Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jaring Narkotik dan Kekuasaan

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGAN narkotik itu seperti penyakit selesma, ia dapat menyerang siapa saja. Tak peduli keluarga kaya, miskin, swasta, negeri, bahkan juga TNI. Maka, bila sebuah operasi pemberantasan narkotik dan obat-obatan terlarang yang dilakukan aparat keamanan menjaring sejumlah orang dari berbagai kalangan, hal ini bukanlah sebuah perkara yang luar biasa untuk sebuah kota besar seperti Jakarta. Tapi, tertangkapnya Letnan Dua Agus Isrok dalam operasi "Kilat Jaya", Ahad subuh pekan lalu, apa boleh buat, tidak bisa dianggap sebagai soal biasa. Masalah utamanya bukan karena yang ditangkap adalah putra sulung seorang Kepala Staf TNI-AD—walaupun hal ini juga bukan soal sepele—melainkan karena ia dikabarkan tertangkap tangan memiliki 7.000 butir pil ekstasi, 4 kilogram shabu-shabu, setengah ons putaw, dan mengaku sebagai anggota pasukan elite Kopassus. Artinya, ada nuansa, yang tentu saja harus dibuktikan kebenarannya, bahwa pria bertubuh tinggi dan tegap ini merupakan mata rantai dari sebuah jaringan perdagangan narkotik yang telah sukses menyusupi organisasi ketentaraan. Jika kabar ini terbukti benar—karena kita tak boleh melupakan asas hukum praduga tak bersalah—perkara ini bisa menjadi indikator kuat suatu hal yang sangat mengkhawatirkan telah terjadi di republik ini. Yaitu telah munculnya cikal bakal kerja sama jaringan jahat yang melibatkan kekuasaan dan narkotik, yang di banyak negara lain terbukti sukses membajak proses demokratisasinya hingga gagal sampai di tujuan yang dicita-citakan. Sebab, yang muncul bukanlah pemerintahan bersih, efektif, dan peka terhadap aspirasi rakyatnya, melainkan sebuah rezim yang disusupi kumpulan boneka para bos narkotik, yang menggunakan kekuatan uang dan senjata untuk memanipulasi mekanisme demokrasi dalam memperoleh kekuasaan. Kekuatan uang dan senjata kelompok ini, yang untuk mudahnya kita sebut saja sebagai kelompok narko, tidak boleh dianggap enteng. Ambil contoh pengalaman negara Kolombia di Amerika Latin. Pemerintahnya mengalami beberapa kali jatuh bangun karena pengaruh langsung atau tidak langsung kartel narko negeri itu. Para pemberontak bersenjata di hutan-hutannya mempunyai kekuatan sekitar 20 ribu prajurit yang bersenjata lebih lengkap dari pasukan pemerintah karena dibiayai dana narko yang mencapai U$ 600 juta setiap tahun. Tanpa dukungan kuat AS, pemerintah Kolombia tak mungkin mampu bertahan melawan kelompok narko. Sebab, dengan berbagai bantuan militer maupun nonmiliter Washington pun, pertempuran dengan para pemberontak itu telah mengakibatkan 35 ribu orang tewas dalam sepuluh tahun. Atau bisa juga mengambil contoh dari pengalaman Rusia dalam era pasca-Uni Soviet. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penguasa bayangan di negara mantan adikuat ini adalah jaringan "Mafiya", yang melakukan berbagai kegiatannya dengan kesan kebal hukum. Berbagai tulisan hasil investigasi di media lokal maupun asing menyimpulkan bahwa anggota jaringan "Mafiya" ini tak lain dan tak bukan adalah para mantan anggota dinas keamanan rahasia dan pasukan khusus yang—tentu saja—menjalin hubungan erat dengan rekan-rekan satu korpsnya yang masih bertugas. Maka, jangan heran jika cukup banyak warga Rusia yang sebelumnya begitu antusias menyambut bergulirnya proses demokratisasi, kini merindukan masa lalu. Masa ketika suara rakyat dibungkam dan hak-hak politiknya dibelenggu, tapi juga memberikan rasa aman di jalanan dan kepastian pasokan roti (kendati untuk mendapatkannya harus antre dalam barisan panjang wajah-wajah kedinginan dan muram). Sungguh sebuah hal yang tidak kita harapkan kehadirannya di tanah air kita, yang pekan ini merayakan hari kemerdekaannya yang ke-54 itu. Tapi, tunggu dulu. Siapa saja tentu boleh mempertanyakan ketepatan analogi dengan Kolombia dan Rusia ini. Kalaupun merasa sudah tepat, masih dapat diperdebatkan seberapa besar kemungkinan hal yang terjadi di Kolombia dan Rusia ini akan terjadi pula di Indonesia. Namun, yang lebih tepat dan bermanfaat untuk diperdebatkan adalah: indikator apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk mencari tahu bahwa jaringan kelompok narko itu sudah menjadi hal yang perlu dicermati dengan serius. Sebab, kebanyakan kita tentu berdoa, dan berharap-harap cemas, bahwa dugaan mengkhawatirkan ini hanyalah hasil reka-reka pikiran mereka yang kelebihan energi, imaji, dan waktu saja. Kegiatan berdoa ini sah-sah saja, bahkan baik untuk dilakukan. Cuma, kecuali bagi mereka yang ditasbihkan sebagai nabi, umumnya kita tak pernah mendapatkan jawaban doa itu dalam bentuk yang langsung dan mudah dimengerti. Karena itu, yang dapat dilakukan setelah memohon kepada Tuhan adalah memperhatikan sejumlah kejadian sebagai indikator dan menganalisisnya dengan mempertimbangkan pengalaman yang terjadi di negeri-negeri lain. Salah satu indikator itu adalah apakah perkara ini akan diselesaikan sesuai dengan hukum. Juga, apakah prosesnya akan dilakukan secara transparan, atau banyak hal justru akan disamarkan dan pengadilan akan dijadikan panggung sandiwara belaka. Sandiwara yang bukan hanya akan memuakkan, melainkan juga akan menularkan benih-benih ketidakpercayaan kepada sistem hukum. Benih-benih yang, bila tidak ditangani dengan serius, akan tumbuh dan berkembang biak menjadi hukum rimba yang penuh kekerasan dan penindasan. Itulah. Pilihan boleh saja berada di tangan para penguasa, tapi ingat, rakyat punya mata dan telinga. Mereka sesekali memang dapat dibungkam atau dibutakan, tapi tidak mungkin untuk selamanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus