Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Para kelinci percobaan

Olimpiade xxiv seoul selain ajang adu prestasi olah raga juga memacu industri farmasi memproduksi obat perangsang lebih canggih. brigit dressel, 26, meninggal akibat penggunaan doping.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN cuma Olimpiade yang bebas teror dan pemboikotan yang diimpikan orang. Banyak yang kmi mengharapkan agar Olimpiade Seoul nanti bebas dari doping. Kini memang bukan rahasia lagi bahwa banyak olah ragawan kelas dunia menggunakan obat perangsang. Berbagai upaya dilakukan para atlet untuk mencapai prestasi terbaik. Apalagi kalau menjadi sang juara artinya sama dengan bergelimangan uang. Iming-iming inilah yang membuat mereka ingin mencapainya dengan segala cara, sekalipun harus melalui jalan yang tercela. Karena itulah pengawasan terhadap penggunaan obat terlarang ini bakalan ekstraketat terhadap atlet yang berlaga di Olimpiade XXIV Seoul. "Penggunaan doping sangatlah bertentangan dengan falsafah olah raga. Karena itu tak ada kompromi terhadapnya," ujar Presiden IOC Juan Antonio Samaranch. Olimpiade Seoul memang bakal jadi ajang pengujiannya. Apakah tim medis IOC mampu mendeteksi penggunaan doping oleh para atlet? Atau justru sebaliknya, perusahaan-perusahaan farmasi yang unggul dalam mengelabui tes penggunaan obat perangsang. Penggunaan doping kini memang semakin canggih dan banyak pilihan. Berbagai perusahaan farmasi dengan agresif menawarkan bermacam-macam jenis obat -- dalam bentuk injeksi atau pil -- serta sejumlah metode treatment yang mampu memacu penampilan atlet. Di antaranya, penggunaan Amphetamins, Benzendrine, Dexedrine, yang dapat meningkatkan saraf refleks seorang atlet, sehingga menjadi lebih agresif. Atau yang paling populer adalah Anabolik Steroid dan Testosteron, yang banyak digunakan-oleh atlet cabang renang, angkat besi, atau atletik. Inilah obat yang mampu membentuk dan memperbesar otot-otot tubuh. Efek sampingnya memang mengenaskan, khususnya terhadap atlet wanita. Mereka akan berubah menjadi maskulin: berotot kelaki-lakian dan ditumbuhi bulu di sekujur tubuhnya. Pemakaian obat ini juga berakibat meningkatnya tekanan darah, memompa jantung lebih kencang, memperbesar prostat, mengurangi jumlah sperma, dan menggenjot lever bekerja terlalu keras. Jenis obat lainnya Beta-Blockers, yang mampu menahan hormon adrenalin dalam tubuh sehingga seseorang menjadi "tenang". Obat ini banyak digunakan atlet menembak, panahan, atau bilyar. Yang juga trendy belakangan ini adalah metode Blood Doping. Seorang atlet mengambil sel darah merahnya sendiri dan kemudian disimpan. Setelah diproses beberapa lama, sel darah itu disuntikkan kembali ke dalam tubuhnya. Dampaknya memang fantastis. Kemampuan atlet tersebut untuk menyerap oksigen semakin besar, karena peranan sel darah merah dalam tubuhnya yang sudah diproses itu. Bintang Olimpiade Carl Lewis, yang dikenal anti terhadap doping, sudah lama merasa gusar melihat ulah rekan-rekannya sesama atlet yang tak lagi memikirkan tujuan berolah raga. "Akibatnya, banyak sudah orang yang mati karena obat perangsang, dan itu semua mudah terlupakan," kata pelari andalan AS itu. Apa yang dikatakan Lewis memang benar. Setidaknya, ia mengingatkan kembali tewasnya seorang atlet putri saptalomba asal Jerman Barat, Brigit Dressel, karena penggunaan obat perangsang dengan dosis yang berlebihan, April tahun silam. Gadis berusia 26 tahun itu diperkirakan pernah menerima 400 suntikan Anabolik Steroid dalam kariernya sebagai atlet. Ironisnya lagi, para dokter yang "menanganinya" ternyata ikut menggenjot cewek manis berambut pirang itu. Brigit Dressel dipaksa melakukan Blood Doping. Akibatnya fatal. Hasil otopsi menunjukkan bahwa ginjal, tulang belakang, dan tulang panggul serta katup jantungnya sudah mengalami kerusakan yang kronis. Arena olah raga memang tak lagi sekadar ajang untuk memperbaiki nasib masa depan atlet. Tapi gengsi sebuah negara juga ikut dipertaruhkan. Apalagi di kancah prestisius seperti Olimpiade. Maka, tak heran kalau sejumlah pelatih dan ilmuwan -- bahkan pemerintah sekalipun -- secara terang-terangan ikut terlibat dalam praktek tercela ini. Karena itu, banyak olah ragawan yang sebenarnya cuma menjadi kelinci percobaan. Di Seoul nanti, para atlet dari negara-negara Dunia Ketiga pasti akan kedodoran menghadapi persaingan teknologi yang tak sehat ini. Tapi merekalah sebenarnya yang beruntung karena luput -- atau belum terjamah -- dari kungkungan mafia farmasi ini. Ahmed Kurnia Soeriawdjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus