LAGAK lagu gadis itu tomboi. Ia sendiri mengaku tak punya persediaan rok. Sewaktu masih bocah, ia, yang tumbuh di antara enam saudara laki-lakinya, memilih panjat pohon, sepak bola, dan main kelereng sebagai hobinya. Bisa dipastikan, kalau ia pulang, tubuhnya akan kotor berlepotan tanah. Gadis itu Irene Truijte Joseph—bisa disapa Iren—18 tahun. Bila Anda kebetulan bertemu dengannya, jangan heran melihat gaya berjalannya yang cenderung mengambil posisi kuda-kuda seperti pesilat tangguh. Tapi ia bukan pendekar. Ia sprinter nasional kita.
Iren berkulit sedikit gelap, khas penduduk Maluku. Tapi, di hari pertama SEA Games XX di Brunei Darussalam, ia adalah mutiara yang bersinar cemerlang bagi kontingen Indonesia, dengan merebut emas pada nomor 100 meter putri. Prestasi Iren adalah sejarah dunia olahraga nasional. Sebab, sepanjang 22 tahun keikutsertaan Indonesia, baru di Brunei nomor tersebut bisa direbut. "Sebetulnya, saya tidak punya target apa-apa," ujar Iren, mahasiswa tahun pertama Jurusan Administrasi Negara Universitas Dr. Moestopo.
Sayangnya, kegemilangan di hari pertama ini tak diikuti hari-hari selanjutnya. Pada 200 meter, Iren harus puas dengan perak. Demikian juga untuk nomor estafet 4 x 100 meter dan 4 x 400 meter. Tak berlebihan bila Iren seakan menjadi representasi kontingen Indonesia secara keseluruhan. Bukan saja target bersahaja—65 emas—yang dipatok Komite Olahraga Nasional Indonesia tak terpenuhi, posisi yang dicapai sampai saat-saat terakhir pun hanyalah peringkat ketiga, di bawah Thailand dan Malaysia.
Selain terpuruk di perolehan medali, pencapaian prestasi yang terukur pun kurang menggembirakan. Tanpa mengurangi penghargaan terhadap Iren, sebetulnya catatan waktunya yang 11,56 detik untuk 100 meter itu masih sangat jauh bila dibandingkan dengan rekor SEA Games, 11,26 detik, milik sprinter jelita asal Filipina, Lydia de Vega. Jangan pula membandingkannya dengan rekor dunia milik mendiang Florence Griffith Joyner, yakni 10,49 detik.
Namun, kegagalan pemecahan rekor tidak hanya milik Indonesia. Menurut situs resmi SEA Games XX, pemecahan rekor SEA Games hanya terjadi pada sepuluh nomor atletik. Bila dibandingkan dengan pemecahan rekor dua tahun lalu di Jakarta, angka ini tertinggal jauh. Di Jakarta, terjadi pemecahan 44 rekor SEA Games. Lima di antaranya bahkan tercatat sebagai rekor dunia. Cabang yang menyumbangkan prestasi dunia ini adalah angkat besi. Lifter putri Sri Indrayani, yang turun di kelas 46 kilogram, tercatat menumbangkan dua rekor dunia sekaligus. Sayang, cabang ini tak dipertandingkan di Brunei.
Sementara itu, pemecahan rekor atletik yang terjadi di Brunei masih jauh dari rekor Asia. Dari sepuluh rekor baru, Thailand mendominasi dengan tujuh rekor, sementara Indonesia, Malaysia, dan Singapura masing-masing kebagian satu.
Bintang Thailand di atletik tak lain adalah sprinter putra Reanchai Seehawong. Ia memecahkan rekor di tiga nomor, yaitu 100 meter, 200 meter, dan bersama rekan-rekannya pada 4 x 100 meter. Dengan prestasi tiga emas ini, Seehawong adalah atlet tersukses karena tingkat keberhasilannya 100 persen. Prestasi gemilang Seehawong sebelum event ini adalah meraih perak di Asian Games tahun lalu, di bawah Koji Ito dari Jepang. Ditilik dari perjalanannya, pemuda berusia 23 tahun ini tampaknya memang menunjukkan grafik yang meningkat. Masalahnya, pada awal karirnya, ia pernah terdepak dari tim nasional karena latihan yang seenaknya sehingga gagal berlaga di arena Olimpiade Atlanta 1996 dan SEA Games dua tahun lalu di Jakarta. Meskipun Seehawong layak disebut sebagai raja lintasan, catatan waktunya sebetulnya tak begitu istimewa. Rekor 10,26 detik untuk 100 meter miliknya masih kalah dengan rekor nasional Indonesia, 10,20 detik, yang dibukukan Mardi Lestari. Adapun rekor 100 meter putra Asia dipegang Koji Ito dengan 10,00 detik, sementara rekor dunia adalah 9,79 detik milik Maurice Greene dari Amerika Serikat.
Indonesia, sekalipun cuma kebagian satu rekor baru, boleh sedikit berbangga. Rekor 5,05 meter yang dicatat Nunung Jayadi pada loncat galah menjadikannya manusia Asia Tenggara pertama yang berhasil melampaui mistar lima meter. Rekor sebelumnya adalah 4,9 meter, milik Edward Lasquet dari Filipina, yang dibuat empat tahun lalu di Chiang Mai. Sebetulnya, dalam latihan, bujangan asli Jakarta ini sudah mampu melampaui mistar 5,20 meter. Namun, dalam pertandingan, Nunung yang kini 21 tahun ini tidak memaksakan diri karena hujan deras sedang mengguyur. Melihat usianya, bolehlah kita berharap kepada Nunung. Namun, ya itu, jangan bandingkan dengan rekor dunia, 6,06 meter, yang dipegang Sergei Bubka.
Dengan pemecahan yang hanya kecil-kecilan ini, sosok perenang nasional Richard Sam Bera, sekalipun tak memecahkan rekor, jadi lumayan menonjol. Richard, kini 29 tahun, ternyata masih berhasil meraih tiga medali emas—semuanya dalam gaya bebas, lewat nomor 100 meter, 50 meter, dan estafet 4 x 100 meter. Dengan tambahan medali itu, total emas yang telah diraih pemuda keturunan Manado ini sepanjang sepuluh tahun berlaga di SEA Games adalah 18 emas. Luar biasa. Nomor 100 meter gaya bebas memang spesialisasi sarjana ilmu politik lulusan Universitas Colorado, Amerika Serikat ini. Sejak 1989, nomor tersebut adalah miliknya, dengan perkecualian pada 1993 ketika ia hanya meraih perak. "Saya tak pernah meremehkan lawan," ujar Richard membagi kiat.
Bila dalam prestasi terukur sukan kali ini gagal memunculkan bintang, bagaimana dengan penyelenggaraannya? Ternyata setali tiga uang. Brunei memang tidak main curang, tapi protes di pelbagai cabang tak terukur—terutama cabang-cabang bela diri—deras mengalir. Bahkan, kesan "arisan medali" tak terhindarkan. Tentu saja kontingen Indonesia, yang paling banyak dirugikan, menjadi sewot.
Pelayanan panitia pun, terutama kepada wartawan, tak kurang menjengkelkan. Entah petugasnya tak paham cara kerja wartawan, entah mereka berlagak berdisiplin, tiap pukul 11 malam waktu setempat, para peliput diharuskan meninggalkan press center.
Bila sudah begini, yang paling bisa menghibur adalah menonton konser dangdut dari kelompok Bayu Utama Dangdut, yang didatangkan dari Indonesia. Setidaknya, dengan mendengarkan lagu Goyang Karawang dan melihat anggota keluarga kerajaan kegirangan dengan acara itu dan lantas membagi-bagikan uang kepada sejumlah pengunjung, kemasygulan sedikit terobati. Tapi, bukankah kita datang ke Brunei tidak untuk bergoyang?
Yusi A. Pareanom dan Wens Manggut (Bandar Seri Begawan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini