Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mesin Uang Bernama Sepak Bola

Sepak bola adalah industri sakti. Ratusan juta dolar laba tercetak pada Euro 2000, yang baru berakhir.

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RINTIK hujan menderas di Kota Amsterdam dalam pertandingan final sore itu. Dua kesebelasan yang bertanding, Rusia dan Skandinavia, sama-sama ngotot. Namun, akhirnya, tim Beruang Merah harus mengakui keunggulan lawannya. Dengan bangga, kapten regu Viking mengangkat "Piala Euro 2000" diiringi sorak-sorai penonton. Ini memang bukan final Euro 2000 yang sebenarnya, melainkan turnamen sepak bola jalanan (street soccer) untuk anak-anak yang digelar di depan istana kerajaan. Turnamen bocah ini didanai sebuah perusahaan kembang gula yang juga menjadi sponsor resmi Euro 2000.

Bagi kalangan industri, Euro 2000 adalah peluang untuk habis-habisan menggeber produk mereka. Sekalipun turnamen resmi sudah berakhir, acara yang dipautkan masih berbondong menyusul. Ini pilihan wajar karena sepak bola adalah magnet penyedot konsumen. Itu semua berarti uang dalam jumlah membanjir.

Tak bisa disangkal, permainan menendang bola di rumput itu kini telah menjadi industri yang menggiurkan. UEFA, badan sepak bola Eropa yang bertindak sebagai panitia resmi, mengeruk untung besar dalam ajang yang berbujet total US$ 55 miliar ini. Modal memang segede gajah bengkak, tapi Euro 2000 ini masih mampu menyedot keuntungan finansial sekitar US$ 103 juta atau hampir Rp 900 miliar. Itu angka perkiraan paling rendah. Sumbangan pendapatan terbesar datang dari penjualan tiket senilai US$ 31,8 juta, sponsor resmi US$ 13,1 juta, dan hak penyiaran televisi US$ 8,2 juta.

Angka-angka ini belum termasuk pendapatan Belanda dan Belgia sebagai tuan rumah bersama. Sebelum turnamen, Belanda diperkirakan mampu mendapat limpahan uang US$ 122 juta, sementara Belgia US$ 250 juta. Angka ini dipetik dari data resmi pada ajang empat tahun sebelumnya. Kala itu, Inggris sebagai tuan rumah berhasil meningkatkan pendapatan brutonya sebesar 0,1 persen. Terjemahan langsung di lapangan, US$ 107 juta masuk ke kantong publik Inggris yang bergerak di bidang perhotelan, wisata, dan rumah makan karena datangnya fans sepak bola ini.

Nah, sebulan terakhir ini, 500 ribu orang diperkirakan hadir ke Belanda dan Belgia. Karena yang dilakukan bukan cuma nonton bal-balan, tapi juga bersenang-senang, uang pun mengalir deras. Para pengusaha mendapatkan uang langsung dari turis mancanegara dan domestik, sementara negara menjala setoran pajaknya.

Namun, dengan tersingkirnya Belanda—juga Belgia di babak penyisihan—angka ini diyakini tak sebesar harapan semula. Sebelum Belanda keok, segala yang berwarna oranye diterkam pendukungnya, baik yang lokal maupun yang datang dari negara jauh. Para pemilik kafe pun bersukacita karena para tamu seakan tak henti menyantap makanan dan menenggak bir. Begitu Belanda kalah, kemeriahan di kafe meluntur. Replika kaus tim nasional langsung didiskon sampai 50 persen—itu juga harganya masih sekitar Rp 300 ribu—begitu pula item suvenir lain. Tapi pasar sudah kadung lesu. Para pendukung Italia dan Prancis, yang berlaga di final, pun lebih memilih jadi pelajo—alias ulang-alik—ketimbang menginap di hotel.

Sementara itu, tim-tim yang bertanding pun tidak pulang berhampa tangan. Prancis, sebagai juara Euro 2000, berhak mendapatkan hadiah uang senilai US$ 9,04 juta, sementara runner-up Italia US$ 8,3 juta. Dua semifinalis lainnya, Belanda dan Portugal, meraih US$ 6,4 juta. Empat perempat-finalis yang tersingkir mengantongi US$ 3,4 juta. Sedangkan delapan kesebelasan yang terpangkas sejak penyisihan grup masih mendapat uang sangu US$ 3,1 juta. Bahkan, federasi sepak bola Eropa yang tidak bertanding di Belanda dan Belgia pun mendapat subsidi karena keuntungan turnamen ini.

Fenomena ini tidak datang begitu saja. Ketika Piala Eropa pertama kali digelar, pada 1960, negara sepak bola besar Jerman Barat, Italia, dan Inggris menolak berpartisipasi. Empat tahun berikutnya, saat turnamen di Spanyol, publik malah lebih menunggu partai Barcelona versus Real Madrid. Pendeknya, gengsi ajang ini kalah jauh dibandingkan dengan Piala Dunia. Piala Eropa baru mulai mendapatkan perhatian lebih serius pada 1980. Yang memulainya adalah siaran langsung televisi. Uang yang berputar pun masih kelas teri, hanya US$ 1,8 juta.

Namun, sejak saat itu, kegairahan tersulut. Pemain yang bermain gemilang langsung dibeli klub kaya Eropa. Seperti tak terbendung, tiap turnamen makin menggila saja daya pikatnya. Untuk turnamen tahun 2004 mendatang di Portugal, untuk hak siar televisi saja, panitia diperkirakan akan mengeruk uang US$ 506 juta. Betapa dahsyat untuk "sekadar" permainan adu menyepak kulit bundar yang dimulai dari jalanan Inggris itu, seperti yang dilakukan bocah-bocah Rusia dan Skandinavia di tengah rinai hujan yang menitik.

Yusi A. Pareanom (Belanda dan Belgia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus