TIM PSSI hampir selalu mengecewakan. Dari 3 periode kepengurusan
--dalam 10 tahun terakhir ini-mereka hanya sekali berhasil
menjadi juara, yaitu pada turnamen Piala Anniversary di Jakarta,
1972. Kenapa kalah dan gagal itu sekian lama Ketua Bidang
Lembaga Sepakbola PSSI, Syarnubi Said, mencoba menjawab "Sudah
saatnya kita memindahkan permainan bola dari dengkul ke kepala,"
katanya.
Caranya? PSSI perlu mengirim 22 pemain berusia di bawah 23 tahun
untuk berlatih di Rio de Janeiro, Brazilia, selama 6 bulan.
Mereka akan dipetik dari Galatama, dan diseleksi langsung oleh
Alves Miralha Walter, pelatih dari Associacao Brasileire de
Teinadoes de Futebol (ABTF). Ia sekaligus akan menjadi
manajer-pelatih selama tim PSSI ini memasuki pusat latihan klub
Flamengo nanti. Bersama mereka juga akan turut para pelatih
Sinyo AliaSutjipto Soentoro, Sartono, dan Jopi Timisela.
Rupanya Brazilia dipilih untuk tempat berlatih supaya gaya
permainan Indonesia lebih mendekati pola Amerika Latin. "Cuma
pemain Indonesia masih kurang pakai otak," kata Walter. Ia
melihat penampilan PSSI Utama dan Galatama Selection sewaktu
melawan Cosmos (Amerika Serikat) di stadion utama Senayan, 3 dan
5 Oktober. Kritiknya, ialah para pemain Indonesia sering terlalu
lama mempermainkan bola di kahi sendiri. "Adakala sampai 20
detik dia berputar-putar sebelum mengoperkannya kepada teman,
dan itu pun kalau sudah kecapean. Bagaimana operan bisa tepat
pada sasaran?"
Dalam teknik memainkan bola, katanya, para pemain Indonesia
lebih suka kutak-katik di tengah lapangan. "Bila bola dioperkan
ke tengah lapangan, berarti pemain profesional sudah harus
menciptakan gol," lanjut Walter.
Di Brazilia nanti, Walter akan membcnahi faktor fisik dan
teknik. Ia menilai bahwa jangka waktu 6 bulan sudah mencukupi.
"Sekembalinya dari Brazilia, mereka pasti akan menjadi pemain
kelas yang lebih tinggi," janji Walter.
Pemusatan latihan PSSI jangka panjang dulu dirintis oleh
Bardosono, Ketua Umum PSSI periode 1974-1977. Ia melaksanakannya
di Salatiga, Jawa Tengah, dengan mengimpor Wiel Coerver dan Wim
Hendriks, keduanya dari Belanda.
"Sesungguhnya kita bisa berbuat lebih banyak dan lebih baik
dengan proyek Salatiga," ujar Bardosono waktu itu, "kalau
daerah-daerah mau mengirimkan pemain terbaik mereka." Pemusatan
latihan itu gagal mengumpulkan pemain berbakat lantaran
perserikatan umumnya lebih mementingkan kebutuhan daerah
masing-masing ketimbang untuk nasional.
Sekarang juga ada begitu. Bond PSIS, Semarang, menyatakan
keberatan untuk melepaskan 6 pemain mereka yang terpanggil untuk
mengikuti seleksi ke Brazilia. Namun Uteh Riza Yahya, Humas
PSSI, mengatakan: "Tak ada kesulitan dalam mencari pengganti
mereka."
Ada golongan yang skeptis tentang pengiriman tim Bina Utama ini.
Bekas pelatih nasional, drg. Endang Witarsa, tetap berpendapat
bahwa tim yang tangguh bisa ditumbuhkan setempat melalui
kompetisi, terutama Galatama. Ia menyebut latihan di luar negeri
ini sebagaitindakan tambal sulam, dan hanya akan memberikan
hasil sedikit.
Witarsa juga mengeritik pengurus PSSI yang cenderung
mempercayakan Tim nasional pada pelatih asing. "Belum tentu
pelatih kita ini kalah, apabila sama-sama mendapat kesempatan
dan fasilitas yang serupa," katanya. Walterpun sependapat.
"Secara jujur saya katakan memang lebih baik memakai pelatih
sendiri daripada menyewa dari negara lain," kata Walter kepada
Max S. Wangkar dari TEMPO.
Tampaknya PSSI sedang banyak uang. Biaya tim Bina Utama ke
Brazilia itu ditaksir sekitar Rp 120 juta. Setelah itu, menurut
rencana Syarnubi, akan dilanjutkan pembinaannya di Eropa.
Cabang olahraga lain seperti panahan atau tenis meja juga ingin
berlatih di luar negeri. Dulu bisa. Tapi sekarang KONI Pusat
sudah memaklumkan untuk tidak akan mengirimkan atlit berlatih di
negeri orang, kecuali dengan biaya dari top organisasi sendiri.
Tiada satu pun induk organisasi, yang di luar PSSI, mampu untuk
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini