Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Gerabah di tengah gangguan plastik

Serbuan barang plastik tak mengendorkan semangat pengrajin gerabah. mutu gerabah di daerah tertentu semakin membaik. karena beberapa hotel internasional di indonesia masih memerlukan. (ils)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULUT terkatup dan berbicara adalah tabu. Tapi tangan terus bekerja. Sebab, kalau ada yang bersuara, apalagi berteriak, tempayan, kuali atau pasu yang sedang dibakar di perapian, langsung akan terkejut. Dan kejutan ini akan mengakibatkan retakan, bahkan pasu yang sedang di perapian bisa terbelah tanpa sebab. Larangan berbicara di tempat pembuatan gerabah (kerajinan dari tanah liat) di Berru--salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan telah mentradisi sejak puluhan tahun yang lalu. Kerja macam ini juga tabu bagi kaum pria. Sehingga hanya dikerjakan oleh wanita saja. Bahkan kaum pria juga dilarang berada di sekitar tempat pembuatan gerabah itu. Tak heran jika, para ibu di sana hanya menurunkan kepandaiannya ini kepada anak perempuan. Demikian tulis Dr. R.P. Soejono Kepala Bidang Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional yang sedang menyelidiki lokasi Berru. Tanah liat yang berasal dari Berru berwarna kuning kecoklat-coklatan. Penduduk di sana menamakannya samaoling. Setelah disaring dari batu-batuan samaoling kemudian dibubuhi air sedikit dan siap dibentuk untuk berbagai macam gerabah. Pembuatannya tidak begitu beda dengan cara pembuatan gerabah umumnya. Yaitu dengan perbot (istilah di Jawa) yang terdiri dari tali dan roda berputar Dari ketrampilan kaki yang memutar silinder tali, terbentuklah berbagai gerabah yang masih menjadi prasarana kehidupan sehari-hari penduduk desa. Kendi sebagai alat tempat minum, mereka namakan panombong, sedangkan tempat nasi bernama pabareseng. Kuali yang diberi kaki, dinamakan katuang Semua itu mereka hias dengan zat cair merah. Pengerasan lewat matahari atau dibakar di perapian di tempat terbuka dengan kayu atau daun kering. Sistim pembakaran yang sederhan inilah, yang menjadikan gerabah itu berkwalitas rendah. Artinya mudah pecah karena kurang matang. Seperti juga misalnya para pembuat gerabah di Desa Bumijaya, sekitar 15 km dari Banten Lama (Jawa-Barat). Karena kayu mahal dan sulit didapat di Pulau Jawa yang padat ini, pembakaran dilakukan dengan jerami. Perapian jerami ini hanya bisa mencapai panas sekitar 300 derajat C. Dari 2.600 jiwa penduduk Desa Bumijaya hampir tiga perempatnya membuat gerabah. Di sini tak berlaku berbagai pantangan seperti di Berru, Sulawesi Selatan. Menurut Jajuli Kepala Desa Bumijaya, segumpal tanah seberat kirakira 20 kg, mudah diperoleh dengan harga Rp 20. Kalau dijadikan gerabah, bisa mencakup 20 buah jenis barang. Pembuat gerabah di Bumijaya menjual sebuah pasu atau kendi dengan harga Rp 50. Sampai di pasar, tengkulak melegonya dengan harga dua kali lipat. Masam, laki-laki yang kini mencapai usia 80 tahun, telah membuat gerabah ini sejak berusia 20 tahun. Penghasilannya setiap hari rata-rata hanya Rp 500. Sejak dulu tidak ada pilihan bagi Masam untuk memindahkan sumber hidup ke bidang lain. Biasanya, pembuat gerabah hanya bekerja sekitar 6 bulan saja setiap tahun yaitu dikala hujan tidak pernah menyentuh tanah. Sebab tungku perapian tidak pernah mereka miliki. Proyek BIPIK. Apakah pembuatan gerabah tradisional sepeti: di Berru, Bumijaya, atau Kampung Gunung Tangkil di Leuwiliang (Bogor) akan musnah karena serangan barang-barang plastik yang anti pecah? Padahal misalnya di Kasongan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Selain gerabah tradisional seperti kendi, kendil, pengaron atau layal. Kasongan telah banyak menarik pencinta pottery (pecahbelah). Karena mereka juga membuat celengan dari berbagai bentuk binatang. Plered, Purwakarta (Jawa Barat) kini sering dijadikan tempat kunjungan pelancong yang ingin melihat pembuatan gerabah tradisional. Dachlan, Kepala Dinas Perindustrian Purwakarta mengatakan bahwa kini daerahnya telah memiliki 75 unit industri gerabah dengan tenaga kerja 1.000 orang. Selain itu, Plered juga mempunyai 40 unit industri bata dengan tenaga kerja 500 orang dan 185 unit industri genting dengan tenaga kerja 5.000 orang. Kawasan ini mempunyai sebuah pilot proyek yang bernama BIPIK yaitu "bimbingan dan pengembangan industri kecil khusus untuk golongan ekonomi lemah". Proyek ini dikelola oleh Balai Penelitian Keramik Bandung. "Hasilnya, para pengrajin menjadi semakin kreatif," ujar Sudarto petugas di Balai tersebut. Naik Gengsi Kini di Plered sedang dilatih 8 orang pengrajin dengan alat-alat modern. Selama 8 jam sehari, mereka diwajibkan kerja dalam ruangan 10 x 30 meter, tempat pembakaran dengan tungku yang bisa memuat gerabah seluas 2 meter kubik. "Tungku kami memakai bahan bakar solar," ujar Sudarto, "dan ini 30% lebih murah dari pada bahan bakar lain." Tanah liat juga disediakan, dan tanpa pengawasan ketat, para pengrajin itu diwajibkan untuk membuat segala macam barang pecah belah menurut ilham dan kepandaian mereka. Di Plered penghasilan para pengrajin tanah liat agak lebih baik. Kepala tukang bergaji Rp 900/hari, tukang Rp 750/hari dan pembantu Rp 500/hari. Pak Wirta yang telah membuka pabrik sendiri kini telah berhasil menggaji 8 orang pengrajin dengan gaji seorang Rp 1.000/hari. Beberapa sistim tradisional masih dipakainya, tetapi untuk pembakaran digunakan solar dengan suhu sampai 900 derajat C. Sebetulnya sebuah gerabah sudah dianggap baik kalau dibakar pada panas 400 derajat C. Di Plered sekarang, kian banyak industri gerabah dengan mutu yang lebih baik. Dalam waktu dekat, BIPIK akan membangun sarana industri percontohan lengkap dengan biaya Rp 23 juta. Telah disiapkan juga tanah cadangan seluas 32 hektar sebagai sumber bahan baku. Sebab di Plered bahan kian menipis, paling tidak--menurut penyelidikan--tidak sampai 50 tahun lagi, akan berbentuk jurang yang cukup dalam. Gerabah dari Plered kian naik gengsi karena beberapa hotel internasional di Indonesia juga telah memajangnya di atas meja makan atau di sudut-sudut ruangan sebagai pot bunga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus