Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Panggung Dunia Putra Sukadana

Daud Yordan merupakan petinju Indonesia pertama yang menjadi juara di tiga kelas. Pindah ke kelas yang lebih berat menjadi bagian dari strategi memperpanjang kariernya.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Daud Yordan/TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Codet sepanjang tiga sentimeter memotong alis dan kelopak mata kiri Daud Yordan. Luka itu sisa pertarungannya dengan petinju Afrika Selatan, Michael Mokoena, 17 November lalu, yang masih terlihat. Lebam dan bengkak bekas pukulan di wajah petinju asal Sukadana, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, itu sudah lenyap. “Sudah biasa. Toh, sepadan dengan hasil yang saya dapat,” kata Daud, tertawa.

Menurut Daud, kemenangan di atas ring bisa membuatnya melupakan sakit setelah baku pukul. Kegembiraan merayakan kemenangan bersama para pelatih dan tim pendukungnya di atas ring adalah bayaran yang tak ternilai atas kerja keras selama berbulan-bulan. “Nikmat betul rasanya, Bro,” kata Daud kepada Tempo di Jakarta pada 1 Desember lalu.

Daud meraih gelar juara dunia di kelas ringan super (63,5 kilogram) versi Asosiasi Tinju Internasional (IBA) dan Organisasi Tinju Dunia (WBO) Oriental dengan mengalahkan Mokoena di arena Jatim Park 3, Kota Batu, Jawa Timur. Petinju 32 tahun itu dinyatakan menang technical knock-out setelah Mokoena tak bisa bertinju di ronde kedelapan gara-gara cedera di bahu kiri.

Para petinju, menurut Daud, dituntut untuk menyiapkan diri, baik fisik maupun mental, sebelum bertarung. Daud tak tahu apa pemicu cedera bahu Mokoena. Kemungkinannya hanya dua: bahu Mokoena kena tinju atau teknik memukulnya keliru. Yang jelas, kata Daud, cedera parah seperti yang dialami Mokoena sangat jarang terjadi di atas ring. “Itu kerugian besar buat Mokoena,” ujarnya.

Menyadari kejanggalan gerakan lawannya, Daud tak langsung menyerbu. Dia memilih mengulur waktu menunggu daya tahan Mokoena rontok. Pasalnya, masih tersisa lima ronde dan itu durasi yang sangat panjang di atas ring. Pengalaman bertanding membuatnya lebih tenang. “Kalau Daud yang dulu pasti langsung menyerang habis-habisan dan bisa jadi hasilnya beda.”

Kemenangan di Kota Batu menjadikan Daud sebagai petinju Indonesia pertama yang menjadi juara dunia di tiga kelas. Daud merebut gelar juara dunia di kelas bulu (57 kilogram) versi Organisasi Tinju Internasional (IBO) pada 2012. Saat itu, dia petinju Indonesia kelima yang namanya terpatri sebagai juara dunia, setelah Ellyas Pical, Nico Thomas, Chris John, dan M. Rachman.

Tak sampai setahun setelah itu, Daud memutuskan pindah ke kelas ringan (61 kilogram). Daud berhasil mendapatkan sabuk juara IBO dalam debutnya di kelas ini dengan menaklukkan Daniel Brizuela dari Argentina di Metro City, Australia, pada Juli 2013. “Datang dari pelosok Kalimantan, dulu tak pernah membayangkan punya prestasi seperti sekarang,” ucap Daud, yang bernaung di manajemen tinju Mahkota Promotions.

Daud langsung bersiap menjalani program latihan untuk 2020. Menurut Chief Executive Officer Mahkota Promotions Gustiantira Alandy, Daud akan menjalani setidaknya tiga laga wajib pada 2020. Laga pertama dijadwalkan berlangsung pada Maret di Singapura. “Untuk lawan, masih dibicarakan,” ujarnya.

Gustiantira mengatakan ada kemungkinan melibatkan Daud dalam pertandingan campuran tinju dan tarung bebas (mixed martial arts/MMA). Pertandingan seperti ini pernah dilakukan petinju Floyd Mayweather dan atlet MMA, Conor McGregor, pada 2017. “Ide ini bisa menarik penonton dan kami terbuka jika ada tawaran bagus,” tutur Gustiantira. “Tapi prioritas untuk Daud adalah tinju.”

Daud Yordan dalam laga bertajuk “Road to the World Champions” di Balai Sarbini, Jakarta, Februari 2016./ Dok TEMPO/Dhemas Reviyanto

 

Daud Yordan

» Tempat dan tanggal lahir: Ketapang, 10 Juni 1987

» Tinggi: 170 cm

» Jangkauan tinju: 173 cm

» Gaya bertinju: Ortodoks

» Kelas: Bulu, ringan, ringan super

Rekor pertandingan

Menang 40 (28 KO)

Kalah 4

Seri -

 

Daud mengenal dunia tinju dari abangnya, Damianus Yordan, di Sasana Ketapang Tanjung Pura. Usianya baru enam tahun kala itu. Rutinitas latihan memukul samsak mengantar putra pasangan petani karet Hermanus Tjun Lay dan Nathalia itu ke dunia tinju amatir. Dia menang dalam Kejuaraan Nasional Junior 2004.

Dengan bantuan Damianus sebagai pelatih, Daud akhirnya terjun ke dunia tinju profesional. Pertandingan perdananya berlangsung di Gelar Tinju Profesional Indosiar pada Agustus 2005. Lawannya, Anshori Anhar Pitulay, langsung tumbang di ronde pertama.

Sejak saat itu, nama Daud meroket. Dia tak terkalahkan dalam 23 pertandingan beruntun, termasuk saat melawan petinju Meksiko, Antonio Meza, di MGM Grand, Las Vegas, Amerika Serikat. Daud adalah petinju Indonesia pertama yang menang di kota kiblat tinju dunia itu. “Berkat tinju, saya bisa ke mana-mana,” kata Daud, yang pernah bertanding di Singapura, Thailand, Australia, Uruguay, Inggris, dan Rusia.

Daud juga petinju Indonesia pertama yang menandatangani kontrak dengan Golden Boy Promotions milik mantan juara dunia, Oscar De La Hoya. Selama sebulan dia berlatih di sana. Daud juga diajak Craig Christian, pelatih yang pernah menangani Chris John, mengasah tinjunya di Harry’s Gym, Australia. Namun Daud akhirnya memilih bertahan dengan tim lamanya.

Menurut Pino Bahari, pelatih yang mendampinginya di sisi ring saat menghadapi Mokoena, Daud tahu betul apa yang dia inginkan. Berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, Daud bertekad mengubah nasibnya lewat tinju. Memenangi pertandingan, apalagi kejuaraan tingkat dunia, bakal berdampak besar pada kontrak kerja dan pendapatannya. “Dia berdisiplin dan tahu latihan keras itu adalah untuk dirinya sendiri,” kata Pino, yang meraih medali emas tinju kelas menengah di Asian Games 1990.

Keuntungan lain yang dimiliki Daud, menurut Pino, adalah restu dari keluarga besarnya. Istri Daud, Angela Megaria Panuda, pun mendukungnya meski tak selalu menonton langsung setiap kali suaminya naik ring. “Kondisi seperti itu jelas membantu karier Daud sebagai petinju,” ujar Pino.

Daud menyebut dukungan keluarganya sebagai keberuntungan besar. Pasalnya, ia kerap meninggalkan istri dan putra kecilnya untuk berlatih dan bertanding. Karena itu, ketika pulang ke Sukadana setelah menjalani pertandingan, Daud lebih suka menghabiskan waktu dengan keluarga. “Antar anak sekolah tiap pagi, baru lanjut lihat gym dan sasana,” kata Daud, yang juga mengelola Sasana Tinju Daud Yordan Boxing.

Melewati usia 32 tahun dan menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di dunia tinju, Daud belum memikirkan pensiun. Ia bermimpi mengejar kemenangan-kemenangan lain di atas ring. Apalagi dia baru dua kali bertarung di kelas ringan super. “Saya sudah kenyang dianggap remeh sebagai petinju, makanya saya mau membuktikan masih bisa berprestasi lagi,” ujarnya.

Daud mengatakan sering mendengar anggapan yang menyebutkan prestasi petinju melorot setelah melewati usia 30 tahun atau setelah berkeluarga. Menurut Daud, petinju masih bisa berprestasi bahkan ketika berusia lebih dari 35 tahun. “Lihat saja prestasi Floyd Mayweather dan Manny Pacquiao. George Foreman bahkan masih bisa menjadi juara dunia di usia 45 tahun,” tuturnya.

Daud tak merasa khawatir terhadap penilaian bahwa kariernya selesai ketika dia melewati usia 30 tahun. Ia berhasil mematahkan penilaian itu dengan menjadi juara di kelas ringan super. “Usia itu sekadar angka,” kata Daud. “Para petinju berumur itu harus pandai mengatur latihan dan pertandingannya.”

Menyesuaikan pola latihan dan kelas bertanding, menurut Daud, bisa membantunya mempertahankan kebugaran tubuh dan kualitas bertinju. Ia menjalani sejumlah program khusus dalam latihan dan persiapan bertanding. Selain mengasah teknik memukul, berlari sejauh lebih dari 15 kilometer dan angkat beban menjadi santapannya sehari-hari. “Sekitar 75 persen latihan pagi hari itu untuk fisik. Sisanya urusan teknik. Kalau malam, porsinya dibalik,” ujarnya.

Daud juga rutin menonton video pertandingan tinju. Dia memiliki lebih dari seribu rekaman pertandingan tinju di seluruh dunia yang disimpan dalam harddisk. Koleksi film dokumenter tinju pun dilahapnya. “Saya mencintai tinju dan menonton tinju membantu saya menganalisis karakter setiap petinju,” katanya.

Pindah kelas bertanding juga menjadi solusi yang diambil Daud. Ketika petinju menua, bobot tubuh akan bertambah. Massa dan kualitas otot pun berubah. Dengan kondisi itu, menurut Daud, akan sulit bagi petinju untuk bertahan mati-matian di kelas yang sama, sementara lawan baru bermunculan. “Jelas lebih muda, bugar, otot bagus, dan cepat,” ujarnya.

Berat badan normal Daud selama ini sekitar 70 kilogram. Cukup mudah baginya untuk mengurangi bobot 7 kilogram agar bisa masuk ke kelas ringan super. Meski bisa masuk ke kelas-kelas yang lebih berat, Daud memilih bertahan. “Selisih beratnya cuma sedikit, risiko lebih besar karena tidak terbiasa bermain di kelas yang lebih berat,” katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus