Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berlapar-lapar, sekolah

Pertentangan antara mui dan menteri p & k tentang liburan sekolah pada bulan ramadhan. mui menunggu harapan kebijaksanaan presiden. pemerintah diharap memperhatikan suara-suara masyarakat. (pdk)

12 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBICARAAN tentang bulan Ramadhan akhir-akhir ini ramai. Bukan tentang hadiah lebaran, tetapi menyangkut masalah libur atau tidaknya sekolah. Seperti telah diketahui, lewat SK 0211/U/1978, Menteri P & K antara lain memutuskan "Pada dasarnya bulan Puasa adalah waktu belajar" (Pasal 6, ayat 1). Dan Sabtu akhir April lalu, Menteri kembali menegaskan bagi sekolah-sekolah pemerintah pada bulan tersebut tetap dibuka. Penegasan kembali itu memang untuk menjawab Majelis Ulama Indonesia yang minta kepada Menteri untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Toh, meskipun kepada wartawan Menteri mengatakan "Tampaknya Majelis Ulama bisa mengerti," apa yang berlangsung dalam pertemuan dengan MUI cukup seru. Kata Buya Hamka kepada TEMPO "Menteri sangat keras sekali dengan pendapatnya." Menurut Hamka bulan Puasa adalah waktu bagi orangtua bisa mendidik anaknya lebih efektif daripada hari-hari biasa. Mendidik beribadah, mendidik berdisiplin: puasa, sembahyang tarawih dan bangun malam makan sahur. "Bahkan di bulan Puasa, sembahyang Subuh tak kalah ramainya dengan sembahyang Jum'at di Mesjid," kata Hamka. Nah, kalau anak-anak tetap diwajibkan sekolah, "bagaimana bisa tarawih dan ikut sembahyang Subuh kalau sudah capek sekolah," sambungnya. Hamka juga menunjuk adanya undang-undang yang mengatur libur sekolah. "Dalam undang-undang itu ditentukan keputusan libur sekolah diambil dengan mempertimbangkan musim, hari-hari nasional dan agama yang dianut masyarakat." Lalu, apakah SK 0211 bertentangan dengan undang-undang yang ada? Undang-undang No. 12 tahun 1954, Bab XV, Pasal 26, Ayat 1 menyebutkan libur sekolah bagi sekolah-sekolah negeri ditetapkan dengan "mengingat kepentingan pendidikan, faktor musim, kepentingan agama dan hari-hari raya kebangsaan." Memang diakui oleh Daoed Joesoef bahwa tidak diliburkannya sekolah pada bulan Puasa ada hubungannya dengan tahun ajaran yang diperbaharui. Dan itu semua -- tahun ajaran dan penentuan hari libur sistem lama -- "dirasakan sebagai kurang menunjang efisiensi dan efektivitas pelaksanaan sistem pendidikan." Misalnya liburan panjang bulan Puasa "akan cukup mengganggu kalender pendidikan, sebab bulan Puasa selalu maju 10 hari setiap tahunnya." Ada satu hal yang memang tak disebut-sebut MUI, sehingga mengesankan pada bulan suci itu sama sekali tak ada hari libur. "Pemerintah tetap menghormati tradisi yang sudah lama berlaku dalam masyarakat," kata Daoed. Di ruang tunggu Lapangan Udara Adisutjipto Kamis awal Mei ini katanya kepada TEMPO: "Awal bulan Ramadhan ada libur 3 hari untuk memberi kesempatan mereka yang hendak mengunjungi makam. Lalu sekitar Hari Raya Idulfitri ada libur 7 hari. Itu sudah lebih banyak daripada sekolah-sekolah agama lain, misalnya Katolik yang hanya libur dua hari." Tapi ada juga keterangan Daoed yang mengejutkan pihak MUI. "Ini bukan masalah agama tapi masalah politik. Yang saya sayangkan agama dipakai sebagai alasan untuk masalah dl bidang politik," katanya. Menteri Agama Alamsyah sendiri agaknya setuju kalau sekolah tetap masuk pada bulan Puasa. Katanya kepada TEMPO "Kita tidak usah prinsip-prinsipan, tidak usah dipolitisir." Dan lanjutnya: "Kepentingan pendidikan ternyata menghendaki sekolah tidak diliburkan pada bulan Ramadhan, untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan kita selama ini." Untuk sekolah-sekolah di bawah Dep. Agama, "kalau memang jadwal telah berakhir menjelang Ramadhan, buat apa dipaksakan sekolah," tambahnya. Belajar Keras, Bekerja Keras Kasman Singodimedjo, dari MUI, yang juga ikut menemui Menteri P & K, mengatakan akan tetap meliburkan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah -- Majlis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan lewat surat edaran bertanggal 7 Maret 1979 malahan telah memutuskan "kegiatan mengajar di seluruh Perguruan/Perguruan Tinggi Muhammadiyah diliburkan." Tanggapan Daoed Joesoef memang agak keras: "Silakan, tapi saya akan meninjau kembali subsidi untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah," begitu tutur Hamka. Ada yang mengatakan libur Puasa mendidik anak-anak belajar menjalankan ibadah puasa. Sebab, suasana masyarakat kita tidak membantu anak-anak yang sedang belajar berpuasa. Jaab Daoed: "Maka dari itu kepada anak-anak didik kita, harus kita tanamkan tidak hanya bekerja keras tapi juga helajar keras. Sebab nantinya sebagai orang dewasa mereka harus tetap bekerja keras dalam bulan Ramadhan dan mulai sekarang harus belajar keras di samping beribadah puasa." Bagaimana sikap MUI kini? Menurut Buya Hamka, MUI kini tinggal menunggu harapan kebijaksanaan Presiden saja. Dia tetap yakin bahwa "dalam negara demokrasi ini pemerintah tidak akan berkeras melaksanakan kehendaknya sendiri. Tapi tetap memperhatikan suara-suara masyarakat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus