JIKA magrib datang, para atlet Indonesia di perkampungan atlet Senayan, Jakarta, pun memulai pertarungan mereka melawan nyamuk. "Walau sudah disemprot, tetap saja banyak," keluh Dominggus Lutrun, 22 tahun, pelari 800 m. Sebetulnya, sejak Minggu ketiga Agustus, Satgas Pelatnas Senayan sudah menyemprot seluruh perkampungan dua kali seminggu. Nyatanya, nyamuk tetap saja mendengung di telinga penghuni Pelatnas. "Tengah malam saya sering terjaga dan memukul nyamuk. Tidur terganggu," kata atlet lain yang tak bersedia disebut namanya. Kalaupun serangga nakal itu bisa diusir dengan obat nyamuk yang mereka beli dengan uang sendiri, ada lagi musuh lain. Udara panas musim kemarau betul-betul menyiksa jagoan-jagoan yang akan ditampilkan di gelanggang SEA Games mulai Rabu pekan ini. Satgas memang sudah melengkapi tiap kamar di perkampungan yang besarnya 3 x 3 meter itu dengan kipas angin sejak dua bulan lalu, tapi banyak yang cuma jadi pajangan. "Kalau dipakai terlalu lama, kita bisa masuk angin," kata Helena Musila, 22 tahun, pelari 10.000 meter. Selain nyamuk dan panas, menu makanan dikritik oleh banyak atlet. "Kurang mengundang selera," kata pemain taekwondo, Lamting. Menurut atlet selancar angin, Miki Sampelan, makanan yang dihidangkan selalu kebanyakan sambal. Susu cuma diberikan sekali-sekali. "Saya kira, gizinya kurang. Berat badan saya merosot dari 58 kg menjadi 55 kg, karena makanan itu," kata Miki serius. Mestinya keluhan-keluhan seperti itu tak terdengar, mengingat biaya yang dikeluarkan KONI untuk mempersiapkan kontingen Indonesia kali ini begitu besar: Rp 5,3 milyar. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari biaya yang dipergunakan untuk mempersiapkan 300-an atlet ke Bangkok dua tahun yang lalu, Rp 3 milyar. Atlet kita harus tinggal di Senayan, sedang para atlet tamu menginap di kamar ber-AC di Hotel Indonesia (Muangthai dan Filipina), Kartika Plaza (Malaysia), President (Brunei), Sahid Jaya (Malaysia dan Singapura), Jayakarta Tower (Singapura), dan Kartika Chandra (Burma). Dalam SEA Games 1985 di Bangkok, kontingen Muangthai, sebagai tuan rumah, tinggal di Hotel Asia Bangkok. Hotel itu sama bagusnya dengan tempat pemondokan para tamu, malah lebih dekat dengan kompleks olah raga Hua Mark, tempat pertandingan banyak cabang olah raga SEA Games. Dengan mengantungi 93 medali emas, tuan rumah mempecundangi Indonesia, yang cuma mampu mengumpulkan 62 emas. Memang, tak semua atlet merasa dianaktirikan dengan kondisi seperti itu. "Namanya juga tuan rumah, ya harus menghargai tamu. Saya dari daerah, di sana serba kekurangan. Jadi, fasilitas seperti ini bagi kami sudah baik," kata Helena Musila asal Ambon itu. Sama halnya dengan Dominggus Lutrun, atlet asal Jayapura, "Saya hanya menerima kebijaksanaan. Ditempatkan di mana saja, mau diberi uang saku berapa saja, saya terima." Julius Uwe, pemegang medali emas dasalomba SEA Games Bangkok, juga tak peduli. "Yang penting sekarang saya siap bertanding," katanya. "Raksasa" Asia Tenggara itu tidur di atas dua kasur yang dilipatnya menjadi satu di perkampungan Senayan. Di kamar sempit itu cuma ada sebuah lemari pakaian. Di dinding bertempelan gambar-gambar bintang film. Keluhan itu tak dibantah Mohammad Sarengat, Sekjen KONI. Itu, katanya, karena biaya makanan yang kecil, cuma Rp 7. 500/hari/atlet. "Dari dulu kami mengusulkan Rp 10.000 tapi baru belakangan disetujui," katanya. Untuk mempersiapkan kontingen Indonesia, semula KONI mengusulkan kepada Menpora biaya sebesar Rp 6,7 milyar. Jumlah itu di kantor Menpora dan Departemen Sosial diperkecil (semua dana itu dari Porkas) menjadi tinggal Rp 4,5 milyar, karena dianggap terlalu besar. Baru 15 Agustus yang lalu datang suntikan tambahan untuk KONI sejumlah Rp 800 juta. Jatah makanan atlet yang semula Rp 7.500 dinaikkan menjadi Rp 10.000, dan uang saku yang semula Rp 50.000 menjadi Rp 85.000 sebulan. Kenaikan anggaran makanan itu membawa perubahan pada menu atlet. "Susu, yang biasanya kita sediakan 60 liter sehari, sekarang jadi 100 liter. Buah-buahan selalu ada, dan kami juga menyediakan sari buah, " kata Untung Sugiarto, pimpinan PT Diamond Catering, salah satu perusahaan yang menyediakan makanan atlet Indonesia. Perusahaan itu melayani 193 atlet tinju, atletik, tenis meja, dan beberapa cabang lainnya. Minarni, bekas ratu bulu tangkis Indonesia, yang melayani katering (jasa boga) 62 atlet bulu tangkis, tenis, dan softball, setelah kenaikan harga juga menyediakan berbagai makanan ekstra seperti kolak atau bubur kacang hijau. "Soalnya ada saja atlet yang berlatih lebih berat, sehingga kebutuhannya berbeda," katanya. Artinya, peningkatan harga yang mereka terima dari KONI berarti peningkatan gizi. Tapi itu datangnya begitu terlambat. Padahal, Pelatnas sudah dimulai Januari 1987. Bukankah berarti selama ini atlet Indonesia dipersiapkan dengan makanan yang kurang memadai? Apalagi Marryna Catering, yang menyediakan makanan untuk 230 atlet menembak, taekwondo, karate, renang, dan beberapa cabang lainnya, entah mengapa mengaku kepada TEMPO bahwa sampai sekarang mereka masih menyediakan makanan seharga Rp 7.500, karena kenaikan Rp 10.000 itu katanya baru diberlakukan mulai 15 September. Peralatan yang digunakan untuk berlatih banyak pula yang merana. Lihatlah pendekar-pendekar silat Indonesia yang berlatih di perkampungan Senayan. Dua sansak yang ada di ruang latihan semua sudah bertambal dan mengeluarkan debu serbuk gergaji setiap ditinju atau ditendang. Miki Sampelan juga terpaksa berlatih dengan papan jenis Mistral sisa PON XI tahun lalu. Padahal, dalam pertandingan selancar angin di SEA Games sudah ditentukan papan yang dipakai jenis Cobra 350 buatan Muangthai, dengan lisensi Jerman Barat. Ciri dua jenis alat yang berbeda tentu pula tak sama. "Kami baru dua minggu pakai alat itu. Jelas, dalam penguasaan alat, atlet Muangthai lebih siap," katanya mengeluh. Bagaimana dengan tempat pemondokan yang berbeda? Menurut Hendarsin, wakil pimpinan kontingen Indonesia, ketentuan umum menyebutkan, semua peserta SEA Games ditempatkan di hotel. "Tapi kita melihat tinggal di perkampungan Senayan lebih praktis, " kata Hendarsin, yang juga wakil komandan Satgas Pelatnas. Selain itu, tentu maksudnya bisa menghemat, karena OC mengalami pembengkakan anggaran oleh meledaknya jumlah peserta. "Belum lagi OC harus menanggung semua tamu VIP dari induk organisasi olah raga dunia seperti IMF (atletik) dan AIBA (tinju)," kata Sarengat. Walaupun begitu, tampaknya kali ini Indonesia akan mampu menjadi juara umum. Apalagi Menpora Abdul Gafur menjanjikan hadiah Rp 1 juta untuk tiap atlet yang meraih medali emas. Meski ada sabotase dari nyamuk. Amran Nasution, Laporan Rudy Novrianto & Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini