API itu menjilat dan melumat bendera kuning bergambar pohon beringin. Puluhan pemuda mengelilinginya sambil meneriakkan yel-yel, ''Golkar reformis gadungan" dan ''Bubarkan Golkar." Peristiwa itu terjadi di halaman parkir gedung Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Kamis pekan lalu. Sebelum dibubarkan polisi, para demonstran mencoba membakar apa saja yang bergambar Golkar.
Dalam waktu yang bersamaan, di dalam gedung JHCC yang sejuk, ratusan pemimpin Partai Golkar sedang sibuk bersidang. Mereka terlihat tidak peduli dengan aktivitas para demonstran itu. Perdebatan demi perdebatan berlangsung seru. Dan hasilnya? Tak kurang dari 11 pernyataan politik dikeluarkan partai itu ketika rapat ditutup pada 18 Juli lalu.
Sebagian besar pernyataan itu berisi kritik tajam untuk pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kabinet Abdurrahman, kata Golkar, telah gagal membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi. Lebih jauh, gaya kepemimpinan kepala pemerintahan yang tidak konsisten telah menghambat penyelesaian krisis. Dan lebih dari itu, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menghinggapi pemerintah.
Melihat berbagai kondisi seperti itu, Partai Golkar siap berada di luar pemerintahan sebagai partai oposisi. ''Golkar tidak ragu untuk bersikap kritis dan korektif dalam menyikapi perkembangan keadaan dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara," kata Akbar Tandjung, sang Ketua Umum.
Golkar telah benar-benar berubah? Tidak mudah orang percaya. Setidaknya puluhan pemuda yang berunjuk rasa itu menunjukkan bahwa masyarakat masih sulit melupakan ''dosa" partai yang pernah menguasai Republik selama puluhan tahun itu. Golkar lupa bahwa praktek korupsi yang terjadi saat ini adalah warisan pemerintahan di masa lalu, ketika Golkar menjadi partai-semi-tunggal seperti partai-partai komunis di Eropa Timur.
Wajar jika timbul tuduhan bahwa pernyataan politik itu tak lebih dari sekadar upaya Golkar membersihkan noda yang pernah melekat di badannya. ''Ini upaya agar mendapat dukungan masyarakat dan cap partai reformis," kata pengamat politik asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris.
Keinginan menjadi oposisi, menurut Syamsuddin, hanya akan konsisten jika Partai Golkar mau menarik menterinya di kabinet. Saat ini ada tiga kader Golkar yang duduk dalam kabinet Abdurrahman Wahid, yakni Mahadi Sinambela (Menteri Pemuda dan Olahraga), Bomer Pasaribu (Menteri Tenaga Kerja), dan Marzuki Darusman (Jaksa Agung). Jika ingin lebih konsisten, Golkar juga tak perlu membela Jusuf Kalla, yang dipecat Presiden.
Selain itu, keinginan menjaga jarak dengan pemerintah bisa dianggap sebagai taktik ''dagang sapi" belaka. ''Pernyataan siap menjadi oposisi merupakan show of force bahwa Golkar tidak boleh diremehkan," kata Syamsuddin. Dengan ''pameran otot" itu, bukan tak mungkin Golkar justru sedang menekan Presiden Abdurrahman untuk lebih banyak memakai orangnya.
Apa pun motifnya, Abdurrahman memang tak bisa menyepelekan Golkar—partai masa silam tapi masih memperoleh tempat yang cukup terhormat di kalangan publik pemilih (Golkar menempati posisi kedua, setelah PDI Perjuangan, dalam perolehan suara pemilu lalu). Golkar juga bisa merepotkannya. Hak interpelasi yang pekan silam meluncur itu dipromotori oleh sebagian politisi Golkar.
Kekecewaan umum anggota dewan terhadap jawaban Abdurrahman dalam interpelasi bahkan memberikan peluang lebih besar kepada Golkar. ''Golkar mempunyai alasan kuat menjatuhkan Gus Dur untuk menyelamatkan diri dari kejahatan politik di masa lalu," kata Syamsuddin.
Beberapa pengurus teras partai berwarna kuning ini menolak tudingan itu. ''Janganlah maksud baik kami ditanggapi negatif begitu," kata salah satu Ketua Golkar, Agung Laksono. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Rully Chairul Azwar, pernyataan siap menjadi oposisi adalah bentuk mawas diri Golkar. ''Usaha ini untuk meredam tuduhan bahwa yang berada di belakang konspirasi politik menggulingkan Gus Dur adalah Golkar," ujarnya.
Di sisi lain, keputusan itu tidak sepenuhnya didukung semua elite Golkar. Marzuki Darusman, yang juga bagian dari pemerintah, menganggap sikap kritis itu sebagai retorika politik saja. Ketika didesak apakah ia bersedia mundur jika partai menariknya, "Saya tidak mau berandai-andai karena keputusan menjadi oposisi belum resmi," kata Marzuki.
Jawaban itu punya arti ganda. Golkar tidak kompak atau memang itu sekadar gertak sambal?
Johan Budi S.P., Andari Karina Anom, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini