SEBAGAIMANA sudah diduga sejak semula, Tim Merah menjadi
kekuatan inti regu Indonesia untuk memperebutkan karcis ke
Olimpiade Los Angeles 1984. Empat belas dari 22 pemain terpilih
datang dari tim itu yang terdiri dari klub Niac Mitra, Arseto,
dan Makassar Utama. Ditambah 7 dari Tim Hijau dan seorang dari
Putih. Tak terlalu berlebihan kalau dikatakan tim nasional yang
sekarang merupakan bayangan Niac Mitra, yang menjadi juara
kompetisi Liga 2 kali. Paling tidak, 10 pemain klub dari
Surabaya itu ditunjuk memperkuat tim nasional yang diumumkan 19
September yang lalu.
Bagaikan operan-operan bola yang lancar, pemilihan sekali ini
kelihatannya berlangsung tanpa banyak halangan. Orang yang
paling bahagia tak lain Basri, 41 tahun, (pelatih Niac Mitra)
yang menangani Tim Merah yang kemudian dipercaya melatih tim
nasional yang akan mulai bertanding di Senayan, 6 Oktober
mendatang, melawan Arab Saudi.
Dia mendapat kepercayaan penuh. Satu kesempatan yang jarang
diterima pelatih nasional akhir-akhir ini. "Tim manajer, dan
asisten pelatih semuanya Basri yang memilih," kata Maladi, ketua
komisi teknik pembentukan tim Pra-Olimpiade. Sartono dan Yoppi
Timisela akan mendampingi Basri dalam melatih tim yang hanya
punya 2 minggu untuk mempertajam kerja sama. Bos Niac, A. Wenas,
dipilih sebagai manajer tim.
Tim yang berada di tangan Basri itu barangkali bukanlah tim yang
ideal. Namun, paling tidak dia sendiri sudah turut memilih dan
sebagian besar pemainnya sudah dikenal betul. "Saya tak mau
kejadian di Bangkok tahun 1979 terulang lagi. Ketika itu, saya
diminta untuk menangam tim yang disediakan PSSI," katanya.
Pada kejuaraan King's Cup di Bangkok itu, kesebelasan yang
dipimpinnya gagal menempati kedudukan terhormat karena Basri
tidak terlibat dalam pembentukan tim itu. Padahal, beberapa
bulan sebelumnya, dia sukses besar menghantarkan klub yang
dilatihnya, Niac Mitra, yang mewakili PSSI, menjadi juara Piala
Agha Khan di Bangladesh.
Namun, sekarang pun Basri bukan tak melihat kelemahan tim yang
diasuhnya. Dalam 2 kali pertandingan segitiga antara tim
persiapan Pra-Olimpiade Merah, Hijau, dan Putih, bekas pemain
nasional itu melihat lini belakang Merah yang dilatihnya masih
lemah. Tetapi, sebagai pelatih tim nasional yang membawa nama
negara, Basri berhak mendapat tenaga tambahan dengan mengambil
Didi Dharmadi (Indonesia Muda) dan Nasir Salasa (UMS'80) yang
direkrut dari Tim Hijau.
Masih tanda tanya besar apakah tim nasional ini bisa berjaya
dalam kejuaraan Pra-Olimpiade grup III Asia menghadapi Arab
Saudi, Singapura, Malaysia, dan India. Banyak orang meragukan
daya dobrak pemain-pemain yang akan diturunkan di garis depan.
Barisan penyerang yang tersedia sekarang ini dianggap banyak
pengamat "terlalu berhati halus" di garis pertahanan lawan.
Harapan orang dari tim ini, seperti yang dikemukakan Kolumnis
Kadir Yusuf, sedikitnya akan mampu menunjukkan grafik naik sepak
bola Indonesia sekalipun, misalnya, gagal memperoleh tiket ke
Los Angeles.
Dengan penampilan yang semakin tidak meyakinkan menghadapi tim
negara tetangga, seperti Muangthai dan Singapura, di SEA Games
XII yang lalu, sulit membayangkan sukses tim Pra-Olimpiade 1976
berulang kembali. Ketika itu, di bawah pelatih Coerver,
Indonesia dengan cemerlang menahan Korea Utara dalam
pertandingan penentuan. Hanya nasib sial yang menentukan
kekalahan Indonesia melalui adu penalti. Pada Pra-Olimpiade 1980
Indonesia roboh nomor dua dari bawah. Hanya setingkat lebih baik
dari Filipina. Bahkan untuk pertama kalinya tim nasional
ditebas negara kecil Brunai 3-2. Waktu itu, Niac Mitra juga
memborong tempat terbanyak (7 pemain) di bawah asuhan
pelatih Frans van Balkom.
Adalah Sinyo Aliandoe yang dengan tegas menyatakan pesimismenya
melihat tim yang terbentuk sekarang. "Harapan kita sangat tipis
untuk meraih kemenangan. Kualitas pemain yang ada saat ini belum
sanggup menyamai saingan-saingan kita. Lagi pula, waktu
persiapannya terlalu singkat," ujar bekas pelatih nasional itu.
Prosedur pemilihan tim sekarang ini, menurut Aliandoe, juga
keliru. "Biasanya, kita menyusun tim lebih dulu, baru diadakan
latihan secara teratur. Tetapi, ini justru sebaliknya," katanya.
Selama ini, pembentukan tim memang didahului dengan pemanggilan
pemain dari berbagai klub untuk kemudian membentuk tim. Namun,
yang sekarang, justru diciptakan tim pendahuluan untuk kemudian
memilih tim terbaik melalui uji coba dengan sisipan beberapa
pemain dari tim yang Iemah. Menurut Maladi, "di tahun 1950-an
kita pernah memakai sistem seperti ini dan mutunya bisa
dipertanggung jawabkan."
Cara pembentukan tim nasional yang sekarang memang disengaja
oleh pimpinan PSSI. Sebagai jalan pintas, mengingat waktu
persiapan tim Pra-Ollmpiade ml kurang dari 2 bulan. Ketergesaan
ini diakibatkan lengahnya organisasi persepakbolaan itu sendiri
yang masih ricuh dengan kekalahan di SEA Games Singapura bulan
Juni, sehingga waktu yang tersedla menjadi sangat terbatas.
Tim Merah yang memperoleh jatah terbanyak, menurut Maladi karena
"adanya pola permainan yang jelas serta konsisten." Menurut dia,
dalam keadaan penuh tekanan. Merah mampu bertahan pada pola yang
sudah digariskan. "Secara teoretis kita bisa saja menentukan
satu tim untuk kemudian ditambah dengan beberapa pemain tanpa
melalui pertandingan seperti sekarang ini. Tetapi, justru dengan
adanya kompetisi segi tiga ini bisa dinilai kemampuan suatu tim
maupun individu-individunya," kata bekas menteri olah raga yang
pernah sukses membenahi tim Indonesia ke Olimpiade 1956 di
Melbourne.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini