Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mereka yang Dibidik

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa sebenarnya yang dibidik Presiden Abdurrahman Wahid ketika mengumbar kata "biang kerok" pada penutupan Forum Rembuk Nasional di Bali, pekan lalu? Dalam kasus yang serba tak jelas dan mudah dipelintir seperti ini, penyanyi Ebiet G. Ade punya jalan keluarnya: mari bertanya pada rumput yang bergoyang. Sayang sekali, sang rumput tak punya mulut. Ia hanya bergoyang-goyang mengikuti arah angin. Andai rumput-rumput itu punya mulut, apa yang harus mereka katakan? Dan siapa yang mendengarkan suara akar rumput di pelosok negeri ini sekarang? Para pemimpin bangsa ini sedang bertengkar, baik dengan lawan politiknya maupun bertengkar dengan egonya sendiri. Kata-kata yang tak pantas dikeluarkan oleh seorang pemimpin—bahkan ketua RT sekalipun—dihambur-hamburkan terbuka. Sungguh memilukan, dan juga memalukan. Di Bali, Gus Dur bercerita tentang dirinya yang baru saja menandatangani persetujuan untuk memeriksa anggota DPR dan MPR. Lalu ia menyebut bahwa biang kerok kerusuhan yang terjadi selama ini sudah diketahuinya lewat intel. Hebat betul intel itu, padahal kerusuhan di Maluku sudah berlangsung selama setahun, ratusan nyawa melayang, dan tak ada penyelesaian hingga kini, tetapi sang intel ternyata tahu biang keroknya. Seberapa benar hal ini, rumput-rumput pastilah tahu jawabnya. Soalnya, bukan hanya sekali ini Gus Dur menyatakan tahu siapa yang bikin rusuh. Ketika terjadi pembantaian dengan kedok dukun santet di Banyuwangi, beliau juga tahu siapa dalangnya. Bahkan, pada awal-awal kerusuhan Maluku, beliau sang presiden juga pernah menyebut inisial nama sang dalang, yaitu K. Ketika banyak orang mencari-cari sebuah nama yang berawal K—baik di kalangan tentara maupun sipil—lalu Gus Dur dengan entengnya menjawab: Kunyuk. Orang pun tertawa, dan memuji kepala negara kita yang sangat humoris ini. Tetapi, ketika nyawa sudah tak berharga lagi, rupiah semakin terpuruk, rakyat miskin semakin bertambah, bencana beruntun menimpa negeri ini, guyonan begini perlu disimpan dulu. Kita perlu berserius-serius sekarang ini. Karena itu, Gus Dur harus menjelaskan siapa biang kerok yang dimaksud, entah itu ada di DPR dan MPR—yang kemudian dibantahnya bahwa ia pernah berbicara begitu—atau di mana pun tempatnya. Konteks penuturan Gus Dur di Bali adalah, pertama, ia menandatangani persetujuan pemeriksaan anggota DPR dan MPR. Kedua, ia tahu siapa biang kerok semua kerusuhan ini. Jika kita melacak konteks yang pertama, ternyata permohonan persetujuan dari Kejaksaan Agung itu adalah sesuatu yang "biasa-biasa" saja. Kejaksaan Agung menyodorkan seratus lebih nama para saksi yang ada kaitannya dengan kasus KKN Soeharto ke Sekretariat Jenderal MPR. Dari nama itu ternyata ada dua anggota MPR, Fuad Bawazier dan Siswono Yudohusodo. Keduanya sudah pernah diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Kalau cuma urusan ini, kenapa harus diomongkan lagi dalam konteks kerusuhan di daerah-daerah? Orang pun "memelintir", jangan-jangan ada yang lain, tak mungkin Siswono dibawa-bawa. Dan keluarlah nama Ginandjar Kartasasmita, kini wakil ketua MPR. Entah bagaimana nama ini sampai masuk dalam "bursa bidikan", yang punya nama justru malah terheran-heran. Isu yang beredar: Ginandjar menghimpun kekuatan untuk menggusur Gus Dur, lalu dicari-cari kesalahannya dalam kasus Balongan. Namanya isu, urusan pun tambah simpang-siur antara masalah hukum—sebagai saksi dalam kasus KKN Soeharto—dan urusan politik, yakni dalang (kata ini sama tak enaknya dengan biang kerok) berbagai kerusuhan. Kalau ini kasus hukum positif, jangankan Fuad, Siswono, atau Ginandjar, Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tandjung, dan Wapres Megawati pun bisa saja diperiksa polisi. Rakyat akan senang mendengarnya bahwa hukum ditegakkan dengan tidak memandang bulu. Bukankah Presiden sendiri sudah pula diperiksa dalam kasus dana yayasan karyawan Bulog, meski hasilnya belum diumumkan? Dukungan rakyat akan berduyun-duyun ke alamat Gus Dur, baik ke Istana maupun ke Ciganjur (atau ke Jalan Irian di Menteng, Jakarta, tempat Gus Dur sering singgah belakangan ini) jika siapa pun yang terlibat KKN di negeri ini segera diperiksa di depan pengadilan. Sudah delapan bulan lebih Gus Dur menjadi presiden, tak seorang pun para penilap uang rakyat ini masuk ke pengadilan. Puluhan bos konglomerat merampok uang rakyat melalui BLBI atau dana-dana non-neraca di berbagai departemen, tetapi yang ditahan barulah seorang Bob Hasan. Orang akan bertepuk tangan, dan mahasiswa tak akan lagi menyembelih ayam betina di depan kantor Kejaksaan Agung, jika pengusaha konglomerat yang banyak utang itu ramai-ramai ditangkap. Tapi, janganlah hal ini dirancukan dengan masalah politik, dikaitkan dengan interpelasi, jadwal sidang tahunan MPR, gusur-menggusur kursi presiden, dan sebagainya. Gur Dur tak perlu panik. Tenang saja, wong jadi presiden kok, Gus. Tapi juga, hati-hati kalau berbicara. Sabda pandita ratu, kata ungkapan Jawa. Kalau sekarang bicara begini, besoknya begitu, itu kan ucapan rakyat jelata. Sekali, sih, tidak apa-apa, rakyat paham, mungkin keseleo lidah. Dua kali, rakyat pun masih bisa mencoba paham, barangkali salah bisikan. Tiga kali, rakyat akan bertanya, ada apa pada sang Presiden, junjungan kita semua. Kalau lebih dari itu masih juga salah ucap, atau bahasa kerennya inkonsistensi, rakyat pantas bertanya-tanya, apakah tidak ada sesuatu yang lebih gawat? Namun, sepanjang kesalahan itu ada yang mengoreksi dan mengingatkan, lalu ada tanda-tanda perbaikan, sebenarnya kita bangga punya presiden seperti Gus Dur: pintar, demokratis, dan lucu. Sulitnya, kalau tak ada yang berani mengingatkan. Misalnya, Gus Dur bilang langit itu kuning, lalu ada yang mengingatkan bahwa langit itu sebenarnya biru. Bukan malah membenarkan langit itu kuning. Siapakah yang bisa mengambil peran seperti ini? Jika Gus Dur tidak bisa diingatkan, lalu setiap bicara menimbulkan kontroversi, mendapat pertanyaan baik-baik dari mahasiswa dijawab dengan emosional, misalnya, masyarakat mungkin akan bertanya: apakah kita akan betah begini sampai 2004? Karena itulah, ucapan Gus Dur yang menyulut kontroversi paling akhir seperti yang disampaikannya di Bali itu jangan-jangan bukan membidik mereka, atau siapa saja di luar Istana, tetapi justru membidik dirinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus