TIM putera Indonesia dalam Kejuaraan Tenismeja Dunia di
Pyongyang pekan lalu tak mengecewakan. Prestasi mereka sekaligus
menempatkan diri dalam grup 16 Besar kembali, setelah tak
terkalahkan dalam Divisi II.
Dalam kejuaraan Tenismeja Dunia 1977 di Birmingham, mereka yang
semula menempati urutan ke-13 di antara 16 regu Divisi I
terlempar ke Divisi II, karena hanya mampu menjadi juru kunci
dalam kelompok semula. Motor kemenangan kali ini adalah Gunawan
Suteja, Faisal Rachman, Empie Wuisan, Sinyo Supit, dan Tony
Maringgi.
Bagaimana dengan regu puteri? Mereka -- juga terkena degradasi
ke Divisi II di Birmingham -- gagal untuk mengangkat harkat
kembali. Di Pyongyang, mereka cuma mampu menempati urutan ke-6
di antara 16 tim yang tergabung dalam Divisi II. "Untuk
mengulangi prestasi di Kalkuta agak berat buat mereka," ramal
pelatih Sugeng Utomo menjelang keberangkatan tim. "Pemain inti
masih yang itu-itu juga -- sudah mulai beranjak tua, dan jarang
bertanding. Jelas tak banyak yang bisa diharapkan dari mereka."
Waktu Kejuaraan Tenismeja Dunia 1975 di Kalkuta, tim puteri
Indonesia menduduki tempat ke-15 dari 18 regu dalam Divisi I.
Sepulang dari Birmingham, tim puteri Indonesia memang agak
jarang turun gela'nggang ketimbang regu putera. Penampilan
terakhir mereka di tingkat regional adalah dalam Kejuaraan
Tenismeja Asia di Kuala Lumpur, Nopember 1978. Sedang regu
putera masih menambah pengalaman pada Asian Games VIII di
Bangkok. sebulan kemudian. Regu puteri terdiri dari Beatrix
Pietersz, Liliana Wibisono, Karnelia Ailin dan Rostety -- 2 nama
terakhir adalah muka baru.
Kejuaraan Tenismeja Dunia ke-35 (26 April - 6 Mei) di Pyongyang
tak hanya merubah urutan tim dalam Divisi. Juga masalah politik
muncul ke permukaannya. Dua anggota Federasi Tenismeja
Internasional (ITTF) -- Korea Selatan dan Israel, misalnya, tak
berhasil ambil bagian. Tim Korea Selatan sekalipun terbang ke
Jenewa untuk mendapatkan visa masuk lewat perwakilan Korea Utara
di sana ternyata pulang dengan tangan hampa. "Kalau pihak Korea
Selatan mau membentuk regu gabungan, soal visa ke Pyongyang
pasti beres," kata seorang pejabat Korea Utara.
Tetap Muncul
Menjelang Kejuaraan itu memang muncul gagasan dari 2 Korea yang
berbeda kiblat itu untuk menurunkan tim gabungan. Setelah 4 kali
pertemuan di Panmunjom ternyata keduanya tak mencapai kata
sepakat. Masing-masing pihak saling menyalahkan. "Mereka
lagi-lagi mengulangi soal pembentuka regu gabungan," kata juru
bicara tim Korea Selatan, Chung Choo Nyun se usai pertemuan
dengan perwakilan Korea Utara di Jenewa.
"Kami juga tak beruntung," kata seorang anggota rombongan Israel
sekeluarnya dari gedung yang sama. Menurut siaran resmi ITTF,
Israel tidak bisa ambil bagian karena Korea Utara menganggap
keikut-sertaan mereka "dapat merintangi pengamanan secara
keseluruhan."
Amerika Serikat yang punya ikatan politis dengan Korea Selatan
dan Israel tampak tak terpengaruh oleh penolakan Korea Utara
terhadap kedua negeri itu. Mereka tetap muncul di Pyongyang,
pertama kali sejak 1948. Rombongan dipimpin oleh George Kennedy,
Wakil Ketua Federasi Tenismeja Amerika Serikat.
Di Pyongyang itu juga terjadi pergeseran supremasi. Tim Hungaria
-- pemegang II kali Piala Swaythling, lambang supremasi
tenismeja beregu putera dalam periode 1927-1952 -- muncul
kembali di tempat terhormat. Di final, Hungaria menundukkan
juara bertahan, RRC 5-1. Yang masih dipertahankan RRC adalah
juara dunia beregu puteri -- dilambangkan dengan Piala
Corbillon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini