Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Menyangkal Petir Menyanggah Pohon

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amarzan Loebis

  • Redaktur Senior Majalah Tempo.

    KETIKA saya menjenguk pemba-ngunan rumah-galeri seorang te-man pelukis di Yogyakarta, lama lampau, saya menemukan sejumlah cagak besi yang sulit saya pa-hami di lantai tiga, yang direnca-na-kan sebagai lahan parkir dan tempat -kumpul-kumpul bila ada acara diskusi—atau sekadar minum kopi. ”Ini apa, Bung?” saya bertanya. Sang pelukis, dengan wajahnya yang tirus dan jeng-gotnya yang melambai-lambai, menja-wab bangga, ”Penyangkal petir. Jumlahnya ada empat belas.

    Saya tak habis pikir mengapa ia memerlukan 14 ”penyangkal” petir di ka-was-an yang tidak tergolong tinggi dan juga tidak dikenal sebagai ”sarang petir” itu. Saya juga tidak merasa perlu ber-tanya, ada apa gerangan sehingga an-tara dia dan sang petir terjadi kasus- sangkal-menyangkal yang memerlu-kan campur tangan mandor bangun-an. Saya tak berselera berdebat, karena- teman ini jago debat, bahkan sampai ke cara-cara berdebat yang paling ngawur.

    Tapi dia bukan orang pertama yang mengatakan ”penyangkal” p-etir kepa-da saya. Pada mulanya saya me-nyangka ini sekadar masalah lafal.- Seperti halnya sebagian sahabat dari Jawa mengatakan ”tapsi” untuk taksi,- ”lestoran” untuk restoran, atawa ”tem-tu”- untuk tentu. Kita tahu, sebagian saudara dari Sulawesi Selatan juga mengalami masalah lafal, sehingga ki-ta mendengar ”jagun” untuk jagung,- atau ”makang” untuk makan. (Di se-bu-ah desa Jawa Barat, tak jauh dari Ja-kar-ta, saya pernah menemukan sejum-lah penduduk yang tidak bisa melafalkan ”kecuali”, tetapi ”wacawali”!)

    Berpadanan dengan ”penyangkal” pe-tir tadi adalah lafal yang juga mem-bia-sakan ”penyanggah” untuk benda- yang digunakan menopang sesuatu, misalnya pohon yang cenderung akan roboh. Belakangan, setelah saya makin banyak mendengar kedua kata bentukan itu digunakan secara salah ka-prah, saya paham ini bukan sebatas ma-salah lafal. Ada persoalan kehilang-an orientasi terhadap kata dasar.

    Setelah 78 tahun Soempah Pemoeda,- ”mendjoendjoeng tinggi bahasa persa-toean, bahasa Indonesia” tetap saja masih proyek cita-cita. Buktinya, ada be-gi-tu banyak saudara yang masih asing- dengan kata dasar ”tangkal” dan ”sangga”, sehingga mengacaukan-nya dengan kata dasar ”sangkal” dan ”sanggah”. Kekeliruan ini biasanya ter-jadi pada pemakai bahasa yang tidak akrab dengan bahasa Melayu—-cikal-bakal bahasa Indonesia.

    v v v

    BUKAN hanya pemakai bahasa- awam yang mengalami kacauorien-tasi- itu. Tuan-tuan di (dulu) Pusat- Pembi-na-an Bahasa juga bisa nyele-neh sekali waktu. Ambillah contoh-nya ketika para tuan itu membakukan- ”menco-lok” sebagai ganti ”menyolok”, pada sekitar 1983-1984. Dasar asumsinya- bisa ditebak: mereka menganggap ”mencolok” dibentuk dari kata dasar ”colok”, dan ketika mendapat awalan me, lafal c tidak lebur, seperti yang ter-jadi pada cangkul-mencangkul, curi-men-curi, ci-duk-menciduk, dan seterus-nya.

    Sampai di situ mereka benar—atau se-olah-olah benar. Tapi mereka lupa satu hal: dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah kata yang seolah-olah kata bentukan, padahal sesungguhnya kata dasar. Ambil misal ”meriang”.- Ka-ta ini tidak ada hubungannya de-ngan- ”riang gembira”, sebab memang ti-dak dibentuk dari kata dasar ”riang”.

    Atau ”melangkup”. Kendati dalam daf-tar kata dasar kita bisa menemukan ”langkup”, maknanya pasti jauh berbeda dengan ”melangkup”, istilah hu-kum (adat) untuk ”melarikan istri orang lain”. Atau yang paling sederhana saja: ”melotot”. Barang siapa yang menganggap ini kata bentukan, silakan mencari ”lotot” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002.

    Dengan ”wacana” ini, sebetulnya, sa-ya cuma ingin mengatakan satu hal: ba-hasa tak bisa dibentuk dari atas. Ba-hasa lahir dari kesepakatan. Betul- sekali bahwa Pusat Pembinaan Baha-sa akhirnya berganti dengan Pusat Ba-hasa, sebab yang ”membina” se-buah ba-hasa adalah komunitas pemakai yang, dalam kasus Indonesia, datang da-ri bahasa berbagai-bagai.

    Ada kalanya yang normatif bah-kan- harus mengalah kepada yang ”di-sepa-kati”, meskipun yang disepa-kati itu tidaklah sungguh-sungguh me-rupakan- ke-sepakatan obyektif. Kalau ”penyangkal” petir akhirnya le-bih do-mi-nan dari penangkal petir, dan ”penyang-gah”—se-bagai pengenal benda penopang—ma-kin banyak dipakai ke-timbang ”penyangga” (untuk makna yang sama), apa boleh buat. Kata orang Jawa, ”Sing waras ngalah.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus