SEJAK pagi, ribuan orang memenuhi lapangan di dekat Pelabuhan Udara Komoro, Dili, Sabtu pekan lalu. Kebanyakan mengenakan kaus oblong warna putih, ikat kepala merah-putih, dan melambai-lambaikan sang saka merah putih. Jika membaca tulisan "Otonomi, yes" di kaus oblongnya, siapa kelompok ini tentu jelas. Hari itu di bumi Timor Timur (Tim-Tim) adalah hari pertama kampanye penentuan nasib wilayah yang diakui Indonesia sebagai provinsi ke-27 itu. Dan 30 Agustus mendatang—jika jadwal ini tidak diundur lagi—sekitar 450 ribu warga Tim-Tim akan memutuskan: pilih tetap bergabung dengan RI atau merdeka.
"Otonomi adalah pilihan yang terbaik," teriak seorang wanita yang menghadiri kampanye tersebut. Suaranya bersahut-sahutan dengan keriuhan grup musik yang memeriahkan acara yang diselenggarakan oleh Front Bersama Pro-Otonomi, Barisan Rakyat Tim-Tim (BRTT), Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK), dan Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) itu. Selain diisi pidato-pidato dan musik, kampanye juga dilakukan dengan membagi-bagikan beras—tentu saja untuk mencari dukungan.
Jika kelompok prootonomi—artinya memilih otonomi luas di bawah RI—menikmati benar pesta kampanye, kelompok prokemerdekaan justru merasa banyak ranjau untuk pihaknya. Karena itu, David Ximenes, pimpinan kelompok Dewan Nasional Perlawanan Rakyat Timor (CNRT), yang prokemerdekaan, menyatakan tidak akan melakukan kampanye terbuka. Mereka memilih untuk melakukan kampanye dari rumah ke rumah saja. "Situasinya sulit buat kami," begitu alasan Ximenes. "Bukankah kami sudah melakukan kampanye selama 20 tahun?" kata Ximenes lagi.
Tekanan untuk yang prokemerdekaan memang terus terjadi. Selasa dan Rabu pekan lalu, contohnya, kantor sekretariat bersama Dewan Solidaritas Mahasiswa Tim-Tim (DSMTT) dan Ikatan Mahasiswa Pelajar Tim-Tim (Impettu)—kelompok prokemerdekaan—di Viqueque diserang kelompok Barisan Pro-Integrasi 59/75 Junior.
Akibatnya, tiga anak muda tewas—Mario Soares, 23 tahun, Carlos Sarmento, 22 tahun, dan Marcelino Soares, 21 tahun—dan kantor organisasi itu hancur berantakan. Empat orang lainnya luka-luka. Atas kejadian itu, juru bicara Komite untuk Jajak Pendapat, Anderito de Jesus Soares, menyesalkan sikap polisi RI, yang dinilainya berat sebelah dan tidak menjalankan kesepakatan Indonesia, Portugal, dan PBB yang dibuat Mei lalu. Indonesia dalam kesepakatan tripartit itu menjamin terselenggaranya keamanan selama proses jajak pendapat.
Soares mencatat bahwa kalau milisi prointegrasi melakukan kekerasan, polisi seperti membiarkan saja, tapi bersikap sebaliknya terhadap yang prokemerdekaan. Ketika terjadi aksi penyerangan terhadap kantor kelompok kemerdekaan beberapa waktu lalu, petugas kemanan langsung datang setelah serangan berlangsung.
Aksi serang-menyerang di antara kedua kelompok ini memang terus terjadi. Salah satu penyebabnya adalah belum disepakatinya perlucutan senjata. Bahkan pelaksanaan masa kampanye dan jajak pendapat sempat terancam karena soal ini. Pihak Falintil, sayap bersenjata CNRT, mengajukan syarat pembebasan Xanana oleh pemerintah RI jika ingin melucuti senjata mereka. Sedangkan pihak prointegrasi keberatan jika pihak Falintil tak melakukan hal yang sama dan mendesak pula penarikan pasukan TNI dan Polri. "Kami harus siap membela rakyat Tim-Tim jika sewaktu-waktu tentara ditarik," kata Hermenio da Silva da Costa, Kepala Staf Pasukan Pejuang Integrasi. Ia menjamin, jika senjata kelompok kemerdekaan sudah dilucuti, senjata kelompok prointegrasi dapat dilucuti dalam waktu 24 jam. Macetnya kesepakatan perlucutan senjata ini dianggap banyak kalangan bisa mengacaukan jajak pendapat nanti.
Sementara itu, dua kelompok ini sudah pula melaporkan kecurangan yang terjadi. Menteri Ali Alatas mengatakan, ada laporan yang mengatakan sekitar 600 warga Lisabon, Portugal, ikut mendaftar. Sebaliknya, kubu prokemerdekaan menuding ada sentralisasi kekuatan militer Indonesia di Nusa Tenggara Timur.
Waktu makin sempit, tapi urusan gawat rupanya masih segudang.
Rustam F. Mandayun, Hani Pudjiarti, dan Cyriakus Kiik (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini