TERNYATA Golkar masih bisa bermain apik di pentas teater politik nasional. Mesin Orde Baru yang tadinya tak mau disebut partai ini baru saja menyelenggarakan rapat pimpinan, suatu institusi di bawah musyawarah nasional. Pernyataan politiknya pun berbau reformis. Selain berani secara terbuka menilai kinerja pemerintahan Presiden Abdurarhman Wahid—yang menurut Golkar gagal membawa bangsa ini keluar dari berbagai krisis—Golkar menyatakan siap untuk menjadi oposisi. Apakah ini berarti Golkar akan menarik kadernya dari kabinet belum ada penjelasan resmi. Sikap yang disampaikan para petinggi Golkar masih simpang-siur: ada yang mengartikan bahwa Golkar harus keluar dari kabinet, tetapi ada yang menyerahkan semuanya itu kepada Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung.
Rapim ini, memang, kemenangan besar untuk ''kubu" Akbar Tandjung. Munas Golkar mendatang pun bisa pula digeser waktunya setelah Pemilu 2004. Bahkan sampai ada yang bilang, ''kubu" dalam Golkar sudah tak ada lagi. Juga sudah dikubur dalam-dalam apa yang disebut Golkar putih dan Golkar hitam. Mereka kompak mendukung Akbar Tandjung, salah satu elite politik kunci, yang menjabat Ketua DPR. Sosok Akbar, yang disebut-sebut politisi paling piawai dari sederet politisi saat ini, ibarat aktor ulung yang ditempa pengalaman panjang. Ia tahu kapan saatnya bicara, kapan menahan emosi, dan kapan melakukan kritik.
Dan Akbar melakukan kritik itu saat pembukaan rapim, yang bukan saja membuat gerah pemerintah, tetapi juga membuat tak enak para ketua yang lain, sebutlah misalnya Marzuki Darusman. Mungkin itu karena Marzuki, yang kini Jaksa Agung, tergolong ''pemerintah".
Apakah Golkar—dan terutama Akbar Tandjung—betul-betul reformis? Memang bagus kalau begitu adanya. Namun, kalau kritik Golkar berhenti pada keluhan tentang krisis yang belum berakhir, agaknya kita harus memberikan cermin kepada Golkar. Ia harus mengaca, melihat ke belakang, siapa yang punya andil menyebabkan bangsa ini terjebak pada krisis multidimensi. Golkar harus mengakui secara jujur, jaket kuningnya itulah yang membuat bangsa ini terpuruk.
Nah, kalau itu disadari Golkar—dan kita wajib mengingatkannya—bantulah pemerintah mengusut korupsi, kolusi, nepotisme, ikut menciptakan pemerintah yang bersih, menegakkan supremasi hukum, dan sebagainya. Itu adalah cita-cita reformasi, dan seberapa nyaringkah suara Golkar dalam kasus ini?
Orang meragukan niat baik Golkar dalam memberikan kritik, apalagi menempatkan dirinya dalam barisan oposisi, jika ia masih melindungi birokrasi dan para pengusaha di masa rezim Orde Baru yang bernuansa KKN, yang sampai saat ini belum juga tersentuh hukum. Golkar tidak menggunakan hak interpelasi untuk kasus Bank Bali atau untuk membuat pemerintah menjelaskan kenapa para koruptor belum ada yang diadili, misalnya. Atau, interpelasi soal kerawanan di daerah-daerah. Jadi, rakyat masih harus diberikan bukti oleh Golkar kalau ia mau disebut reformis. Adakah Golkar hanya memanfaatkan panggung, di kala tokoh-tokoh reformis saat ini tampak cerai-berai?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini