Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA tergeletak lemah. Napasnya naik-turun tak menentu. Sebagian tulangnya remuk tertabrak mobil. Kayu, adiknya, menunggu sambil menciumi sang kakak. Itu terjadi tiga tahun lalu. Kini, kucing itu segar dan sehat. Bulunya tebal.
Sembuhnya Nama adalah kerja Sikla- Estiningsih, 19 tahun, putri ketiga Dr Djoko Sasmita, 51 tahun. Ia mengoba-ti kucing itu dengan menggunakan biochip buatan ayahnya. ”Nama kami terapi- dengan biochip yang fungsinya memperbarui organ dalam,” tutur Sikla.
Sikla, gadis yang tak lulus SMP itu, ternyata pintar membuat sederet alat penguji kedokteran. Semua itu dibuat dari chip yang ukurannya cuma se-kuku- telunjuk dan setipis plastik. Di ru-mah-nya- di Imogiri, Bantul, ada alat tes getah bening, tes fungsi hati, tes proton glukosa darah, atau pengetes bakteri TBC. Terakhir, Sikla membuat alat deteksi jantung three in one. Alat itu bisa me-ngetahui listrik jantung, detak jantung, dan lancar-tidaknya aliran darah.
Prinsip kerja biochip bikinan Djoko ini sama dengan chip yang biasa dipakai- di komputer atau kalkulator. Hanya, biochip ini terdiri atas transistor, kapasi-tor, resistor mini yang bahan dasarnya zat organik. Untuk mendeteksi atau meng-obati penyakit, chip itu dipegang atau diletakkan pada bagian tubuh tertentu. Lalu, chip tersebut dialiri gelombang elektromagnetik. Hasil uji itu terpampang di layar monitor berupa grafik, persis seperti alat pemeriksa jantung modern, elektro kardiografi.
Dengan biochip itu, Djoko pernah meng-obati pasien kanker paru, keropos- tulang, dan menormalkan hemoglobin darah untuk penderita talasemia. Ia juga bisa menguji DNA (gen keturunan) tanpa harus mengambil sel tubuh.
Untuk sampai pada keahliannya-, Djo-ko telah melewati perjalanan- panjang-. Ber-awal dari kekecewaannya pada obat-obatan yang mempunyai efek samping, Djoko melakukan penelitian obat-obatan sejak 1973. Saat itu dia menderita kanker kelenjar getah bening-. Penyakitnya itu membuatnya semakin giat meneliti berbagai jenis obat dari ge-lombangnya. Lalu mulailah ia membuat chip organik atau biochip, dan penyakitnya sembuh.
Setamat kuliah, Djoko menjadi dosen di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM. Dia meneruskan risetnya. Secara khusus ia mendalami metode siklus, yang merupakan- metode dasar dari segala gelombang. Dari penelitiannya itu, Djoko menemukan metode Siklus K, yang kemudian dijadikan judul disertasinya. K, menurut Djoko, singkatan dari kaifa (mengapa).
Menurut Djoko, sayangnya di UGM ti-dak ada orang yang bisa menguji ilmu baru itu. Akhirnya, ilmuwan itu mem-presentasi temuannya pada Prof Schauijff di Universitas Uttrech. Pada 1987, dia dikukuhkan sebagai doktor di UGM, tapi kemudian memilih mundur dan mengembangkan ilmunya di rumah bersama anak-anaknya yang juga berhenti bersekolah.
Temuan Djoko itu dinilai dosen MIPA UGM, Prof Dr Utoro Yahya Utoro, adalah, ”Temuan yang bisa diterima- secara ilmiah. Dia tidak meng-gunakan mekanika klasik, tetapi menggunakan mekanika kuantum,” katanya. Menurut dia, metode Siklus K karya Djoko terbukti bisa dimanfaatkan untuk membuat alat-alat kedokteran. ”Ini kekayaan bangsa kita yang luar biasa. Tapi orang kita kebanyakan luar nege-ri-minded sehingga kurang percaya pada alat sederhana,” kata Utoro.
Pendapat berseberangan datang dari guru besar fisika UGM, Profesor Muslim, PhD. Menurut dia, kalau biochip bisa mendeteksi kesehatan- jan-tung atau darah, dia bi-sa- mengerti. Soalnya, saat ge-lom-bang elektromagnetik diterima darah, misalnya, sel darah akan menghamburkan gelombang itu dan pancarannya ditangkap sensor. Namun, yang ia tak paham adalah bagaimana sekeping kumpulan transistor dan kapasitor organik yang menghasil-kan gelombang elektromagnetik itu bisa menyembuhkan suatu penyakit. Sebab, selama ini gelombang itu justru merusak sel. Sebagai bukti, Muslim menyebut terapi kanker. Untuk membunuh sel kan-ker, dunia kedokteran justru meng-gunakan sinar X atau sinar gamma.
”Kalau (temuan itu) secara ilmiah itu bisa dipertanggungjawabkan, mestinya dia bisa menulis di jurnal-jurnal. Saya kira pengobatan itu sembuhnya karena sugesti,” tuturnya.
Terlepas dari kontroversi ini, toh pasien Djoko masih mengalir ke pavili-un-nya di dekat kompleks makam raja-raja di Imogiri, Bantul. Banyak sarjana, bahkan doktor MIPA, yang juga sembuh setelah berobat. Dan Djoko tetap yakin biochip-nya bisa mengobati banyak hal, termasuk memancungkan hidung, membuat kadar gula tebu meningkat, serta mengubah kulit hitam menjadi putih.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo