Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Modal indonesia ke kuala lumpur

Icuk Sugiarto meraih gelar juara di nomor tunggal putra pada kejuaraan bulu tangkis terbuka Prancis di toulouse. Eddy Kurniawan, Bobby Ertanto, Gunawan Hadibowo, verawaty, Rosiana Tendean, berguguran.

2 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH berkali-kali pulang tanpa membawa gelar dari berbagai turnamen di luar negeri, pekan lalu tim bulu tangkis Indonesia membuat kejutan. Kegagalan di All England mereka tebus pada Kejuaraan Bulu Tangkis Terbuka Prancis di Toulouse dengan memboyong gelar juara di nomor tunggal putra. Kampiunnya adalah Icuk Sugiarto, 26 tahun, yang hanya bermain ganda di All England. Ia mengalahkan musuh bebuyutannya, Morten Frost Hansen, finalis All England 1988, dengan 15-10, 6-15, dan 15-2. Rahasia kemenangan Icuk? Ia mengajak lawan adu reli sebagaimana taktik Ib Frederiksen sewaktu menundukkan Morten di final All England. "Pinggang rasanya seperti mau patah," ujarnya seusai pertandingan. Icuk, yang juga turun dalam partai ganda, menambahkan, "Bayangkan saja, untuk merebut satu angka saja adu relinya bisa sampai lima menit." Selain itu, menurut Icuk, lawannya tidak menyangka ia berani melakukan permainan menyerang di sela-sela adu reli - taktik yang jarang dilakukannya selama ini. "Sudah menjadi tekad saya untuk mengalahkan Morten di Eropa," katanya. Selama ini, tambah Icuk, semua orang menganggap dirinya hanya mampu mengalahkan Morten di daerah tropis. Mencapai final di Toulouse tidak begitu susah bagi Icuk. Semua lawan digasaknya dengan dua set langsung. Di perempat final, ia mengalahkan pemain Inggris, Daren Hall, 15-5 dan 15-7. Di semifinal, ia menundukkan pemain andal Korea Selatan, Sung Han Kuk, yang menumbangkan pemain nomor dua Cina, Zhao Jianhua, di perempat final. Icuk menang atas Sung: 15-6 dan 15-10. Keberhasilan di Toulouse merupakan sukses kedua bagi Icuk selama tiga bulan terakhir. Sukses pertamanya, Januari lalu, ketika menjuarai Kejuaraan Taiwan Terbuka. Di Taipei, ia mengalahkan pemain kuat Denmark, seperti Ib Frederiksen, yang kemudian jadi juara All England 1988, Michel Kjeldsen, dan Nierhoff. Di Toulouse, Frederiksen mengundurkan diri di babak kedua. Bagaimana dengan pemain Indonesia lainnya? Eddy Kurniawan, yang kembali ketemu Morten di semifinal, sebagaimana di All England, kembali harus mengakui keunggulan lawan dalam pertandingan maraton yang berakhir dengan angka 15-9, 13-15, dan 6-15. "Eddy banyak membuat kesalahan sendiri. Ia ragu-ragu dalam menerapkan pola permainan," ujar Icuk. Smash Eddy, misalnya, sering menyangkut di net. Kegagalan juga menimpa pemain Indonesia di nomor ganda. Pasangan Bobby Ertanto dan Gunawan serta Icuk dan Hadibowo hanya mampu mencapai babak perempat final. Pasangan pertama dikalahkan oleh pemain Muangthai, Chansaeorasmee dan Sakrapee Thongsari, 15-10, 8-15, dan 15-6. Pasangan kedua ditaklukkan pasangan Malaysia, Jaelani dan Razif Sidek, 15-6 dan 15-9. Di bagian putri, nasib pemain Indonesia lebih menyedihkan. Pasangan terkuat Indonesia, Verawaty dan Rosiana Tendean, disingkirkan pasangan Korea Selatan, Hwang Hye Young dan Chung Myung Hee, di semifinal. Pemain tunggal Susi Susanti dan Kho Mei Hwa hanya mampu mencapai babak kedua. Padahal, dalam perebutan Piala Uber di Kuala Lumpur, Mei depan, tim putri kita berada satu grup dengan Korea Selatan, yang berhasil merebut 4 dari 5 gelar yang dipertandingkan di Toulouse. Masing-masing dari tunggal putri (Hwang Hye Young), ganda putri (Hwang Hye Young dan Chung Myung Hee), ganda campuran (Park Yo Bong dan Chung So Young), serta ganda putra (Park Yo Bong dan Sung Han Kuk). Saingan lainnya adalah tim Inggris dan Malaysia. Sementara itu, tim putra Indonesia yang bertarung memperebutkan Piala Thomas akan berhadapan dengan pemain Korea Selatan, Denmark, dan Swedia. Mampukah tim putra dan putri Indonesia maju ke final Piala Thomas dan Uber seperti di Jakarta, 1986? Tugas yang tak mudah. Apalagi prestasi mereka di All England dan di Toulouse tak begitu menggembirakan, sementara waktu untuk persiapan tinggal enam minggu. Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus