TRI WAHYUNI MEREKA berteriak, meloncat, menerjang dan memukul. "Syaat. . . syaat. . .!". Di bawah sinar neon yang agak redup -- karena banyak bola lampu yang sudah putus -- 15 pesilat yang berlatih di Senayan itu tampak sangat bersemangat. Keringat mengucur. Napas pun ngos-ngosan. Tri Wahyuni, 23 tahun, pesilat putri teladan 1986, menyeka keringat sembari terbatuk-batuk setelah hampir dua jam berlatih. "Saya kena flu sejak kemarin," ujarnya. Seragam hitamnya basah kuyup. Putri pensiunan kapten polisi yang Desember lalu lulus dan IKIP Malang itu berkata, "Saya berusaha menyumbangkan medali emas. Tadi Pak Presiden sudah berpesan agar kita jadi juara umum." Juara umum. Telah berbulan-bulan kata itu dipompakan dan dijejalkan dalam telinga dan otak para atlet dan pembina olah raga kita. Nama baik, gengsi, dan sederet alasan lain dijejerkan demi pencapaian gelar tersebut -- yang terlepas ke tangan Muangthai dua tahun silam dalan SEA Games di Bangkok. Maka, dana pun diupayakan. Otot digenjot, keringat diperah, dan otak diputar agar gelar kebanggaan itu bisa direbut kembali. Di halaman belakang Istana Merdeka, Kamis siang pekan lalu, pesan serupa juga disampaikan Presiden Soeharto. Ia mengharapkan agar kontingen Indonesia -- yang terdiri dari 586 atlet dan 114 ofisial berusaha menjadi tuan rumah yang baik dalam SEA Games 9 - 20 September ini. "Tunjukkan prestasi semaksimal mungkin sehingga predikat juara umum bisa kembali ke Indonesia," kata Kepala Negara. Harapan itu sebenarnya tak berlebihan, apalagi kalau diingat atlet Indonesia akan bertarung di kampung sendiri. Selain itu, inilah kontingen dengan jumlah atlet terbanyak di antara delapan negara peserta. (Malaysia cuma mengirimkan 322 atlet, Singapura 338, Muangthai 371, Burma 109, Filipina 303, Brunei 127, dan Kamboja 26). Ini juga jumlah terbesar yang pernah dikirim Indonesia ke SEA Games. Untuk mempersiapkan atlet ini sejak Desember lalu dihabiskan dana Rp 4,8 milyar. Semuanya berasal dari sumbangan Porkas. Hanya Indonesia satu-satunya peserta yang bertanding di 27 cabang olah raga yang dipertarungkan dalam pesta ini. Ini berarti tuan rumah memiliki kans mengumpulkan medali lebih besar dibandingkan peserta lain yang absen pada cabang-cabang tertentu. Muangthai sebagai juara umum SEA Games 1985 dan rival terberat, misalnya, akan absen di cabang angggar (memperebutkan 8 medali), gulat (20 medali), dan softball (2 medali). Meski ikut bertanding, peluang mereka juga tipis di beberapa cabang lain, umpamanya di cabang pencak silat (15 medali), angkat besi dan binaraga (36). Tak salah kalau wakil Sekjen Komite Olimpiade Muangthai, Nat Indrapana, mengeluh kepada TEMPO di Bangkok, "Belum bertanding kami sudah kehilangan 66 medali emas." Cabang-cabang itu justru boleh disebut sebagai tambang emas tuan rumah. Coba lihat pencak silat. Menjelang SEA Games, Indonesia bukannya kasak-kusuk mengintip kekuatan lawan sebagaimana lazimnya, melainkan mengirimkan pelatih untuk membantu mengajar dan mempersiapkan pesilat Brunei dan Muangthai. Sejak kekalahan di Bangkok dua tahun yang lalu, KONI memang berupaya memasukkan berbagai cabang baru ke dalam pesta olah raga ini. Berhasil. Cabang baru itu, selain pencak silat, adalah anggar, gulat, karate, taekwondo, golf, hoki, dan bilyar. Berbagai cabang lain juga diperluas seperti lari 5.000 meter putri di cabang atletik. "Katakanlah itu merupakan trick, tapi itu 'kan disepakati negara peserta lainnya. Jadi, kita tidak licik," kata Sekjen KONI Pusat, Mohammad Sarengat. Akibatnya, dulu di Bangkok dipertandingkan 18 cabang, kini jadi 27. Jumlah medali melonjak dan 253 menjadi 377 (dari jumlah itu Indonesia menargetkan 160 emas). Pacuan pun makin sengit. Artinya, seperti dikatakan Nat Indrapana, "Setiap kontingen harus mengirimkan dan melatih lebih banyak atlet dengan lebih banyak biaya. Padahal, ada negara peserta yang merasa dana itu masih lebih baik digunakan untuk proyek-proyek pembangunan." Dalam mempersiapkan kontingennya ke Jakarta, Muangthai mengeluarkan Rp 900-an juta, atau 20% dan yang dikeluarkan Indonesia. Bila dibagi rata, untuk mempersiapkan kontingennya, Indonesia menghabiskan biaya sekitar Rp 8 juta per atlet, jauh lebih mahal dari Muangthai yang cuma Rp 2, 4 juta per atlet. Tapi bukankah semua itu untuk prestise dan kebanggaan nasional?. Syaat. . . ! JULIUS UWE "Kalau kondisi saya seperti sekarang ini, emas sudah pasti di tangan." Postur tubuhnya kekar dan tegap (178 senti, 85 kilo). Kulitnya hitam. Inikah manusia terkuat di kawasan Asia Tenggara? Boleh jadi. Julius Uwe, 22 tahun, atlet serba bisa kelahiran Merauke, Irian Jaya, pernah menyandang gelar itu tatkala ia meraih medali emas Dasalomba pada SEA Games 1985 di Bangkok. Pekan ini, di Jakarta, ia ingin meraih lagi julukan tadi. Tekadnya kuat. Dan menang di Jakarta bukan puncak yang ingin diraihnya. "Beri waktu saya dua tahun lagi, saya pasti bisa bersaing dengan atlet Asia lainnya," kata Ullis, panggilan akrab Julius Uwe, pekan lalu. Dunia atletik mulai dijejaknya sewaktu duduk di bangku Sekolah Guru Olah Raga di Jayapura, 1982. Berkat pengarahan guru sekaligus pelatihnya hingga kini, Dedi Ririmase, Ullis mulai berlatih lompat jangkit. Tapi tidak lama. Anak keempat dari delapan bersaudara ini kemudian dianjurkan menekuni dasalomba, 1983. Hasilnya: setahun kemudian dalam Kejurnas Atletik 1984 di Jakarta, Ullis mampu menumbangkan rekor nasional yang telah berumur 19 tahun atas nama Abdul Rab Khan dengan nilai 6.294. Lebih tinggi 50 angka dan rekor sebelumnya. Prestasinya terus menanjak. Dalam Kejuaraan Asia Juli lalu di Singapura, penggemar musik rock ini bisa mempertajam rekornas atas namanya sendiri menjadi 6.964. Namun, ia cuma menempati urutan ke-4, di bawah atlet Cina dan Taiwan. Di SEA Games di Jakarta sekarang ini ia diharapkan bisa menembus angka 7.000. "Bukannya sombong, kalau kondisi saya seperti sekarang ini, emas sudah pasti di tangan," katanya tegas. Saingan terdekatnya atlet dari Muangthai, Thavorn Phanrueng, perebut medali perak dalam SEA Games di Bangkok. Bila Rabu pekan ini dalam upacara pembukaan SEA Games Julius Uwe berlari sebagai pembawa obor, medali emas, bendera merah putih dikerek dan Indonesia Raya dinyanyikan, membayang dalam benaknya. "Saya sangat bangga bisa terpilih untuk tugas ini," ujar sebongkah otot dari Merauke ini. MIKI SAMPELAN "Kondisi saya sudah kembali. Peluang saya untuk menang fifty-fifty." MUNGKINKAH peselancar angin Miki Sampelan meraih medali emas seperti pada SEA Games lalu di Bangkok? "Seharusnya, saya menang di sini," ujar anak Kawanua yang lahir di Cirebon pada 1967 itu. Untuk memastikan itu, berminggu-minggu ia berlatih keras di Pantai Ancol. Sekitar 3 jam sehari ia berpanas-panas di Teluk Jakarta itu. Meski terik matahari, angin, dan air laut biasa menerpanya, kali ini Miki harus berlatih ekstrakeras. Ia merasa tertinggal dari teman-temannya, karena baru berlatih sekitar dua setengah bulan, sementara yang lain sejak April silam. Soalnya, ia dikirim ayahnya untuk belajar bahasa Inggris di Australia. "Di sana saya hanya sempat latihan seminggu sekali," kata Miki. Panggilan SEA Games ternyata lebih menariknya. "Studi sementara saya tunda dulu," kata pemuda dengan potongan rambut mirip penyanyi Rod Stewart ini. Berkat ngotot berlatih itu, ia masuk tim inti, dan akan turun di kelas Cobra 350. Prestasi Miki cukup hebat: selain medali emas di SEA Games Bangkok, pada 1985 ia juga menjadi juara I kelas ringan Piala Dunia Siam di Pantai Pattaya, Muangthai. Di kelas Cobra 350 itu, lawan tangguhnya sudah menunggu: Anan Hosuan dari Muangthai, juara I Piala Dunia Siam 1986. Miki, yang meraih gelar itu tahun sebelumnya, terseok di urutan ke-11. Di SEA Games 1985, Miki tak sempat menjajal Anan yang turun di kelas lain. "Kondisi saya sudah kembali. Sekarang tergantung siapa yang lebih siap nanti," tutur Miki pekan lalu. Rambutnya basah, butir-butir air masih menempel di badannya yang tegap tinggi 163 cm dan berat 55 kg. Papan selancar itu tampaknya menjadi hambatan baginya. Ia baru berlatih sekitar dua minggu dengan papan Cobra 350 itu. Di SEA Games lalu, dipakai papan jenis Cobra King. Padahal, papan Cobra 350 buatan Muangthai. "Peluang saya menang dari Anan, ya, fifty-fifty. Kalau penguasaan medan saya menang, tapi kalau soal board dia yang menang." LAMTING "Saya siap tempur, nasib yang menentukan." SORE itu dia menelungkup dengan dada telanjang di atas kasur. Kulitnya putih, tubuhnya atletis. Tinggi 1,85 m dan berat 75 kg. Otot-ototnya menonjol. Keras. Namun, badan perkasa tersebut hari itu sedang geroki. "Biasa, badan saya mudah masuk angin. Obatnya tak perlu ke dokter. Cukup dikerok," ujar Lamting, 23 tahun. "Tapi akan lebih segar setelah latihan nanti." Lamting adalah pemegang medali perak kelas welter taekwondo Asian Games di Seoul, September 1986. Namanya mencelat naik bersama tim taekwondo Indonesia di pesta olah raga Asia itu karena cabang olah raga yang semula tak diperhitungkan tersebut ternyata berhasil menyabet tiga perak dan satu perunggu. Muangthai cuma dapat dua perunggu. Melihat prestasi itu, KONI, sebagai tuan rumah, memperjuangkan agar taekwondo bisa dipertandingkan di SEA Games Jakarta. Lobbying dilakukan. Ternyata semua anggota sepakat. Maka, jadilah cabang olah raga bela diri yang menjanjikan 14 medali emas ini salah satu harapan tambang emas buat kontingen tuan rumah, bersama pencak silat. Namun, tak ada beban untuk menyapu bersih semua medali emas. Sasarannya cukupan: delapan medali emas. Bagaimana peluangmu Ting? "Saya siap tempur, nasib yang menentukan," kata mahasiswa sebuah akademi di Bandung itu. Nadanya optimistis, seperti tidak sedang masuk angin. Jalur-jalur merah di punggungnya terlihat semakin merah. RICKY YACUB GOL-gol akan segera lahir di Stadion Utama Senayan. Siapa yang paling piawai mencetak gol? Andalan Indonesia Ricky Yacob, bintang Malaysia Zaenal Abidin atau jagoan Muangthai Pyapong Peuon? "Saya kira Zaenal paling berbahaya," ujar Ricky Yacob, 4 tahun, striker klub Galatama Arseto Solo. Tapi ia menganggap saingan terberat kali ini adalah Muangthai. Di SEA Games Bangkok, Indonesia (tanpa Ricky Yacob) digasak tuan rumah dengan angka telak, 0-7. Menurut ayah satu anak ini -- ia menikah dengan ratu loncat indah Harly Ramayani -- tim Indonesia sekarang lebih siap. Ricky yang cukup kekar (174 cm dan 67 kg) agaknya menjanjikan sebuah harapan: semoga kita tak dipermalukan lagi. SUZANA ANGGARKUSUMA DAN YAYUK BASUKI SIAPA yang pernah menduga, Yayuk, putri asal Demangan Kidul, Yogyakarta, ini bisa menempati peringkat keempat tenis yunior versi Federasi Tenis Internasional (ITF)? Ia bahkan juga satu-satunya pemain Asia yang mampu masuk perempat final Kejuaraan Yunior Wimbledon 1987. Namun, Yayuk Basuki, 17 tahun, yang mempunyai prestasi akbar itu, tetap merendah. "Saya masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan yang senior," tutur pelajar kelas II jurusan IPS pada SMA Ragunan ini. Buat Yayuk, lebih baik menduduki peringkat 300-an di tingkat senior ketimbang peringkat 4 di yunior. Saat ini di tingkat senior Yayuk, yang tampak kekar (tinggi 163 cm, berat 57 kg), menempati peringkat ke-478 dunia. Yayuk dan andalan Indonesia lainnya, Suzana Anggarkusuma, 24 tahun, diharapkan mampu menyumbangkan medali emas lebih banyak dibandingkan dengan emas dari nomor beregu, tunggal, dan ganda campuran pada SEA Games 1985 di Bangkok. "Maunya, sih, lebih. Tapi musuhnya 'kan sudah siap-siap juga. Jadi, kami tidak menargetkan apa-apa. Kita lihat saja nanti," kata Suzana, pasangan Yayuk dalam meraih medali emas ganda putri Asian Games X di Seoul, 1986. ELFIRA ROSA NASUTION SETIAP pagi ia bangun pukul 04.00. Satu jam kemudian ia sudah sampai di kolam renang Tepian Ratu, sekitar 5 km dari rumahnya, di Jambi. Setelah berlatih satu setengah jam, ia pun bergegas memakai seragam sekolah, dan berangkat dengan rambut yang masih basah. "Saban pagi, saya dan Maya hanya sempat sarapan di mobil," tuturnya. Maya, sang aDIK, juga mulai mencuat prestasinya. Latihan keras itu tidak percuma. Beberapa tahun terakhir ini Elfie, 17 tahun, bagai sulit menemukan lawan di negeri sendiri. Beberapa rekor nasional tercatat atas namanya. Tapi di arena SEA Games -- tiga sudah diikutinya -- ia selalu tersandung. Di Filipina, 1981, ia memang masih terlalu muda. Di Singapura, 1983, ia tergeser oleh Junie Sng, primadona tuan rumah yang sedang naik daun. Sedangkan di Bangkok, 1985, Elfie harus mengakui keunggulan Nurul Huda, perenang Malaysia yang tiga tahun lebih muda, dan kini juga datang ke Jakarta. Sanggupkah Elfie membalas kekalahannya? MARDI ERA Purnomo agaknya sudah mendekati garis finish. Nomor sprine 100 dan 200 meter tampaknya tak lagi dimonopoli pemuda asal Ajibarang, Purwokerto, itu. Andalan di nomor ini sekarang sudah beralih ke Mardi, peraih medali emas 200 m pada Kejurnas Atletik 1986. Tinggi 165 cm, berat 60 kg, Mardi, menurut pelatih Bambang Wahyudi, "memiliki frekuensi langkah yang bagus dan cepat. Itu kelebihannya dari Purnomo." Kendati harus bersaing keras dengan Haron Mundir (Singapura) dan Summet Proma (Muangthai), pada SEA Games Jakarta kali ini Mardi tampaknya sanggup meraih medali. Ia turun untuk nomor 100 m dan 4 x 100 m. Coba tengok prestasinya. Dimulai dengan menjuarai lomba lari 17 Agustus-an, dua tahun lalu, di kampungnya, Binjai (Sum-Ut) -- 12 detik untuk 100 m, tanpa alas kaki. Lalu loncat 11,02 detik untuk nomor yang sama pada Kejuaraan Pelajar ASEAN 1986. Masih tahun itu, Desember, kejuaraan Yunior Asia memberinya sebuah perunggu. Waktunya 10,53 detik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini