indica), kapuk
(Ceiba petandra). Dua orang lulusan Sekolah Farming Menengah
Atas di Magelang mengelola kebun pembibitan ini.
Dari segi ilmu pengetahuan pun pemugaran dan rencana taman itu
membawa angin optimistis. Di kawasan itu akan didirikan Museum
Arkeologi, Pusat Studi Borobudur, dan Pusat Konservasi Batu
Candi.
Tapi haruskah semua penduduk di lima dukuh Desa Borobudur
pindah? Haruskah suasana di Dukuh Kenayan dan Ngaran teruuma,
seperti diselubungi kabut permusuhan? Di sebuah warung yang
telah dikosongkan di pinggir jalan yang ditutup, terdapat
coret-coret yang memaki-maki Widyoko, Kepala Kantor Agraria
Kabupaten Magelang. Juga coret-coret yang mengumpat Boediardjo,
Dirut Taman Wisata.
Di desa itu, rasa persaudaraan ternyata bisa berubah gara-gara
soal taman. Menurut seorang pemilik warung, ketika teungganya
yang sudah bersiap pindah meninggal, sungguh di luar dugaan,
hanya beberapa gelintir orang saja yang datang melayat.
"Kematian di desa ini sekarang bisa sangat menyedihkan," kata
bapak itu dalam bahasa Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini