Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ketika Badan Mengingat

Otak dan badan berkomunikasi satu sama lain. Apa yang dilupakan oleh otak akan diingat oleh badan.

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sesi pengajaran Buteyko Breathing di Jeda Wellnest, Jakarta, Mei 2019./ TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya ingin menjaga kesehatan badan, Aditya Hidayat justru mengingat hal yang telah puluhan tahun ia lupakan. Kejadian yang ia alami saat masih bocah mendadak muncul seperti rekaman di kepalanya.

Aditya, 29 tahun, berlatih teknik pernapasan Buteyko sejak Juni lalu. Saat sesi menahan diri untuk tidak bernapas, ia berhenti menghirup udara sampai dua menit. Sebenarnya gurunya tak menyarankan berhenti selama itu. Setelah berhari-hari berlatih, badan Aditya menjadi panas dan lemas. “Saya sampai enggak bisa turun dari tempat tidur,” kata pria yang akrab disapa Adit itu, Sabtu, 9 November lalu.

Setelah itu, ingatan masa kecilnya seolah-olah berloncatan di otaknya. Adit melihat dirinya yang berusia sekitar empat tahun berkali-kali dimarahi, dicubit, dan dikatai bodoh oleh orang tuanya. Dia juga menyaksikan Aditya kecil yang tak diberi kesempatan mengungkapkan apa yang ia inginkan, rasakan, dan pikirkan. Orang tuanya mau Aditya kanak-kanak berperilaku seperti yang mereka inginkan. “Sebelumnya, saya enggak pernah ingat kejadian itu,” tutur pengusaha katering yang tinggal di Jakarta Selatan itu.

Nurul—sebut saja demikian—punya kisah berbeda. Ia belajar meditasi meng-amati badan dua bulan lalu. Gurunya mengajarkan bersemadi sambil memperhatikan bagian per bagian raga, dari kepala, turun ke leher, dada, sampai ke kaki, lalu kembali ke arah kepala.

Saat perhatian Nurul menjelajahi dada, otaknya tiba-tiba memutarkan rekaman ingatan ketika ia memergoki suaminya sedang bersama wanita selingkuhannya, lima tahun lalu. Putaran memori itu membuat jantungnya berdegup kencang, napasnya sesak, air mata mengucur, dan badannya lemas. “Sudah saya maafkan kejadian itu bertahun-tahun lalu. Kenapa ingatan ini muncul lagi?” ucap Nurul, 37 tahun, lalu sesenggukan.

Lintasan ingatan masa lalu seperti ini tak hanya dialami Aditya dan Nurul. Praktisi kesehatan holistik Reza Gunawan mengatakan hal semacam itu lumrah terjadi pada para pasiennya. “Kadang memori biasa yang muncul, kadang memori traumatis,” tuturnya.

Penulis dari Amerika Serikat, Diana Raab, dalam Psychology Today menulis ingatan tubuh seperti ini belum banyak dibicarakan. “Sebagian besar peneliti setuju ada hubungan antara pikiran dan tubuh, dan beberapa di antara mereka mengatakan apa yang dilupakan oleh pikiran, diingat oleh tubuh,” ujar penulis buku Healing with Words: A Writer’s Cancer Journey tersebut.

Ketika Badan Mengingat

Raab berkisah tentang seorang laki-laki yang terbangun dengan perut sakit dan kepala berkabut setiap 2 Juni. Pola ini terjadi terus setiap tahun. Pria itu perlu waktu mendeteksi kondisi berulang tersebut. Namun kemudian ia ingat pada 2 Juni bertahun-tahun sebelumnya ayahnya divonis menderita kanker. Si lelaki telah lupa pada momen tersebut, tapi tubuhnya belum melepaskan ingatan itu.

Otak dan tubuh berkomunikasi dan  saling mempengaruhi. Keduanya berfungsi bersama dan saling bergantung.

Dokter spesialis saraf Yuda Turana mencontohkan, saat berbicara dengan seseorang, dengan melihat mimik wajah dan bahasa tubuh, kita tahu apakah seseorang itu marah atau tidak tanpa orang tersebut mengungkapkan kemarahannya secara terang-terangan.

Sebab, saat marah, sel otot di muka dan badannya menegang, detak jantung, hormon sekresi, serta zat yang dilepaskan otak pun akan mengikuti apa yang dirasa. Memori ini, kata Yuda, bukan sesuatu yang disebut dengan ingat dan lupa. “Bahkan ketika kita refleks mengerem mobil pun bukan karena kita berpikir dulu, tapi karena memori. Setiap bagian tubuh kita bisa mengingat berbagai peristiwa,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, tersebut.

Menurut Yuda, otak dan tubuh akan menyimpan memori tersebut dan mempertimbangkannya menjadi memori yang bakal dilupakan atau dipertahankan. Makin emosional memori, ia akan disimpan lebih dalam oleh otak. Sebaliknya, kian tak emosional kenangan, otak akan menyimpannya di permukaan yang mudah dilupakan. Sedangkan memori yang memiliki kenangan positif akan tersimpan di antara keduanya.

Karena posisi penyimpanan ini, menurut Yuda, orang tua yang menderita alzheimer alias pikun cenderung berperilaku buruk. Sebab, lama-lama ingatan yang tersisa adalah kenangan negatif.

Memori itu juga bisa kembali diingat ketika ada pemicu. Yuda menyebutnya sebagai jangkar. Misalnya gambar ombak yang mengingatkan penyintas tsunami pada peristiwa tsunami yang dialaminya. Atau pada Aditya Hidayat, yakni kepanikan tubuhnya saat kekurangan oksigen memicu munculnya memori ketakutan masa kecil karena dibentak orang tuanya.

Ingatan-ingatan negatif yang terpendam tersebut, kata Reza Gunawan, kebanyakan tertimbun lantaran selama ini kita terbiasa memproses emosi yang muncul bersama memori. Biasanya, karena emosi yang muncul tak enak—seperti marah, sedih, dan jijik—kita berusaha melupakan kejadian tersebut atau berusaha kuat menghadapinya. Padahal cara ini tak efektif. Selain emosi yang sebenarnya tak selesai, “Sering kali cara itu hanya memindahkan stres yang ada di level sadar pindah menjadi sampah batin bawah sadar.”

Menurut Reza, trauma, stres, atau emosi yang tersimpan dalam bawah sadar itu bisa berefek panjang, baik pada kesehatan (seperti psikosomatis dan penyakit kronis degeneratif), kualitas hubungan dengan orang lain, pekerjaan, produktivitas, rezeki, kepribadian, maupun nasib. “Banyak bentuk kepribadian dan pola kepribadian yang perlahan-lahan terbentuk dari sampah batin yang tidak dicerna dan diproses dengan tuntas,” ujarnya.

Seperti Aditya yang tumbuh menjadi anak minder serta gampang galau dan marah. Sikap ini terbawa sampai ia dewasa. “Saya mudah tersinggung oleh teman,” katanya.

Diana Raab juga menuliskan banyak penelitian penyakit tertentu yang terkait dengan kepribadian tertentu. Misalnya herpes sering disamakan dengan kesepian.

Untuk membereskan trauma ataupun emosi negatif yang menempel pada memori, ada beberapa cara teknik self healing yang bisa dilakukan, seperti Tension and Trauma Releasing Exercises, Tapas Acupressure Technique, dan meditasi mengamati badan. “Saya selalu menyarankan teman-teman untuk belajar self healing,” ucap Reza.

NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus