Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Zikir anak manis berpipi kempot

Peranan pondok remaja inabah (pri) ciamis jawa barat dalam menyembuhkan para pecandu narkotik. (krim)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"AYO, anak-anak manis. Kereta api jurusan surga hampir berangkat. Harap bersiap-siap. Kalau ketinggalan, menyesal nanti." Begitu aba-aba yang diberikan Anang Syah lewat megaphone dari dalam masjid Pondok Remaja Inabah (PRI), Ciamis, di sebuah pagi buta. Ketika itu jam menunjukkan pukul 04.00 Iewat sedikit. Hawa dingin - sekitar 20 derajat Celsius - menyusup ke dalam kompleks seluas 0,5 ha yang terletak di perbukitan Desa Cibeureum, Kecamatan Panjalu, Jawa Barat, itu. Kabut yang luruh membuat PRI terasa tenteram dan sunyi, tak ubahnya sebuah tempat di kayangan. Seruan Anang Syah, 49 tahun, Kepala Pembina di situ, cepat sekali bersambut. Dari bangunan seputar masjid, berdatangan 'anak-anak manis', yang tak lain para remaja dan dewasa muda berusia sekitar tiga puluhan. Ada yang mengenakan kain sarung lengkap dengan pici ada pula yang memakai celana blujin. Azan berkumandang. Lalu "kereta jurusan surga"diberangkatkan. Anang yang menjadi "masinis". Salat subuh yang khusyuk . Melihat saf yang rapi,kekhusyukan yang membayang di wajah, siapa mengira mereka itu ternyata orang yang pernah tersodok dari kehidupan normal karena cengkeraman narkotik. Mereka, memang, adalah para korban yang mulai menyadari bahwa 'si putih' tak lain sesuatu yang harus diperangi, karena ternyata hanya membuat penggalan hidup menjadi hitam. Dan untuk membasuh yang hitam tadi selesai sembahyang, Anang - yang sudah dianggap sebagai orangtua kedua - memimpin acara berzikir: laillaha illallah. Pengakuan bahwa "tak ada Tuhan selain Allah" itu diulang sebanyak 165 kali, diiringi gerakan kepal ke atas, ke kanan dan ke kiri, sembari tangan memainkan tasbih. Upaya penyembuhan korban narkotik yang ditempuh PRI memang memakai jalur spiritual. Tak heran, karena PRI pimpinan Anang Syah, yang memulai kegiatan pada 1980, adalah bagian dari Pondok Pesantren Suryalaya yang terkenal itu (berdiri 1905). Suryalaya sendiri dengan tokoh sentralnya Abah Anom, 68 tahun, mulai merintis usaha menyembuhkan pecandu narkotik pada 1971. Dan kini, pesantren pusat tarekat Qoodiriyyah Naqsyabandiyah itu telah membuka "cabang" tempat penyembuhan korban obat bius di tujuh tempat, untuk putra dan putri. Zikir, menurut Abah Anom, mcmang mcrupakan sarana utama untuk penyembuhan. Tak hanya bagi korban narkotik, juga bagi mereka yang mengalami sakit jiwa lain, atau yang sebelumnya cara hidupnya jauh dari jalan Tuhan. Dengan zikir, di samping iman menjadi kuat dan pikiran tenang, "sistem peredaran darah, termasuk denyut jantung, sistem pernapasan dan semua onderdil tubuh menjadi berungsi normal kembali," kata H. Zaenal Abidin Anwar, wakil ketua Majelis Bina Pesantren Suryalaya. Hasilnya? "Kini saya tenteram dan lebih mengenal diri sendiri. Kalau ingat narkotik, muak rasanya," kata Deddy, 20 tahun, bekas mahasiswa UNS 11 Maret, Surakarta. Dulunya ia gemar sekali menelan pil penenang sampai 60 butir sehari. Budi, 16 tahun, selain menelan pil juga punya hobi mengisap ganja. Dan ternyata, "fly zikir lebih asyik ketimbang fly narkotik," ia tertawa. Rekan-rekannya - di PRI kini ada 32 orang - mengangguk setuju. Bahkan salah seorang di antara mereka yakin betul bahwa narkotika tak lain singkatan dari Negara Akan Runtuh Kalau Orang Tidak Ingat Kepada Allah. Sejauh ini, PRI pimpinan Anang sudah mengobati lebih dari 640 penderita. Mereka, menurut Anang, datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan Medan, serta beberapa kota lain. Waktu perawatan 10 hari sampai 3 bulan. Umumnya mereka berasal dari keluarga mampu dan berpendidikan SMTLP sampai perguruan tinggi. PRI bukan satu-satunya tempat rehabilitasi pecandu narkotik. Di Jawa Tengah, misalnya, ada Wisma Bina Remaja milik kepolisian (Kodak IX). Berdiri sejak 1977, wisma seluas 800 m2 itu terletak di Banyumanik, Semarang Selatan. Penderita yang dikirim ke situ tak hanya pecandu narkotik, juga anak dan remaja nakal. Mereka itu, seperti yang ditampung di Pamardi Siwi, Jakarta, umumnya titipan orangtua yang kewalahan. Tapi, keretakan rumah tangga, menurut Kepala Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dr. Erwin Wijono, memang bukan satu-satunya faktor yang mendorong seseorang terjerumus dalam obat bius. "Faktor psikologis dan sosiologis bahkan lebih besar pengaruhnya," katanya. Ditambahkan bahwa ketergantungan terhadap obat bius merupakan penyakit gangguan yang mudah kambuh (chronica relapsing disorder), seperti halnya sakit jantung atau asma. Mudah kambuh kembali, karena selain rasa ketagihan yang sangat untuk mencoba lagi, pecandu narkotik hampir selalu disertai dengan penyimpangan tingkah laku akibat cara hidup yang acak-acakan. Penderita, menurut Erwin, tak jarang pula yang mengidap Jenis penyakit lain sepertl gangguan liver atau sipilis. Jarum suntik yang tidak steril, tambah Erwin lagi, bisa menimbulkan infeksi. Sedangkan, bubuk morfin yang kurang steril bisa mengakibatkan abses atau sakit pada liver. Stonny, bukan nama sebenarnya, misalnya, pemuda ceking, kumal, dan berambut gondrong. Boleh dibilang, morfinis asal Surabaya yang masih aktif ini seorang pecandu narkotik yang komplet. Bayangkan: ia pernah mencoba segala macarn "barang". Berbagai jenis pil, pernah ia coba. Di antaranya MX, rohypnol (yang terkenal dengan istilah kancing), yellow max, LSD sampai pil untuk anjing. Jamur tahi sapi (mushroom), yang diceplok dengan telur, bukan pula barang asing. Juga biji kecubung - yang ditumbuk dan dicampur dengan kopi - pernah ia coba. Namun, ia segera kapok, sebab sesaat setelah minum kopi kecubung, dunia seolah terbalik. Tapi, katanya, kini ia mulai bisa mengerem diri untuk hanya mencicipi morfin sebulan sekali dan menelan pil penenang tiap tiga jam. Adapun ganja, hanya sebagai selingan saja, sedangkan wiski, "cukup dua tenggak sehari." Hasilnya: pipi kempot meski baru berusia 30 tahun, rambut rontok, dan berat 44 kilo - padahal tingginya 160 cm. Yang lebih tragis: ia tak tahu lagi bagaimana merencanakan hari depannya. Stonny bukannya tak pernah berobat. Tapi, apa mau dikata, mudah sekali ia terseret pada kebiasaan lama. Lagi pula, tampaknya ia belum betul-betul kepingin meninggalkan dunianya. Padahal, menurut dr. Erwin, motivasi yang kuat merupakan syarat mutlak dalam proses penyembuhan. Anang Syah dari PRI Cibeureum pun melibatkan pihak keluarga korban. Orangtua misalnya, diberitahu kebiasaan-kebiasaan apa yang harus diubah, termasuk lingkungan pergaulan yang harus diperbaharui. Istilahnya: perlu perbaikan menyeluruh. Masalahnya, memang, ketergantungan terhadap obat bius, tampaknya, lebih banyak faktor psikisnya yang mesti dibenahi. Dan itu tidak gampang. Dari 179 remaja yang dibina Anang tahun lalu, 18 di antaranya kembali lagi untuk dibina ulang. Dokter Tony Setiabudhi, psikiater yang banyak menaruh perhatian terhadap masalah korban narkotik, sependapat bahwa zikir bisa untuk pengobatan, sama halya dengan cara spiritual lain, scperti meditasi atau yoga. Namun, katanya, cara itu hanya tepat bagi penderita yang belum gawat atau mereka yang sudah semu sembuh. Yaitu penderita yang pernah berobat, tapi belum benar- benar sembuh. "Kalau pecandu kelas berat langsung disuruh setop, dia bisa mati," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus