Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sahabat sampai kiamat.
Itulah yang muncul di kepala saya ketika mendengar berita Jeihan Sukmantoro meninggalkan kita untuk selama-lamanya beberapa waktu lalu. Frasa itu juga yang sering kami ucapkan setiap kali kami ketemu, terutama setelah kami menyadari sudah sama-sama tua dan “tinggal menghitung hari”. Saya pernah menuliskannya di selembar kertas yang kemudian ditempelkan di dinding ruang depan studionya di Padasuka. Keluarganya tahu benar tentang persahabatan kami dan sering mengatakan bahwa Han—begitu saya memanggilnya—muncul semangatnya kalau saya datang ke studio atau rumahnya. Mungkin saja yang disampaikan itu “basa-basi”, tapi saya menerimanya sebagai penanda hubungan kami—seperti yang dirasakan keluarganya.
Kami bersahabat sejak duduk di sekolah menengah atas di Solo dan terakhir saya bertemu dengannya ketika ia berpameran di Museum MACAN beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan terakhir itulah ia mengungkapkan keadaan kesehatannya dan dengan jelas disampaikannya bahwa ia sudah ikhlas meninggalkan kita. Kami paham apa makna keluar-masuk rumah sakit; saya memahami sepenuhnya apa yang dirasakan dan dibayangkannya ketika ia mengatakan perihal keikhlasan itu.
Kami “bertemu” pada 1957. Ketika itu, Han menjadi redaktur majalah dinding dan saya sering menulis puisi di situ. Han adalah sosok yang sangat populer di antara rekan-rekan kami, terutama tentu saja karena ia seorang pelukis yang tidak hanya disayangi oleh guru gambar kami, Bapak Soemitro, tapi juga oleh cewek-cewek yang tidak hanya terpesona oleh kepiawaiannya melukis, tapi juga, dan terutama, oleh caranya berpakaian. Tubuhnya, yang tinggi ramping, mengenakan baju yang memberi kesan seenaknya dan celana jins yang ketat dengan hiasan sederet kancing metal dari atas sampai ujung kaki.
Han, setahu saya, tidak begitu suka berbagi cerita dengan teman-teman, tapi bisa akrab dengan sejumlah rekan yang suka terpesona oleh caranya berbicara, tak bisa disela, dengan suara keras dan pengucapan yang sangat cepat. Saya pun tidak bisa mengikuti kecepatan bicaranya, tapi mengangguk-angguk saja. Makin tua, kebiasaan omong cepat itu terus berlanjut dan menyentuh hal-hal yang bagi saya asing—yakni metafisika Jawa.
Selama menjadi murid di SMA, kami sangat sering pergi ke tempat sepi, seperti kerkop, dengan alasan yang lebih sering dicari-cari. Di situlah kami berangan-angan tentang masa depan, saling bertanya apa cita-cita dan keinginan kami di masa datang. Selalu saya katakan ingin menjadi penulis dan dengan tegas pula ia membayangkan dirinya sebagai pelukis. Saya merasa sangat senang mendengar jawaban itu karena yakin bahwa pelukis bisa menjadi kaya dan penyair hanya menghasilkan karya yang paling rendah nilai ekonominya. Ya, saya merasa senang karena kami berjanji siapa yang menjadi kaya duluan akan membantu yang tidak atau kurang kaya. Benar, rupanya ia ditakdirkan menjadi kaya berkat lukisannya dan janjinya membantu saya ditepatinya dengan menerbitkan buku kumpulan sajak pertama saya, duka-Mu abadi, pada 1969.
Ia bangga sekali bisa menerbitkan buku itu dan, sampai menjelang akhir hayatnya, menganggap buku itu karya terbaik saya—juga lebih baik dari yang diterbitkan penyair lain di negeri ini. Itulah, saya kira, caranya menjalin persahabatan dan saya hanya nyengir meski tahu ia bersungguh-sungguh dan menyampaikannya dengan bersemangat. O ya, buku itu sampai ke saya ketika saya sedang memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki pada akhir 1969. Sebelumnya, saya “bersumpah” tidak akan memberikan ceramah kalau belum menerbitkan buku. Sumpah itu menjadi beban karena janji Han untuk menerbitkannya belum terlaksana. Semacam keajaiban terjadi ketika di tengah-tengah ceramah itu Sanento Yuliman muncul, dari Bandung, dan menyerahkan duka-Mu abadi—fresh from the oven.
Ada suatu peristiwa yang mengharukan sekaligus menggelikan ketika suatu hari, pada 1960-an, saya bersama penyair Darmanto Jt. (almarhum) mampir ke rumahnya, tapi dia tidak ada di rumah. Kami berdua panik karena tidak punya lagi uang sepeser pun. Untung, Han segera muncul dan dimulailah percakapan panjang tanpa ujung-pangkal tentang entah apa. Ketika kami mau pulang, Han membelikan dua tiket ke Yogya—Darmanto dan saya masih menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Namun, sesampai di stasiun kereta api, kami bingung karena tidak punya uang sepeser pun. Solusinya mudah ternyata: tiket saya dijual, uangnya untuk bekal Darmanto, sedangkan saya kembali ke rumah Han: Nanti aku carikan uang untukmu, Djok.
Saya senang sekali karena bisa melanjutkan keluyuran di Bandung. Namun, ketika saya harus pulang karena mesti menulis skripsi, Han tidak juga bisa mendapatkan uang untuk tiket dan bekal saya pulang. Solusinya juga mudah ternyata: dia menjual benda entah apa miliknya dan menodong kakaknya yang sudah lama tinggal di Bandung agar membekali saya dengan berbagai jenis makanan, termasuk sebotol kecap yang akhirnya malah pecah dan me-ngotori isi tas saya. (Han, kau jangan nyengir di Sana. Itu bukti betapa sayangnya kau padaku!)
Ketika sudah pindah ke Jakarta pada 1970-an, tidak terhitung lagi berapa kali saya menengoknya di Bandung, begadang, berbicara tentang kebiasaan kami bersepeda keluyuran sampai tengah malam, di samping kisah cinta monyet: kami pernah jatuh cinta monyet kepada seorang gadis SMP, adik sahabat kami, tanpa masing-masing tahu tentang itu. Dan ketika kebetulan datang ke rumah teman itu pada hari yang sama, kami berusaha habis-habisan menahan geli: ternyata selama itu kami diam-diam menjadi pesaing. Kisah itu juga menjadi santapan kami setiap kali bertemu. Sampai tua renta.
Sejak1970-an itu pulalah saya suka mengamati gaya lukisan Jeihan. Wajah yang tanpa mata adalah ciri khasnya. Dan ketika saya iseng bertanya mengapa mata ditiadakan, jawabnya sama sekali tidak saya duga: Djok, mata adalah segalanya, lewat mata kita bisa masuk ke dalam diri orang sehingga gerak-gerik tubuh orang tidak lagi menjadi fokus. Jadi, mata aku hilangkan saja biar yang melihat lukisanku fokus ke gerak-gerik dan sosok manusia. Ya, saya percaya sajalah. Mau apa lagi?
Sejak 1970-an itu pulalah saya suka mengamati gaya lukisan Jeihan. Wajah yang tanpa mata adalah ciri khasnya. Dan ketika saya iseng bertanya mengapa mata ditiadakan, jawabnya sama sekali tidak saya duga: Djok, mata adalah segalanya, lewat mata kita bisa masuk ke dalam diri orang sehingga gerak-gerik tubuh orang tidak lagi menjadi fokus. Jadi, mata aku hilangkan saja biar yang melihat lukisanku fokus ke gerak-gerik dan sosok manusia. Ya, saya percaya sajalah. Mau apa lagi?
Namun gaya lukisan Han yang lebih menarik adalah anatomi yang tidak sesuai dengan pakem. Hal itu pernah juga disampaikan pengamat seni rupa, Bambang Bujono. Saya sering menyamakan lukisan Han dengan wayang kulit. Anatomi yang berantakan justru menjadi kekuatannya: lengan, kaki, dan jari yang panjang-panjang tidak pernah mengganggu penghayatan saya atas lukisannya. Bandingkan: tangan Arjuna wayang kulit yang hampir sampai ke mata kaki sama sekali tampak wajar, tetap menonjolkan postur tubuhnya yang ramping sekaligus cekatan dan perkasa. Perhatikan lukisan Han: perempuan-perempuan cantik justru menonjol kecantikannya karena anatomi yang tidak menuruti pakem itu. Dan ketika beberapa kali diajak masuk ke ruang khusus untuk menyimpan sejumlah besar lukisan dan tempatnya melukis, saya makin paham bagaimana dia melaksanakan pekerjaannya sebagai seniman.
Han melukis di atas apa pun: kertas, kanvas, kayu. Ia menggunakan cat air, cat minyak, dan semua bahan yang dimilikinya. Ia juga membuat patung dan salah satu yang menjadi sasarannya adalah saya. Di studionya, ada patung lelaki telanjang yang bagian bawahnya ditutupi sarung untuk menyembunyikan barang haram (?). Di bawah patung itu ada nama saya. “Barang haram”-nya panjang sekali. Pernah memang dia minta izin membuat patung itu dan saya katakan oke dengan syarat “itu”-nya panjang—dan itu dilaksanakannya. Semua patung dikerjakannya sendiri. Suara pukulan di atas metal memang terdengar bising, tapi ia tampak menikmatinya.
Han bekerja sangat cepat. Itu saya saksikan sendiri ketika dia melukis Slamet Rahardjo dan saya. Ketika melukis saya di atas kanvas seukuran kira-kira 3 x 3 meter, Han yang pakai sarung terpaksa naik-turun tangga. Pada 2009, ketika saya minta dengan paksa beberapa sketsa untuk buku puisi saya, Kolam, dengan cepat dia mengambil lembaran-lembaran tripleks tebal dan mencukilnya. Hasilnya adalah sejumlah cukilan kayu yang beberapa di antaranya saya pasang di buku-buku puisi saya.
Itu semua pengalaman saya sebagai “sahabat sampai kiamat”. Tidak mungkin saya melupakan itu. Beberapa tahun terakhir, ia sering menelepon saya, bercerita tentang kesehatannya yang mengharuskannya berobat ke Singapura setiap bulan. Han juga bercerita telah menyerahkan sejumlah lukisan untuk dipajang di beberapa kedutaan besar RI. Laki-laki tinggi dan ramping yang di masa mudanya disayangi cewek-cewek dan bersahabat dengan cowok-cowok pengagumnya itu telah meninggalkan kita. Saya tidak bisa ikut melepasnya—karena masalah kesehatan. Dalam sebuah unggahan di media sosial, saya menulis: Saya tidak boleh cengeng! Itu justru bukti kecengengan saya. Ia menunggu saya dengan sabar di Sana.
SAPARDI DJOKO DARMONO, GURU DAN SASTRAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo