PANAS terik dan gersang alam sekitarnya. Penduduk Desa Trunggono
di Gunung Kidul selalu kekeringan. Tapi akhirnya tanah di sana
mengeluarkan air juga. Pemerintah, khususnya Departemen
Pekerjaan Umum, tampak mulai berhasil dalam melaksanakan suatu
proyek yang bertujuan memanfaatkan air tanah.
Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) di Gunung Kidul, wilayah
kering yang dekat dengan kota Yogyakarta, telah memasang 28
pompa mesin. Tiap pompa itu mampu mengairi sawah sampai 40 ha
lebih. Di Playen, Karangtalun, Plumbungan dan banyak lagi desa
lainnya kini air mengucur deras, mencapai debit 1.000 sampai
2.500 liter setiap menitnya.
Namun di Desa Trunggono, walaupun sudah diberi tambahan pompa
tangan yang dipasang pada salah satu sumur eksplorasi, airnya
mengucur pelan sekali. Hanya 4 liter keluar dalam satu menit,
sedang kapasitas pompa itu -dengan kedalaman 100 meter--sekitar
24 liter semenitnya. Meskipun begitu, penduduk Trunggono sudah
bersyukur sekali, seperti yang dilihat oleh Menteri PU, Dr. ir.
Purnomosidi Hadjisaroso ketika singgah di desa itu akhir
September lalu.
"Daripada tidak ada sama sekali, pak," ujar seorang tua yang
sedang antri. Memang sejak pompa tangan itu mulai mengucurkan
air, antrian orang--yang masing-masing membawa pikulan 2
blek--ternyata cukup panjang. Mereka sering harus menunggu
giliran sampai 5 jam. Bahkan mereka yang tinggal jauh -- 5
sampai 7 km dari pompa--tidak segan kembali lagi dan antri untuk
kedua kali. Kini mereka sudah beruntung.
Dulu, sebelum ada pompa, terutama dalam musim kemarau, mereka
terpaksa cari air sampai ke gua-gua di pegunungan. "Sudah
jalannya jauh, tebingnya curam lagi," cerita seorang ibu.
Semula proyek air tanah di Gunung Kidul hendak menjangkau areal
seluas 1.270 ha dengan menggunakan 32 pompa, masing-masing mampu
mengairi 40 ha lebih sawah. Tapi untuk sebagian pompa, tidak
terdapat areal seluas itu, karena tanah tegalan terpencar di
daerah itu. Secara efektif hanya 944 ha yang bisa
dijangkau--cukup dengan 28 pompa. Sedang sisa 4 pompa dalam
rencana dicadangkan bila ada kerusakan. Dari 28 pompa itu, 4
menyediakan air minum bagi penduduk.
Air yang disedotnya dari bawah tanah berasal dari air hujan. Ia
semula terserap oleh tanah dan menghimpun di atas lapisan batu
dalam kerak bumi. Suatu laporan P2AT tadinya memperkirakan bahwa
selama musim kemarau --terutama sekitar Juli sampai Oktober --
pemompaan ini akan bisa mengakibatkan sumur penduduk setempat
dalam radius 500 meter dari pompa menjadi kering. Ternyata
tidak.
Menteri Purnomosidi sempat menanyakan hal ini langsung kepada
penduduk di desa Playen. Mbok Karto, misalnya menjawab bahwa
sumurnya tidak mengalami kekeringan. "Masih bisa untuk nyiram
tanaman," katanya. Kalaupun ada sumur yang kering, P2AT bersiap
mengongkosi penggaliannya supaya lebih dalam.
Namun cerita dari Plemahan, Kediri lain lagi. Daerah ini yang di
musim kemarau selalu mengalami kekurangan air, ternyata potensi
air tanahnya cukup besar. Sejak 1974 wilayah Kediri ini menjadi
proyek percobaan. Sekarang 3, pompa mesin di sana mengairi
1490 ha sawah.
Produksi pangan meningkat setelah persediaan air terjamin
sepanjang tahun. Tanah garapan milik Poniren, 23 tahun di Desa
Plemahan, dulu selalu bero (tidak ditanami) di musim kemarau.
Sekarang tanahnya tidak pernah menganggur. Dalam setahun ia
menanam padi sekali, kedelai dua kali.
Integrasi
Tapi sejak adanya pompa itu, sumur penduduk di musim kemarau
menjadi kering. "Padahal dulu tidak pernah begitu," cerita
Poniren. Namun hal ini tidak merisaukannya, karena
sekarang-tidak seperti dulu--di musim kemarau tiada lagi orang
kelaparan. Dengan pompa itu, "kini panen bisa terus," katanya.
Kemungkinan sumur kering setempat bisa jadi terjadi. P2AT juga
sudah menyediakan sebuah pompa di Plemahan untuk memenuhi
keperluan air minum penduduk.
Tapi dinilai dari peningkatan produksi pangan, sumber nafkah
bagi penduduk, proyek ini memang sukses. Menteri Purnomosidi
menyimpulkan bahwa secara teknis dan ekonomis, proyek itu sudah
bisa dipertanggungjawabkan. Dan "bisa dikembangkan secara
besar-besaran," katanya.
Sekarang baru sekitar 5.000 ha tercapai oleh seluruh proyek air
tanah di beberapa daerah. Direncanakan 7 propinsi -- Ja-Bar,
Ja-Teng, DIY, Ja-Tim, Bali, NTB dan NTT --dengan jumlah areal
800.000 ha, menjadi sasaran proyek ini.
P2AT yang dilaksanakan sejak tahun 1969 mendapat bantuan dari
pemerintah Inggeris dalam bentuk peralatan dan jasa konsultan.
Teknologi sederhana di sini diintegrasikan dalam pola
tradisional petani setempat. Juga diadakan program penyuluhan
guna meningkatkan ketrampilan petani. Secara berangsur
tanggungjawab proyek akan dialihkan kepada organisasi petani
setempat yang khusus dibentuk untuk itu.
Dari keseluruhannya, keseimbangan dan kelestarian
lingkungan--yang juga penting -- mendapat perhatian utama dari
fihak P2AT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini