SEBUAH barak di kompleks Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, "diduduki" sejumlah pemuda berseragam biru laut. Tapi pemiliknya diam saja. Lho? Soalnya, pemuda-pemuda yang "menyerbu" sejak Rabu pekan silam itu bukan kelompok pengacau, tetapi atlet-atlet nasional yang disiapkan untuk Turnamen Tinju Piala Presiden, Februari depan. Mengapa petinju-petinju itu harus ditempatkan di markas Kopassus? "Disiplin atlet merupakan persoalan utama yang perlu ditingkatkan," alasan Ketua Umum Pertina, Letjen. Sahala Rajagukguk. Itu sebabnya, sekitar 33 petinju terpilih tersebut perlu diperkenalkan dengan disiplin asrama militer. Mereka, misalnya, tak diperkenankan mengeluyur ke luar kompleks tanpa izin pelatih, sekalipun di waktu senggang, kecuali Minggu. Mereka juga harus mencuci pakaian sendiri. Dan pukul 22.00 lampu-lampu kamar sudah dipadamkan. Program latihan yang disusun sembilan pelatih juga agak lain dibandingkan pelatnas di masa lalu. Pukul 05.00 para petinju sudah harus bangur, dan siap menjalani latihan fisik selama hampir tiga jam. Siangnya, kepada mereka diberikan pelajaran teknik di kelas. Sorenya, latihan fisik lagi, yang dikombinasikan dengan teknik bertinju di ring. Lalu, malamnya, mereka mendapat wejangan tentang kekurangan mereka. Ternyata, tak semua petinju yang disiapkan itu tahan dengan iklim disiplin tentara. Belum seminggu dilatih di Cijantung, sudah banyak yang merasa tak betah. Bahkan Didik Hartanto (kelas bantam) dan Pujo Ardianto (kelas terbang) langsung angkat kaki dari pelatnas. "Saya sendiri sempat kaget dengan suasana baru itu," ujar Adrianus Taroreh, yang sudah berulang kali masuk pelatnas. Sepeninggal Didik dan Pujo, mereka yang masih bertahan lalu mengajukan protes kepada Sahala, dan minta pelatnas dikembalikan ke suasana seperti di Senayan. "Saya tidak menuntut kalian jadi tentara. Tapi kalian perlu dilatih disiplin," jawab Sahala. Ia menambahkan pengurus Pertina tak akan surut dari rencana yang ditetapkan. Pemilihan kompleks Kopassus sebagai tempat pelatnas, menurut Pelatih Paruhum Siregar, tak lain untuk meningkatkan semangat tempur atlet-atlet tersebut. Bukankah di Senayan semangat juang dan ketahanan fisik para petinju itu juga bisa ditingkatkan? "Saya keberatan kalau pelatnas diadakan di Senayan. Soalnya, di sana anak-anak gampang keluyuran. Bagaimana mungkin ketahanan fisik mereka ditingkatkan," tambah Paruhum. Di sekitar Senayan memang terdapat kompleks pertokoan dan tempat hiburan lainnya, termasuk panti pijat. Ketahanan fisik atlet-atlet kita -- dalam hasil pengamatan Paruhum pada Kejuaraan Tinju Nasional maupun Turnamen Sarung Tinju Emas tahun lalu -- cuma tahan untuk dua ronde pertandingan. Padahal, mereka harus bermain tiga ronde. Itu sebabnya, sasaran utama untuk petinju-petinju terpilih itu lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan fisik. Dengan persiapan yang terhitung mepet waktunya, terpaksa mereka dilatih ekstrakeras, dan itu hanya dimungkinkan kalau mereka dimasukkan di asrama tentara. Tapi, menurut bekas juara nasional Syamsul Anwar, latihan ala militer itu justru tak cocok bila waktu untuk persiapan tersedia singkat. "Petinju bisa syok karena tak ada waktu untuk adaptasi," katanya. Ia menambahkan bahwa sistem pelatnas yang diterapkan sekarang justru ideal untuk pembinaan jangka panjang. "Misalnya, untuk persiapan Olimpiade 1992," ujarnya. Yang mengagetkan para petinju ternyata tak cuma perkara pemberlakuan disiplin yang ketat. Tapi juga soal makanan. Di Cijantung, kata Petinju Liston Siregar, telur dijatah, susu tak ada. Ini meragukan bila, menurut sumber TEMPO di Pertina, biaya Pelatnas sekitar Rp 100 juta. AKS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini