Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Naik Kelas, meski Rapor Merah

Mutu Liga Indonesia VI meningkat dibandingkan dengan kompetisi-kompetisi sebelumnya. Teknik membaik, kerusuhan berkurang, tapi kasus obat terlarang mencuat.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBARAN masih jauh. Tapi salak petasan sudah terdengar di Stadion Utama Senayan, pekan lalu, saat digelar partai semifinal Liga Indonesia VI. Bukan itu saja aksi yang dihadirkan penonton. Mereka juga membakari bangku stadion dan menyerbu masuk lapangan ketika pertandingan belum lagi usai. Memang, ini bukti kegairahan yang kental hadir. Tapi rasanya turnamen antarkampung pun lebih sopan daripada penyelenggaraan partai empat besar liga nasional ini. Memprihatinkan.

Apa boleh buat, kompetisi musim ini kembali mencatat cacat. Padahal, di sisi lain, mutu kompetisinya sendiri beranjak membaik. Bahkan, bila rujukannya adalah partai-partai delapan besar, ada beberapa kemajuan berarti. Misalnya, kerusuhan dalam skala besar tak lagi terjadi sekalipun di sana-sini insiden masih bertaburan. Sportivitas di lapangan terlihat meningkat karena pemain lebih respek kepada pengadil. Di luar lapangan, dengan hadirnya kelompok penggemar seperti Aremania, atmosfer menggelinding naik tiap klub itu bertanding tanpa harus ada kekhawatiran perusakan fasilitas umum seperti yang dilakukan suporter jenis bonek (bondo nekat alias modal nekat).

Yang lebih penting, mutu permainan sendiri meningkat. Contohnya, kesalahan teknis mendasar tak lagi terlihat. Selain itu, umpan satu-dua dan umpan sayap yang disambut sundulan kepala makin sering dipergoki. Dengan kata lain, dasar-dasar permainan untuk sebuah kompetisi yang bermutu sudah ditunjukkan oleh pemain dengan memadai. Lebih asyik lagi, kemampuan ini sudah pula ditunjukkan oleh para pemain lokal. Artinya, ketergantungan pada pemain asing makin berkurang. Beberapa bintang muda lokal seperti Marthen Tao dari klub Pupuk Kalimantan Timur dan Komang Mariawan dari Persikota Tangerang terlihat kian matang ketimbang musim sebelumnya. "Dengan begini, tujuan kompetisi itu sendiri tercapai," kata pengamat sepak bola Kusnaeni kepada TEMPO.

Marthen dan Komang berpeluang meraih gelar pemain terbaik. Kandidat lain adalah Bambang Pamungkas dan Imran Nahumarury (Persija), Kurniawan dan Bima Sakti (PSM), Ben Ben Berlian (Persikota), serta veteran Fachry Husaini (PKT). Munculnya nama Kurniawan sempat menimbulkan kontroversi karena ia pernah diduga memakai shabu-shabu. Namun, tampaknya rujukannya adalah penampilan di lapangan. Sayang, pemain asing tak berhak dipilih, padahal pemain seperti Bell Simon Hitler (Persikota) sangat layak menyandang gelar itu.

Fenomena yang tak kalah menarik adalah telah kembalinya penonton ke stadion. Bisa diduga, minat ini bangkit karena mutu kompetisi yang menanjak. Tentu, fanatisme masih berperan. Tapi, tak bisa dimungkiri, faktor bercitarasa kesukuan dan kedaerahan ini makin luntur. Tengok saja profil klub PSM Makassar saat ini. Nyaris semua pemain intinya bukanlah produk kompetisi lokal kawasan selatan Sulawesi itu. Namun, hal ini tak merisaukan pendukung tim berjulukan Juku Eja itu. Mereka tetap bersedia membayar tiket puluhan ribu rupiah karena nama-nama seperti Kurniawan, Aji Santoso, Bima Sakti, dan Miro Baldo Bento adalah jaminan permainan menyerang yang sedap ditonton. Fenomena yang sama bisa ditemukan pada klub Persija Jakarta Pusat. Sebaliknya, klub Jawa Barat seperti Persib, yang ngotot memakai pemain "nasional" dari provinsinya, terbukti melorot prestasinya dan mulai tak dilirik bobotoh setianya.

Sayang, rapor kompetisi yang sudah membaik itu tahun ini tercemari kasus memalukan, yaitu penggunaan obat terlarang. Bahkan, bobot pelanggaran yang dilakukan tak bisa disepelekan. Bekas pemain nasional Eri Irianto, yang memperkuat Persebaya, diduga kuat meninggal dunia setelah bertanding karena penyalahgunaan obat. Sedangkan bek PSM Kuncoro main bagai kesetanan setelah mengisap shabu-shabu.

Dalam kasus Kuncoro, terseret nama Mursyid Effendi dari Persebaya dan Kurniawan. Tapi, sampai saat ini, hanya Kuncoro sendiri yang menerima sanksi dari PSSI. Hal ini menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Ketua PSSI Agum Gumelar dinilai tak berani mengambil langkah tegas karena kedekatannya dengan Nurdin Halid dari PSM dan Sunarto dari Persebaya. Alhasil, kelanjutan kasus ini seperti menggantung. Padahal, bila PSSI tuntas mengusut dengan segala risikonya, ini adalah tabungan yang amat baik bagi persepakbolaan nasional.

Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus