Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amarzan Loebis
KETIKA saya menjenguk pemba-ngunan rumah-galeri seorang te-man pelukis di Yogyakarta, lama lampau, saya menemukan sejumlah cagak besi yang sulit saya pa-hami di lantai tiga, yang direnca-na-kan sebagai lahan parkir dan tempat -kumpul-kumpul bila ada acara diskusi—atau sekadar minum kopi. ”Ini apa, Bung?” saya bertanya. Sang pelukis, dengan wajahnya yang tirus dan jeng-gotnya yang melambai-lambai, menja-wab bangga, ”Penyangkal petir. Jumlahnya ada empat belas.
Saya tak habis pikir mengapa ia memerlukan 14 ”penyangkal” petir di ka-was-an yang tidak tergolong tinggi dan juga tidak dikenal sebagai ”sarang petir” itu. Saya juga tidak merasa perlu ber-tanya, ada apa gerangan sehingga an-tara dia dan sang petir terjadi kasus- sangkal-menyangkal yang memerlu-kan campur tangan mandor bangun-an. Saya tak berselera berdebat, karena- teman ini jago debat, bahkan sampai ke cara-cara berdebat yang paling ngawur.
Tapi dia bukan orang pertama yang mengatakan ”penyangkal” p-etir kepa-da saya. Pada mulanya saya me-nyangka ini sekadar masalah lafal.- Seperti halnya sebagian sahabat dari Jawa mengatakan ”tapsi” untuk taksi,- ”lestoran” untuk restoran, atawa ”tem-tu”- untuk tentu. Kita tahu, sebagian saudara dari Sulawesi Selatan juga mengalami masalah lafal, sehingga ki-ta mendengar ”jagun” untuk jagung,- atau ”makang” untuk makan. (Di se-bu-ah desa Jawa Barat, tak jauh dari Ja-kar-ta, saya pernah menemukan sejum-lah penduduk yang tidak bisa melafalkan ”kecuali”, tetapi ”wacawali”!)
Berpadanan dengan ”penyangkal” pe-tir tadi adalah lafal yang juga mem-bia-sakan ”penyanggah” untuk benda- yang digunakan menopang sesuatu, misalnya pohon yang cenderung akan roboh. Belakangan, setelah saya makin banyak mendengar kedua kata bentukan itu digunakan secara salah ka-prah, saya paham ini bukan sebatas ma-salah lafal. Ada persoalan kehilang-an orientasi terhadap kata dasar.
Setelah 78 tahun Soempah Pemoeda,- ”mendjoendjoeng tinggi bahasa persa-toean, bahasa Indonesia” tetap saja masih proyek cita-cita. Buktinya, ada be-gi-tu banyak saudara yang masih asing- dengan kata dasar ”tangkal” dan ”sangga”, sehingga mengacaukan-nya dengan kata dasar ”sangkal” dan ”sanggah”. Kekeliruan ini biasanya ter-jadi pada pemakai bahasa yang tidak akrab dengan bahasa Melayu—-cikal-bakal bahasa Indonesia.
BUKAN hanya pemakai bahasa- awam yang mengalami kacauorien-tasi- itu. Tuan-tuan di (dulu) Pusat- Pembi-na-an Bahasa juga bisa nyele-neh sekali waktu. Ambillah contoh-nya ketika para tuan itu membakukan- ”menco-lok” sebagai ganti ”menyolok”, pada sekitar 1983-1984. Dasar asumsinya- bisa ditebak: mereka menganggap ”mencolok” dibentuk dari kata dasar ”colok”, dan ketika mendapat awalan me, lafal c tidak lebur, seperti yang ter-jadi pada cangkul-mencangkul, curi-men-curi, ci-duk-menciduk, dan seterus-nya.
Sampai di situ mereka benar—atau se-olah-olah benar. Tapi mereka lupa satu hal: dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah kata yang seolah-olah kata bentukan, padahal sesungguhnya kata dasar. Ambil misal ”meriang”.- Ka-ta ini tidak ada hubungannya de-ngan- ”riang gembira”, sebab memang ti-dak dibentuk dari kata dasar ”riang”.
Atau ”melangkup”. Kendati dalam daf-tar kata dasar kita bisa menemukan ”langkup”, maknanya pasti jauh berbeda dengan ”melangkup”, istilah hu-kum (adat) untuk ”melarikan istri orang lain”. Atau yang paling sederhana saja: ”melotot”. Barang siapa yang menganggap ini kata bentukan, silakan mencari ”lotot” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002.
Dengan ”wacana” ini, sebetulnya, sa-ya cuma ingin mengatakan satu hal: ba-hasa tak bisa dibentuk dari atas. Ba-hasa lahir dari kesepakatan. Betul- sekali bahwa Pusat Pembinaan Baha-sa akhirnya berganti dengan Pusat Ba-hasa, sebab yang ”membina” se-buah ba-hasa adalah komunitas pemakai yang, dalam kasus Indonesia, datang da-ri bahasa berbagai-bagai.
Ada kalanya yang normatif bah-kan- harus mengalah kepada yang ”di-sepa-kati”, meskipun yang disepa-kati itu tidaklah sungguh-sungguh me-rupakan- ke-sepakatan obyektif. Kalau ”penyangkal” petir akhirnya le-bih do-mi-nan dari penangkal petir, dan ”penyang-gah”—se-bagai pengenal benda penopang—ma-kin banyak dipakai ke-timbang ”penyangga” (untuk makna yang sama), apa boleh buat. Kata orang Jawa, ”Sing waras ngalah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo