SEMBILAN bulan yang lalu Pasrana masih jadi buruh pembuat batu
bata di kampungnya. Ia dianggap orang biasa, walaupun tubuhnya
kekar berisi. Tubuh toh tak ada artinya. "Zaman sekarang, biar
kecil, pokoknya jabatan," kata pemuda itu. Kini kata-kata itu
terbukti.
"Di mata orang desa, derajat kami tinggi. Karena jabatan opas
desa banyak digilai cewek," kata Pasrana, opas Desa Purwasari,
Kecamatan Cikampek, Karawang. Pemuda usia 32 tahun ini, baru 9
bulan menjabat pekerjaannya. Dalam waktu sependek itu ia sudah
dapat merasakan bagaimana harkatnya naik dibandingkan
sebelumnya.
Sebagai polisi desa Pasrana tentu saja bertanggung jawab atas
keamanan desa. Sebagaimana lazimnya pegawai, setiap pagi ia
harus masuk kantor. Kalau ada perintah Lurah ia segera
menyampaikannya kepada semua RK dan RT. "Sampai mengurus
pengajian juga ditangani," ujarnya, "kan sebagai penanggung
jawab keamanan harus ikut jaga supaya tiap waktu tahu keamanan
desa."
Setiap malam Pasrana begadang dari jam 11 sampai pagi. Meskipun
kekar, tentu saja dadanya lama-lama kendor juga. Ini memaksanya
untuk berfikir, bahwa setelah harkatnya naik, ternyata
pendapatan tidak banyak berubah. Untuk suntik agar dada itu aman
saja ia tidak mampu. Bayangkan gajinya Rp 30 ribu: untuk
setahun. Sekali lagi setahun. Dibayarkan setahun sekali.
Tete Beng
Gaji Pasrana adalah hasil musyawarah desa, diambilkan dari
anggaran desa. Ia juga menerima sawah bengkok seperlima hektar.
Hasilnya tidak cukup. Untung kepala desanya sering memberi
"tip". "Kadang saya berfungsi sebagai ajudan lurah," kata pemuda
itu dengan bangga. Untuk menanggung 2 anak dari 4 isteri
(sekarang isterinya tinggal satu) Pasrana terpaksa juga kembali
ke kerja lama sebagai buruh batu bata. Apalagi yang punya usaha
itu bapaknya sendiri.
Polisi juga diangkat dengan Surat Keputusan Camat, atas usul
kepala, desa. Jabatan ini hanya berlaku untuk 4 tahun --yakni
selama satu periode jabatan kepala desa. Kalau lurah diganti
biasanya polisi desa juga ikut terganti. Inilah yang ditakutkan
Pasrana. Kalau lurah tidak cocok, berarti ia harus melepaskan
jabatan kebanggaannya itu. Dia bakal tidak dihargai lagi. Dan ia
yakin -- entah karena ketegasannya dalam bertugas--banyak orang
desa yang menaruh dendam kepadanya. "Nanti setelah saya berhenti
mereka akan melampiaskan dendam itu," kata pemuda ini dengan
cemas.
Di kampung Kakaskasen, Kecamatan Tomohon (Minahasa) ada polisi
desa yang sudah memikul tugasnya selama 40 tahun. Namanya Habel
Ramblng. Biasa dipanggil Tete (kakek) Beng. Tampangnya serem.
Kumis lebat dengan tubuh penuh tato. Tidak pernah naik pangkat.
Tidak punya daftar gaji dan masa pensiun. Tapi semua orang dari
kecil sampai kakek -- setidak-tidaknya di kampung itu--kenal
pada Tete Beng.
Sejak ia memangku jabatannya di zaman pendudukan Jepang sudah 9
kali ada pergantian hukum tua atawa kepala desa. Sudah dua kali
ia minta berhenti karena merasa sudah uzur. Tapi sampai sekarang
belum dikabulkan. "Soalnya, saya satu-satunya sandaran hukum tua
di desa ini untuk semua urusan," katanya kepada TEMPO.
Tete Beng tidak hanya bertugas untuk menjaga keamanan desa. Ia
juga bertindak sebagai "jaksa" dan "hakim" desa. Padahal ia buta
hurup. Paling banter hanya bisa menulis tanda tangannya. Namun
reputasinya sebagai sherief itu cukup hebat. "Kelebihan saya
banyak pengalaman dan berani bergaul dengan siapa saja," katanya
sama sekali tidak dengan maksud berbangga.
Kadangkala tengah malam pintu rumah Tete Beng digedor,
seandainya ada peristiwa pidana atau gangguan terhadap desa --
seperti perkelahian, atau pertikaian pemuda kampung. Maka
bagaikan a tokoh film seri teve, Barnab Jones, Tea te Beng
tanpa rewel langsung melompat dari tempat tidurnya. Menyambar
sebuah topi lebar ala koboi dan sebuah samurai
kesayangan--langsung menuju ke tempat kejadian
jreng-jreng-jreng!
Musuh Pelacur
Kalau hanya soal perkelahian atau keributan anak muda, soal
sepele buat Barnaby Jones Tomohon ini. Belum sempat buka mulut,
baru melihat kumis jagoan tua itu, segalanya biasanya beres.
Tete Beng tidak pernah menghadapi mereka dengan kekerasan. "Hati
mereka perlu disentuh. Tapi yang mau keras, boleh juga," kata
Tete Beng.
Tete Beng dengan cepat bisa membedakan mana perkara perdata dan
mana yang pidana. Ia mengaku nalurinya sangat peka untuk
mengetahui siapa yang benar dalam setiap perkara. Tidak
dijelaskan bagaimana, tapi Tete Beng mengakui juga bahwa ia
memang punya ilmu yang diwariskan oleh seseorang kepadanya.
Semacam jimat. Akibatnya setiap perkara bisa selesai dengan
damai. Tak ada yang marah atau ingin naik banding.
Untuk menghidupi keluarganya, tokoh ini bergantung pada hasil
kebun. Jabatannya tidak mengenal upah atau uang jasa. Namun ia
tetap bergairah menjabatnya. Satu-satunya yang memperkayanya
dari jabatan ini hanya berupa satu stel baju dinas pamong desa,
lengkap dengan tanda pangkat yang selalu disimpannya dengan
rapi. Dia pakai kalau ada pembesar berkunjung.
Yang tidak boleh dilupakan, Tete Beng tidak hanya seorang
jagoan. Ia juga seniman tari. Tarian yang dibawakannya bukan
tari hiburan, tapi tari perang yang bernama tari kabasaran.
Biasanya dilakukan di Lapangan Terbang Sam Ratulangi kalau ada
tamu agung--juga kalau ada upacara resmi lainnya. Tete Beng juga
pernah menjadi sersan--20 tahun yang lalu--sersan Permesta.
Di Jakarta polisi desa mulanya bernama Pagar Baya. Kemudian jadi
Pagar Praja lalu Polisi Pamong Praja. Tatkala masih bernama
Pagar Baya fungsinya menjaga keselamatan atasannya di tingkat
kecamatan sewaktu berpatroli ke desa-desa. Senjatanya meski
hanya sebuah pentung, tampaknya angker juga. Sekarang setelah
bernama polisi pamong praa keadaannya sudah banyak berubah.
Di Kantor Kecamatan Senen (Jakarta) misalnya, kita bisa bingung
mencari di mana mereka. Sepucuk pistol sudah terselip di
pinggang. Inilah yang membedakannya dengan hansip. Seragamnya
abu-abu. Sepintas lalu bisa salah kaprah dengan polisi beneran.
"Kami harus siap 24 jam di samping hansip untuk menjaga
keamanan," kata M. Ashak, Kepala Polisi Pamong Praja Kecamatan
Senen. Menurut dia tugasnya sangat luas. Termasuk membina
hansip, tugas-tugas operasionil, penertiban, pelayanan dan
sebagainya. Kenapa begitu banyak? "Ya begitulah, yang penting
tugas kami memang sangat luas," kata Ashak.
Polisi pamong praja di Jakarta tidak terkenal lagi karena
peranannya telah digeser ke tingkat kecamatan. Namanya yang
lebih populer adalah petugas "kamtibmas". Merekalah musuh para
pedagang kaki-lima, pelacur, tuna karya alias gelandangan. Kalau
bau petugas Ini tercium, langsung terdengar seruan: "Awas
pembersihan, pembersihan!" Lantas ramai-ramai penghuni kaki lima
yang tergolong liar menyelamatkan diri seperti ayam diburu
elang.
Seorang polisi praja bernama M. Yusuf H.S. mengaku tugasnya
sekarang lebih ringan dibanding tahun 1974. "Dulu tidak jarang
kita harus menghadapi golok, karena kaum gelandangan dan
muda-mudi biasanya melawan," katanya "Pernah sewaktu mengadakan
operasi di bawah jembatan Kwitang dalam keadaan gelap, saya
mendapat sambaran golok. Untung sempat menghindar lantas terjun
masuk kali, bau air bercampur sampah tidak terfikirkan lagi,"
cerita Yusuf.
Yusuf ini penduduk Betawi asli. Ganteng dan awet muda. Sepintas
kilas kelihatannya baru berusia 25 tahun. Nyatanya sudah beranak
12 orang. Isterinya pun dua. Ia tidak bersedia mengatakan berapa
gajinya (belakangan seorang rekannya mengatakan antara Rp 20
ribu sampai Rp 30 ribu). Kebutuhannya terpenuhi karena kedua
sterinya membuka warung. "Ada uang insentif sebesar Rp 3 ribu
dan uang lembur Rp 1.500," katanya menjelaskan. Ia bekerja 24
jam, selang-seling dengan istirahat.
Kadangkala sehari suntuk Yusuf hanya duduk-duduk di kantor
kecamatan. Kadangkala sehari di jalanan. "Kami sekarang
beroperasi dengan 3 mobil dengan anggota 35 orang bersenjata,"
katanya. Kemudian dilanjutkannya: "Kalau diukur dengan uang,
apalagi kalau tanggung bulan, tidak banyak kesukaan yang bisa
diperoleh sebagai polisi praja."
Yusuf ini pada mulanya jadi polisi praja hanya iseng, sekedar
kerja timbang nganggur. Ternyata ia betah. "Harus banyak tertawa
dan senang-senang saja supaya tetap awet," katanya dengan
tenang.
Muchtar, 28 tahun, polisi pamong praja di bilangan Pasar Minggu,
Jakarta mengatakan persoalan yang paling banyak dihadapinya
adalah pedagang kaki lima. "Ini soal paling rumit," katanya pada
TEMPO. Umumnya para pedagang itu bandel. Memang selalu berhasil
dihalau dari tempat terlarang untuk berjualan--tapi toh selalu
kembali lagi. "Yang bandel kita sita dagangannya kemudian kita
kembalikan dengan suatu peringatan tertulis dengan segel segala.
Tapi tetap saja ada orang lain yang muncul," kata Muchtar.
Kewibawaan
Muchtar bertugas bersama 10 orang rekannya. Waktu tugas dibagi.
Pukul 9 pagi sampai pukul 1 siang. Malamnya pukul 10 sampai
pukul satu. Tiap unit terdiri dari 5 atau 6 orang. Selama
kegiatan Sea Games X yang lalu, para polisi pamong praja dari
masing-masing wilayah dikerahkan. Ia menganggap penting kalau
petugas seperti dia diberi senjata. "Memang tidak untuk
menembak, tapi penting untuk menambah kewibawaan," ujarnya.
Soedi, 27 tahun, di Kecamatan Menteng Jakarta juga, sering harus
berhubungan dengan gelandangan atau pengemis. Satu kali pernah
terjadi seorang pengemis kecil mengusap-usap mobil gubernur yang
sedang berhenti di perempatan jalan. Selesai mengusap, pengemis
itu menadahkan tangan ke jendela mobil persis ke arah gubernur.
Tak berapa lama kemudian handy-talky di tangan Soedi bersuara
"Harap segera diatasi pengemis di jalan anu." Perintah ini
datang dari piket Walikota Jakarta Pusat.
Selama 3 tahun bertugas Soedi mengaku lebih banyak duka.
"Senangnya cuma karena ini tugas, harus kita laksanakaan dan
cari kesenangan dalam tugas itu, katanya lebih lanjut. Apa
misalnya Ia bisa berkenalan dengan para ajudan
pejabat-pejabat. "Dapat pengalaman dari ngobrol-ngobrol kalau
lagi tugas di rumah pejabat yang sedang mengadakan pertemuan,"
kata Soedi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini