WAJARKAH warga Indonesia merasa optimistis dengan hari depannya? Pertanyaan ini penting untuk diajukan mengingat penafsiran proses reformasi yang berlangsung sekarang ini sangat bergantung pada optimisme atau pesimisme sang juru tafsir. Ambil contoh serunya perdebatan sebelum, dalam, dan pasca-sidang Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden Abdurrahman Wahid, Kamis pekan lalu. Bagi mereka yang optimistis, peristiwa itu adalah sebuah contoh bagaimana telah berubahnya wacana perpolitikan bangsa dari iklim otoriter menjadi egaliter. Bagaimana DPR, yang selama lebih dari tiga dekade dicemooh sebagai lembaga tukang stempel, sekarang bagai harimau yang baru lepas kandang, begitu garang menjaga wewenangnya. Juga tentang penampilan seorang presiden yang di masa lalu disakralkan sebagai Bapak Bangsa, kini dihujani dengan pertanyaan yang membuat banyak orang biasa merasa risi, tapi tak ada polisi atau serdadu yang kemudian mengamankan para penanya itu. Ditambah lagi, tidak seperti yang terjadi pada 1950-an, pertarungan politik di Senayan itu kecil risikonya untuk menggulingkan pemerintah. Bukankah ini sebuah kemajuan luar biasa dalam masa pemerintahan reformasi yang baru berusia tujuh bulan itu?
Jawabnya, sekali lagi, tergantung pada sejauh mana optimisme atau pesimisme yang menanggapinya. Sebab, bagi mereka yang pesimistis, kejadian yang sama dipahami sebagai bukti bahwa gejala kebangkrutan telah mewarnai gerakan reformasi. Bahwa kaum politisi, seperti di tahun 1950-an, cuma memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya. Tragedi bangsa di Maluku dan Aceh ataupun nasib hampir sejuta pengungsi yang melarikan diri dari berbagai kerusuhan di pelosok negeri—misalnya mereka yang sudah lebih dari dua tahun bermukim di stadion olahraga Pontianak—seperti tak diacuhkan. Mereka, para elite itu, lebih asyik menggoyang kedudukan lawan politik dan menambah kekuasaan tanpa mempedulikan apakah dampak perseteruan itu pada pemulihan ekonomi bangsa, yang mudah terlihat dari melorotnya nilai rupiah terhadap mata uang asing dan enggannya para investor menanamkan modalnya di republik ini. Bagi kaum yang pesimistis, awal abad ke-21 ini disangka akan mengulangi kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di tahun 1950-an. Galaknya para wakil rakyat yang di masa lalu begitu jinak diyakini hanyalah sebagai trik harimau-harimau sirkus yang dikendalikan para pawang di luar gelanggang. Kalangan politisi sipil ditengarai terlalu sibuk menjatuhkan dan membangun pemerintahan baru hingga, suatu saat nanti, godaan mengundang pemimpin tangan besi tak tertahankan lagi oleh orang ramai. Bukankah hal ini telah terjadi di Pakistan, negara berkembang yang lebih dulu mencoba jalan demokrasi ketimbang kita?
Satu fakta, dua kubu yang berlawanan dan dua tafsir yang bertolak belakang. Celakanya, atau boleh juga disebut untungnya—tergantung pada Anda seorang optimistis atau pesimistis—tafsir yang kemudian terbukti benar umumnya mempunyai korelasi positif dengan jumlah penafsirnya. Semakin banyak orang optimistis di negeri ini, semakin besar kemungkinan terciptanya Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Sebaliknya, bila mayoritas rakyat Indonesia kehilangan kepercayaan atas masa depan yang lebih cerah, masa depan akan meninggalkan Nusantara ini. Sebab, sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kumpulan orang per orang. Dan kita tahu bahwa manusia yang telah kehilangan harapan adalah makhluk yang telah berhenti hidup, dan—dengan segala hormat kepada mendiang Chairil Anwar—hidup bukanlah sekadar menunda kekalahan.
Wajar jika tugas utama seorang pemimpin bangsa—seperti yang dipangku Presiden Abdurrahman Wahid sekarang ini—adalah menjaga nyala api harapan. Tidak terlalu besar hingga membakar mereka yang terlalu dekat dengannya, tapi tidak terlalu kecil hingga mudah dipadamkan topan cobaan. Gus Dur tak perlu menjadi lilin yang lumer demi menjaga berkobarnya api, tapi harus menempatkan dirinya sebagai pelari estafet dalam membawa obor Olimpik, yang bertanggung jawab memastikan terus berkobarnya harapan ke pelari estafet di babak berikutnya.
Ini bukan tugas yang ringan. Setelah hampir tiga dekade mendapatkan doktrin tentang mutlaknya dicapai kondisi harmonis, atau yang dalam bahasa P4 disebut sebagai keseimbangan yang selaras dan berkesinambungan, tidaklah mudah bagi rakyat Indonesia untuk memahami bahwa tidak semua konflik berkonotasi negatif. Pertentangan antara presiden dan DPR—yang oleh konstitusi diberi kekuatan setara—adalah soal normal saja di negara yang memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Gedung para wakil rakyat memang direncanakan sebagai tempat konflik kepentingan politik diselesaikan secara terbuka dan sesuai dengan aturan konstitusi. Ibarat reaktor nuklir yang menghasilkan energi untuk pembangunan, tugas parlemen adalah mengelola perbedaan kepentingan masyarakat ramai hingga menelurkan kesepakatan berupa undang-undang yang memungkinkan sebuah bangsa membangun masyarakat madani. Bila pengelolaan konflik ini tidak dikontrol—misal tak dilakukan dengan terbuka—risikonya setara dengan meltdown-nya sebuah reaktor, seperti terjadi di Maluku, yang dapat memicu meledaknya sebuah tragedi nuklir (seperti sudah dialami Yugoslavia dan Rwanda).
Dalam hal ini—seperti umumnya terjadi—baik kaum optimistis maupun pesimistis tak ada yang benar seratus persen. Para wakil rakyat bukanlah menjadi harimau yang lepas kandang ataupun macan sirkus yang dikendalikan dari luar gelanggang. Mereka adalah tokoh-tokoh yang diberi hak untuk berinisiatif tapi sekaligus akan dituntut pertanggungjawabannya oleh rakyat dalam pemilihan umum mendatang nanti.
Pada akhirnya, rakyat pemilih itulah sang Pawang Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini