Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Habis 'Stroke', Usus Berdarah

Soeharto kembali masuk rumah sakit. Pengacaranya tetap meminta pemeriksaan kasus korupsinya dihentikan.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIRINE meraung-raung. Ambulans berwarna hijau tentara menyeruak masuk ke teras rumah sakit. Dua jip Mercedes ikut mengawal. Pintu ambulans dibuka. Sosok tua itu, Jenderal Besar Soeharto, 78 tahun, tampak terbaring di atas tempat tidur dorong. Dua selang menancap di hidung, dihubungkan dengan tabung oksigen di atas kereta. Tubuhnya ditutup kain warna cerah. Wajahnya tenang. Matanya terpejam. Lima orang anaknya ikut mendampingi. Bekas penguasa Republik yang memerintah selama 32 tahun itu kini harus kembali masuk Rumah Sakit Pertamina Pusat, RSPP, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu pagi pekan lalu. Menurut Dr. H. Sudjono M., Kepala RSPP, dari hasil pemeriksaan medis, Soeharto dinyatakan menderita pendarahan usus. Tapi, secara keseluruhan, kondisi pasien istimewa ini bagus. Menurut Probosutedjo, pendarahan yang dialami kakaknya itu tinggal sedikit saja. Tommy, putra kesayangan Soeharto, bilang bahwa bapaknya tidak dioperasi untuk proses penyembuhan. "Dari kemarin Bapak sadar," katanya kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO. Di rumah sakit favorit Keluarga Cendana itulah, Soeharto, bulan lalu, sempat terbaring 10 hari akibat serangan stroke di otak kirinya. Seusai opname, ia berobat khusus di rumah, diawasi sekelompok dokter ahli. Selain menjalani fisioterapi, cara puasanya makin kenceng. "Bukan cuma Senin-Kamis, tapi malah kayak Nabi Daud, sehari makan, sehari buka," kata Anton Tabah, sekretaris pribadi Soeharto, kepada TEMPO. Seperti ketika dirawat bulan lalu, ia masuk ke kamar superkhusus 604—tarif seharinya Rp 500 ribu. Dua kamar sejenis di lantai yang sama, lantai enam, di-booking keluarga. Pengawal siaga penuh, kain dan tali dibentang agar tak mudah dilongok semua orang. Awal memburuknya kondisi bekas presiden ini terjadi pada pukul lima pagi. Ketika hendak salat subuh, ada darah yang keluar dari saluran pembuangannya. Semula gejala ini dianggap ambeien biasa. Tapi, setelah tim dokter pribadi memeriksa lebih teliti, mereka sepakat untuk membawa Soeharto ke rumah sakit. "Memang seperti ambeien, bukan pendarahan di usus seperti ramai diberitakan," kata Probosutedjo, adik tiri Soeharto, yang ikut membesuk dan bicara sebentar. Disodori hasil medis tim dokter, ihwal pendarahan usus itu, Probo mengelak bicara. Menurut Anton Tabah, sebetulnya sehari sebelum sakit, kesehatan atasannya cukup baik. "Bapak malah sempat guyon-guyon," ujar Anton. Lantas, dari mana datangnya pendarahan usus tadi? Tak ada jawaban pasti. Tapi, kabar yang paling kencang bertiup, kabarnya karena Soeharto gemar mengonsumsi obat-obatan dan ramuan Cina. Obat ini diduga diberikan putra-putrinya atas saran para pengusaha keturunan Cina yang banyak berhubungan dengan Keluarga Cendana. Konon, ada seorang sinse yang secara rutin mengobati Soeharto. Semula sinse ini ditolak oleh dr. Satya Negara, ketua tim dokter Soeharto. Ia akhirnya boleh membantu, tapi tugasnya cukup memijat Soeharto dengan cara refleksi. Tak lebih. Menurut sumber TEMPO, pemijatan ini cukup baik manfaatnya untuk pemulihan fisik bekas orang penting rezim Orde Baru itu. Tapi Anton membantah keras keterlibatan paranormal dalam penyembuhan Soeharto. "Dukun-dukun itu yang enggak bener. Mereka sudah saya usir dengan sangat kasar," ujar Anton. Sekalipun menurut tim dokter kondisi Soeharto tengah membaik, tak urung, susah dipastikan kapan ia boleh pulang. Akibatnya, pembicaraan mengenai dampak politiknya marak juga. Apalagi sampai kini Soeharto masih diincar aparat Kejaksaan Agung di Gedung Bundar. Ia berstatus "terperiksa", sehubungan dengan dugaan kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang selama berkuasa. Semua orang dekatnya sudah dimintai keterangan ihwal pengelolaan sejumlah yayasan yang ia pimpin. Segepok persoalan sang "profesor" itu akan menjadi beban berat bagi sang murid, Habibie, yang kini menjadi Presiden RI. Ketetapan MPR No. XI/1998 telah mengamanatkan agar segala bentuk penyelewengan dan korupsi dituntaskan, termasuk yang melibatkan Soeharto dan kroninya. Bagi Habibie, keberaniannya menghukum Soeharto ini merupakan salah satu tiket penting untuk bisa melenggang ke kursi kepresidenan mendatang. Habibie pun mencoba mencari terobosan soal pelik ini ketika bertemu sejumlah partai politik, dua pekan lalu. Di situ, muncul usulan Gus Dur soal peradilan fikih—dimaafkan, tapi hartanya dikembalikan buat rakyat—untuk Soeharto. Sedangkan pengacara Cendana, Juan Felix Tampubolon, sehubungan kondisi fisik kliennya, meminta agar proses hukum terhadap Soeharto dihentikan. Toh Pejabat Jaksa Agung Ismudjoko menyetop sementara kasus jenderal pensiunan bintang lima ini. Sebuah pilihan sulit untuk Habibie. WM, Yusi A. Pareanom, Arif A. Kuswardono, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus