Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mimpi Irvin di Negeri Keju

Bocah asal Makassar berhasil menembus Akademi Sepak Bola Ajax Amsterdam. Ia cepat dan memiliki tendangan keras.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irvin Museng lagi-lagi batal berlatih. Ia hanya bisa duduk lungrah di tribun kolam renang sambil memandangi hujan yang tercurah di depannya. Hujan di kota Makassar pada musimnya pada tahun 2000 silam seperti tak menyisakan jeda. Irvin, yang ketika itu berusia tujuh tahun, akhirnya patah arang dan tak kembali lagi ke ko-lam renang.

Selain bersekolah, bocah Irvin meng-isi hari hanya dengan menendang-nen-dang botol-bo-tol bekas air mineral. Tapi kebiasaan itu tak lama, sebab Henky Museng, sang ayah, membelikan bola sepak. Dan mu-lai saat itulah, setiap hari ia giat berlatih di halaman rumahnya hingga pot-pot bunga yang berjejer pecah berserakan menjadi korban kegilaannya pada bola.

Tanpa menunggu pot-pot kembang habis, Henky segera mendaftarkan Irvin ke Makassar Football School (MFS), yang baru beberapa bulan berdiri. Di klub inilah Irvin mulai mengenal permainan sepak bola. Bocah keturunan Tionghoa ini mendapat julukan Nakata-Hidethosi Nakata adalah kapten tim nasional Jepang-dari teman-teman satu klubnya.

Di MFS, seorang pria "mencium" bakat Irvin. Dia adalah Diza Ali, pemilik MFS. "Anak ini memang belum bisa apa-apa saat datang, tapi saya yakin ia bakal jadi pemain hebat," kata Diza. Sikap disiplin Irvin dalam berlatih diyakini menjadi kunci sukses mengasah kemampuan. Ia, misalnya, selalu datang sebelum latihan dimulai, dan mengisinya dengan berlari mengitari lapangan, melatih stamina.

Husni Tamrin, pelatih MFS yang sempat memoles Irvin, menuturkan, kelebihan Irvin ada pada kecepatan dan tendangan yang keras. Dalam tempo singkat, Irvin segera menjadi bagian penting tim MFS. Ia turut membawa MFS menjuarai turnamen antarklub U-13 Danone pada 2003 dan 2004. Puncaknya, pada Piala Dunia Danone U-13 2005 di Lyon, Prancis, Irvin menjadi pencetak gol terbanyak dengan 10 gol. Di turnamen yang diikuti 32 tim itu, Irvin membawa timnya lolos dari babak penyisihan.

Kendati klubnya hanya menempati urut-an ke-11, aksi Irvin memikat hati pemandu bakat klub Ajax Amsterdam, Ruud Voll. Selama di Lyon, Voll terus mengikuti perkembangan Irvin. Setelah meyakin-kan Direktur Akademi Sepak Bola Ajax, John van Den Bom, dan melihat kembali- aksi bocah itu di Makassar, Februari lalu, ia mengundang Irvin mengikuti ikut tes masuk Akademi.

Di penghujung Februari lalu, Irvin berangkat ke Belanda. Ia berhasil menyisih-kan ratusan anak-anak seusianya dan menjadi anggota 24 pemain tim D1 atau tim junior. "Saya sangat bangga," kata Irvin. Wajar saja ia begitu girang, apalagi ia dilatih salah seorang bekas anggota tim nasional Belanda di era 1990-an, Richard Witschge.

Klub ini telah melahirkan sejumlah- pemain besar macam Johan Cruyff, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Wim Kieft, Dennis Bergkamp, dan Patrick Kluivert. Voll yang masih mendampingi Irvin mengatakan, anak asuhnya itu giat berlatih, di musim dingin yang menye-ngat tulang sekalipun.

Selama berada di Klub Ajax, Irvin ter-kesan pada fasilitas latihan, mulai dari perlengkapan hingga lapangan yang mulus. "Semuanya bagus sekali," kata-nya. Tinggal di asrama, mendapat pakai-an, sepatu, dan bola, membuat Irvin- betah di Negeri Keju itu. Setiap hari ia berlatih selama dua jam. Tidak hanya latihan sepak bola, Irvin juga mengha-diri kegiatan belajar khusus bagi para pemain masa depan itu.

Menurut Voll, saat ini Irvin masih berstatus siswa Akademi. "Ini kan sekolah sepak bola, jadi tak dapat bayaran," ujarnya. Secara berkala, setiap pemain akan dievaluasi, dan mereka yang tak mengalami kemajuan bakal dikembali-kan ke negara masing-masing. Harap-an bertahan itulah yang membuat Irvin menyimpan dalam-dalam kerindu-annya pada keluarga dan kampung halaman. "Saya harus latihan terus."

Dengan status sebagai siswa di Ajax, maka sejauh ini, menurut Diza Ali, pemain cilik itu tetap milik MFS. "Saat ini kita mempercayakan Ajax untuk melatih dan memakai sebagai pemain," ujarnya. Kontrak baru bisa dilakukan setelah Irvin berusia 16 tahun, itu pun dengan persetujuan orang tua.

Kelak bila AJax mengontrak Irvin, maka MFS akan mendapat bagian 30 persen dari nilai kontrak itu, sebagai jasa pembinaan. Soal pembagian jatah itu memang sudah dibicarakan de-ngan keluarga Irvin, agar tidak terjadi perselisihan di belakang hari.

Berkat Irvin, hubungan MFS dan Ajax menjadi lebih rapat. Diza mengatakan, dalam waktu dekat seorang utusan dari akademi sepak bola Ajax akan berkunjung ke klubnya untuk melihat kondisi- dan fasilitas latihan. Mereka berjanji akan membantu perbaikan fasilitas dan teknik kepelatihan sehingga ada lebih banyak pemain masa depan yang dilahirkan MFS.

Diza sangat berharap Irvin berta-han di Ajax dan bisa terus bermain di Ero-pa. "Biarlah dia main di luar negeri, tidak usah pulang." Harapan serupa dikemukakan Henky dan istrinya, Yenny Thaurisan. Meski pasangan ini mengaku sedih karena harus berpisah di saat Irvin- masih belia, namun demi cita-cita besar yang dipupuk Irvin, mereka lapang dada melepas anaknya.

Sampai saat ini, menurut Henky, Irvin masih terdaftar sebagai siswa kelas II SMP Nusantara, Makassar. Sebelum berangkat ke Belanda, Irvin telah mendapat izin kepala sekolah. Bulan depan Irvin akan kembali ke Jakarta untuk memperpanjang visa. Jika selama dua bulan sejak Maret Irvin dianggap bagus, ada kemungkinan ia akan tinggal lebih lama di Belanda, sehingga harus pindah sekolah.

Memang, masih terlalu dini memprediksi masa depan Irvin. Belajar dari pengalaman pemain-pemain Indonesia yang pernah magang di Eropa, hampir semuanya gagal mewujudkan mimpi bermain di liga-liga terkemuka, seperti di Italia, Spanyol, dan Inggris. Mereka akhirnya kembali ke Tanah Air, dan tampil di Liga Indonesia. Misalnya Kurniawan Dwi Julianto yang mewakili tim PSSI Primavera berlatih di Genoa, Italia, pertengahan 1990 silam.

Baik Diza Ali, Ruud Voll, maupun pasangan Hengky dan Yenny, optimistis apa yang dialami Kurniawan tak akan terjadi pada Irvin. Semangat, disiplin, dan dukungan semua pihak diharapkan untuk memuluskan langkah Irvin menjadi pemain Indonesia pertama yang bisa tampil di salah satu liga elite Eropa. "Irvin adalah pemain yang selalu ingin belajar, dan mendengarkan tiap masukan," kata bekas pelatihnya, Husni Tamrin.

Adek Media Roza, Irmawati (Makassar)


Angan-angan yang Terempas

Irvin Museng bukanlah remaja Indonesia pertama yang mengenyam kerasnya berlatih sepak bola di Eropa. Beberapa pemain sepak bola Indonesia pernah berlatih di salah satu kiblat sepak bola dunia itu. Namun, mereka tak mampu bertahan lama, bahkan gagal berkiprah di klub-klub Eropa. Akhirnya, mereka kembali ke Indonesia, memperkuat klub lokal atau merumput di negeri-negeri jiran. Berikut dua pemain yang pernah merumput di Eropa, tapi gagal mengecap liga elite di benua dingin itu.

Kurniawan Dwi Julianto

Ketika PSSI mengirim tim junior berlatih di Genoa, Italia, 1993, Kurniawan disebut-sebut bakal menjadi bintang, bahkan diramalkan bisa bermain di liga Seri A Italia. Publik sepak bola Genoa, tempat klub Sampdoria bermarkas, pun mulai mengenal pemain kelahiran Magelang 13 Juli 1976, itu yang terkenal dengan julukan si Kurus.

Ketika tim Primavera tak menunjukkan prestasi yang diharapkan hingga dibubarkan, Kurniawan bertahan di Eropa. Impian bermain di liga elite Eropa terus ia pupuk. Swiss dijadikan batu loncatan. Ia bergabung bersama FC Lucerne. Tapi, karena kalah bersaing, Kurniawan kembali ke Tanah Air dan bergabung dengan Klub Pelita Bakrie.

Sempat terpuruk kariernya karena mengkonsumsi obat terlarang pada penghujung 1990, Kurniawan kembali tampil di pentas liga Indonesia. Kurniawan pernah membela PSM Makassar, PSPS Pekanbaru, Persebaya Surabaya, dan kini bergabung dengan PSS Sleman.

Bambang Pamungkas

Pemain yang dikenal memiliki tandukan mematikan ini menapaki mimpi bersama klub divisi III Belanda, EHC Norad, enam tahun silam. Bekalnya tak terlalu buruk. Ia pernah menjadi pencetak gol terbanyak di liga Indonesia dengan 24 gol, saat membela Persija Jakarta. Tapi, gara-gara tak kuat de-ngan udara dingin yang menggigit di Eropa, Bambang kembali ke Indonesia.

Di Tanah Air, Bambang memperkuat Persija hingga musim liga 2004. Selanjutnya ia menandatangani kontrak dengan tim negeri jiran, Selangor FC. Tahun lalu, Bambang menjadi top scorer dengan 39 gol. Bersama pemain asal Indonesia lainnya, Ellie Aiboy, Bambang berhasil membawa klubnya promosi ke divisi utama Malaysia.

Tak jadi mengasah karier di Eropa, pemain kelahiran Salatiga, 10 Juni 1980, itu harus puas merumput di negeri jiran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus