Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Golkar Belah, Golkar Bertangkup

Golkar adalah kendaraan politik yang ditumpangi secara oportunistis, yang hanya bisa berubah kalau penguasa sudah kalah.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah tepat memakai istilah pecah untuk Golkar? Apa yang jadi isu, seberapa dalam terbelahnya, siapa yang terlibat, dan apa ujung konsekuensi perpecahan, itulah yang sulit diterangkan dengan memuaskan. Ada gejala samar-samar, lalu menimbulkan dugaan, yang ditarik lagi jadi dugaan berikutnya. Sangkaan menjadi lebih keras akibat julukan "Golkar hitam" dan "Golkar putih" yang dilontarkan Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan dalam hubungan dengan pembongkaran skandal Bank Bali. Apakah karena sudah ada pertentangan yang berarti lalu Kwik memberi predikat hitam dan putih, atau dia menyebut demikian supaya perbedaan yang ada bisa menjadi lebih berarti? Wajar bila banyak yang berkepentingan perpecahan itu sungguh ada. Tapi, hanya karena diinginkan bukan lantas berarti hal itu nyata ada secara bermakna. Setelah sinyalemen Kwik, memang pertemuan Akbar Tandjung dan Megawati memperkuat dugaan adanya perubahan yang sedang meragi di Golkar. Hanya, Akbar yang superluwes itu tidak lupa mengingatkan bahwa calon presiden Golkar masih tetap Habibie. Jadi, apa artinya? Sepanjang riwayatnya, boleh dikatakan Golkar dipersatukan oleh faktor kepemimpinan mutlak Soeharto. Bahwa ada kubu ini dan itu yang silih berganti, itu lumrah dalam organisasi politik sebesar Golkar. Tetapi itu bukan pecah. Ia hanya bagai lompatan dari satu dahan untuk bergerombol di cabang lainnya di pohon beringin yang sama. Maklumlah, partai ini penuh dengan makhluk pencari oportunitas yang umumnya hanya terlatih bergantung ke atas saja. Setelah Soeharto tak berkuasa, apa pemersatunya? Mungkin persamaan kepentingan untuk bisa bergelayutan itulah yang mengikat para penghuni pohon itu untuk tinggal di habitat lamanya, selama daun beringin masih rindang. Pengalaman Munas Luar Biasa Golkar tahun silam bisa jadi contoh. Katanya Golkar akan diubah dari dalam, jadi lebih reformis, dan Edi Sudradjat, yang didukung oleh banyak purnawirawan jenderal, dicalonkan jadi ketua. Mungkin ini juga akan disebut sebagai Golkar putih, kalau istilah Kwik sudah dipakai saat itu. Nyatanya, mayoritas wakil dewan pimpinan daerah (DPD) berbalik mendukung Akbar Tandjung, yang menjagokan Habibie sebagai calon presiden. Walhasil, Edi dkk. terjatuh dari pohon, dan hanya jadi serpihan yang membentuk partai PKP, yang tak berarti dalam pemilu. Apakah money politics jadi penyebabnya, tidaklah terlalu relevan. Yang terang, afiliasi orang Golkar masih tetap kepada kekuasaan resmi, yang akhirnya berarti kedudukan dan uang juga. Perubahan yang berarti dalam Golkar hanya terjadi kalau kekuasaan yang mengayominya bisa digantikan lebih dulu. Dan ini bukan hasil pergulatan di dalam, melainkan akibat desakan dari luar, sebagaimana dulu terjadi dengan Soeharto. Jadi, agak berlebihan untuk berharap semacam Golkar putih akan berkekuatan efektif tanpa bantuan dari luar. Harap disadari, putih dan hitam bisa jadi hanya fiktif karena yang empiris pernah ada cuma "Golkar belang", yang bisa belah dan bertangkup lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus