Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemberontakan Petani, Bisnis TNI

Petani dan TNI Angkatan Udara berebut tanah. Kasus laten yang muncul karena status pemilikan tanah tidak pernah ditegaskan sejak awal.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAHAN itu meruap seketika. Sekitar seribu petani berduyun-duyun mendatangi Landasan Udara Gorda, Serang, Jawa Barat, Ahad pekan lalu. Bersenjata cangkul, linggis, parang, dan alat pertanian lainnya, mereka mencangkuli Landasan Udara (Lanud) Gorda. Para petani itu menggaris dan mematok tanah menjadi petak-petak mirip pematang sawah. Tak cukup dengan itu, sebuah pos Angkatan Udara di pinggir landasan dibakar. Sebentar saja pos tak berpenghuni itu rontok jadi arang. Sebuah pos lainnya di muka landasan juga jadi sasaran kemarahan. Massa merusak bangunan berukuran 100 meter persegi itu.

Hanya dalam tempo sekitar dua jam, kompleks landasan udara milik TNI Angkatan Udara itu remuk. Untung tak ada korban jatuh. Soalnya, sudah lama kompleks landasan udara berupa padang rumput itu tidak ditunggui pemiliknya. Maklum, landasan ini adalah landasan pendukung, yang hanya dipakai sekali-sekali. Terakhir tempat ini dipakai untuk uji coba pesawat CN 235—yang akhirnya jatuh—Mei 1997 lalu.

Kemarahan petani di empat desa—Lamaran, Gembor, Cakung, dan Warakas—di Kecamatan Carenang itu dipicu oleh klaim Angkatan Udara bahwa kawasan seluas 712 hektare itu milik TNI AU. Tanah seluas itu bukan hanya bidang landasan, tapi juga perkampungan penduduk yang telah mereka huni puluhan tahun.

Menurut Sjarbini, 63 tahun, warga asli Desa Lamaran, penduduk empat desa itu memang telah turun-temurun menempati kawasan itu. Peralihan pemilikan itu mulai terjadi pada 1942, ketika tentara Jepang meminjam tanah mereka untuk dijadikan landasan udara pesawat Jepang. Ketika itu, penduduk setempat pula yang dipekerjakan oleh Jepang untuk membangun landasan. "Tanah itu juga jadi lahan kerja paksa," kata Sjarbini, yang pernah menjadi Kepala Desa Lamaran pada 1967-1992.

Setelah Jepang hengkang, kawasan landasan udara itu diambil alih oleh Angkatan Udara. Menurut Sjarbini, ketika itu penduduk sempat protes. Namun, kemudian warga dan TNI sepakat untuk membagi lahan. Tanah seluas 630 hektare bebas digarap penduduk—hingga kemudian menjadi perkampungan—dan sisanya dibiarkan menjadi landasan udara. Eratnya hubungan tentara dengan rakyat ketika itu menjadikan problem pemilikan untuk sementara dilupakan.

Baru pada tahun 1980-an, TNI AU mengungkit soal pemilikan ini. Pada 1984, menurut Kepala Desa Lamaran, Ny. Sukabah, sejumlah girik penduduk diminta oleh Komandan Lanud Gorda, yang ketika itu dijabat Mayor Suryadi, untuk dijadikan sertifikat. "Tapi hingga kini, girik-girik tersebut belum juga dikembalikan," kata Sukabah. Belakangan, Angkatan Udara melalui Komandan Detasemen Angkatan Udara Gorda saat ini, Mayor Suhadi, mengklaim tanah itu adalah milik TNI AU.

Persoalannya, klaim ini bukan tidak punya buntut. Selain menancapkan papan pengumuman tanda penguasaan lahan, Angkatan Udara, menurut keterangan beberapa penduduk, juga kerap meneror warga. Permohonan penduduk agar desa mereka dialiri listrik kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak dituruti lembaga itu karena dilarang aparat Angkatan Udara. Seorang warga yang membangun rumah di lahannya dihardik aparat. "Siapa nanti yang akan mengganti rumah ini," kata Sukabah, menirukan Mayor Suhadi. Warga juga mengaku ditakut-takuti dan diminta segera mengosongkan lahan mereka.

Karena tensi darah yang sudah membubung itulah, penduduk kehilangan kesabaran. Perintah Camat Carenang agar penduduk tidak main hakim sendiri tidak digubris. Apalagi, sebelumnya penduduk sudah pula mengadukan masalah ini ke DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tapi hasilnya tak ada. Walhasil, "pemberontakan" petani itu akhirnya pecah tanpa bisa dicegah.

TNI Angkatan Udara membantah telah mencaplok lahan penduduk. Menurut Suhadi, sedari awal tanah itu adalah milik instansinya. Dasarnya adalah surat keterangan Kepala Staf Angkatan Perang Indonesia tahun 1950 soal pengambilalihan aset Angkatan Udara Jepang oleh TNI AU dan surat edaran Menteri Dalam Negeri tahun 1953 tentang hak pemerintah untuk memiliki tanah peninggalan Jepang dan Belanda.

Suhadi pada November 1997 bahkan berhasil menyertifikatkan 642,4 hektare lahan tersebut yang dasarnya adalah kesepakatan antara TNI AU, bupati, dan lurah desa. Ia mengaku tidak tahu-menahu bahwa ada komandan lanud sebelumnya yang memaksa penduduk menyerahkan girik milik mereka.

Suhadi bahkan memastikan, penduduk sebetulnya telah menerima ganti rugi pengambilalihan tanah dari pemerintah Jepang. Dasarnya adalah surat edaran Menteri Dalam Negeri tahun 1953 tadi. Dalam surat itu, menteri menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan lagi membayar ganti rugi terhadap lahan yang diambil Angkatan Udara karena sudah ada konpensasi dari Jepang. Meski dibantah penduduk, bukti pemilikan versi TNI AU inilah yang dipercaya oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Serang. Dengan bukti-bukti itu, posisi tawar penduduk dalam kasus ini menjadi lemah. "Masyarakat mengalami kesulitan ketika akan menggugat karena bukti-bukti pendukungnya kurang kuat," kata Sukabah. Itulah sebabnya warga tidak menutup pintu dialog dengan TNI. Tapi, seperti diakui Sukabah, ajakan itu selalu ditampik TNI AU.

Persoalannya, mengapa baru akhir-akhir ini TNI getol mempersoalkan hak pemilikan lahan mereka itu? TNI ternyata punya niat lain terhadap Lanud Gorda. Mereka ingin menjadikan Gorda sebagai kawasan industri. Menurut Suhadi, rencana ini sudah disetujui Bupati Serang dan Presiden Abdurrahman Wahid. Jika mulus, kawasan itu bakal disulap menjadi kompleks industri yang gemerlap.

Saat ini pemerintah daerah sedang menyusun perencanaan awal. "Gambar sudah ada, tapi belum bisa dikerjakan karena analisis mengenai dampak lingkungan dan surat pengaturan irigasi dan pembuangan limbah belum keluar," kata Suhadi. Kendala lain adalah persoalan penduduk yang belum mau pindah itu tadi.

Menurut rencana, TNI AU, melalui Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau), akan dilibatkan dalam proyek besar ini. Bentuk kerja samanya belum jelas. Tapi Suhadi memastikan bahwa TNI AU tidak akan menjual tanah di kawasan itu kepada investor. Kemungkinan besar bentuk kerja samanya adalah tukar guling. "Kemungkinan kerja samanya fifty-fifty. TNI AU kebagian, pemerintah dan pihak swastanya juga dapat," katanya. Rencana bisnis TNI Angkatan Udara ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Penerangan Landasan Udara Halim Perdanakusuma—instansi yang terkait langsung dengan Lanud Gorda—Mayor Yulias Rasyid.

Meski soal investor itu belum dipastikan pemerintah, Suhadi yakin proyek bisa jalan. Menurut dia, pemerintah akan memasukkan investor dari Vatikan, sebagai hasil dari kunjungan Presiden Abdurrahman ke negara itu beberapa waktu lalu. Untuk sementara, penggarapan pembangunan awal diserahkan kepada PT Mustika Logan, sebuah perusahaan yang kerap menjadi partner bisnis Induk Koperasi Angkatan Udara. Suhadi juga membantah akan mengusir penduduk. Jika rencana industrialisasi itu terlaksana, katanya, permukiman penduduk akan ditata dan penduduk yang cakap direkrut sebagai pekerja. Rencana industrialisasi itu dibenarkan pula oleh Direktur Utama Mustika Logan, Martono. Soal kapan realisasi proyek besar itu, Martono mengaku belum tahu.

Di luar soal bisnis TNI AU itu, guru besar hukum pertanahan Universitas Gadjah Mada, Maria S.W. Sumardjono, menyayangkan sikap TNI AU yang main klaim atas tanah di kawasan landasan udara tersebut. Jika pun benar secara hukum TNI memiliki tanah tersebut, bagaimanapun TNI telah membiarkan penduduk tinggal dan mencari nafkah di tanah itu. "Kewajiban pemilik tanah bukan cuma menguasai tanah itu, tapi juga menjaga agar tidak dimanfaatkan orang lain," katanya. Itulah sebabnya Maria berpendapat persoalan ini hendaknya bisa diselesaikan dengan mendialogkan petani dan Angkatan Udara. Bagaimanapun, petani Carenang telah puluhan tahun menggarap lahan tersebut. Jika mentok, mestinya masalah ini dijernihkan dulu melalui mekanisme pengadilan. Soalnya, jika dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian, persoalan ini bukan tidak mungkin akan membesar. Harap maklum, kasus tanah selalu rawan, apalagi jika menyangkut TNI. Pencangkulan tanah yang terjadi pekan lalu itu telah membuktikannya.

Arif Zulkifli, Rommy Fibri, Edy Budiyarso

Sengketa Tanah TNI vs Rakyat

Kasus LokasiPihak yang BersengketaLuas Tanah (ha)Keterangan
Cileunyi (1997)Bandung – Jawa BaratPetani vs Keluarga Cendana dan TNI AD3001.000 KK petani menolak ganti rugi tanah ruilslag kompleks SCAPA TNI-AD karena dinilai terlalu murah
Raci (1995)Pasuruan – Jawa TimurWarga - TNI AU2000TNI-AU dan rakyat sama-sama mengklaim tanah milik mereka
GratiPasuruan – Jawa TimurWarga -TNI ALRibuanTanah rakyat dibebaskan dengan alasan untuk lahan latihan TNI AL
Sukorejo (1988)Jember – Jawa TimurTNI AD354Tanah sengketa disewakan oleh Pusat Koperasi TNI Angkatan Darat (Puskopad), Kodim, dan Batalyon 527
KunirLumajang –Jawa Timur Warga - TNI ADPuluhan-
HarjokuncaranMalang –Jawa Timur TNI AD400Rebutan tanah antara Warga Harjokuncaran dan Puskopad Kodam V/ Brawijaya
NyamilBlitar –Jawa TimurTNI ADPuluhan
PonggokBlitar –Jawa TimurTNI AU36Tanah penduduk yang dikuasai TNI AU berupa lapangan terbang disewakan TNI untuk lahan pertanian
NyunyurBlitar –Jawa TimurWarga - TNI AD100-
Sunggal Medan –Sumatra Utara Warga - TNI AD166,5-
Tanjungbulan (1988)Ogan Komering Ulu – Sumatra SelatanWarga - TNI AD12.000Warga 18 desa terancam terusir karena di tanah yang mereka tempati dibangun permukiman milik Kodam TNI AD
MartobaP. Siantar- Sumatra UtaraWarga - TNI AD54Sengketa tanah antara Korem 022/Pantai Timur dan Kodam I/Bukit Barisan
Percut Percut, Deliserdang - Sumatra UtaraWarga – PTP N II - TNI AD1.236Sengketa tanah milik Kesultanan Deli
TuntunganPancurbatu – Sumatra UtaraWarga - PT Pertani - TNI AD1.000Sengketa tanah bekas perkebunan milik Kodam I/Bukit Barisan

Dari berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum