Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sang Juara Dengan Serundukannya

Ellyas pical, 31, menang angka dengan petinju ki chang kim, 26, dari kor-sel. para penonton tak puas. keduanya tidak menunjukkan keistimewaan sebagai petinju. terutama elly, killing punchnya mati.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELLYAS Pical, dengan sisa-sisa sengatan tangan kiri (plus serudukannya), akhirnya memaksa penantangnya Ki Chang Kim dari Korea Selatan menyerah dengan angka, Minggu malam lalu di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya. Bermain seadanya dan hampir tanpa keistimewaan Ellyas dimenangkan dengan angka. Sejak merebut kembali gelar juara dunia kelas slper terbang IBF dari Tae Il Chang dari Korea Selatan, Oktober 1987, di Istora Senayan, Jakarta, bagi Pical ini merupakan keberhasilan kedua mempertahankan gelarnya. Februari 1988 lalu, di Pontianak, Pical menaklukkan Raul Diaz dari Kolumbia juga dengan angka -- dalam suatu pertarungan sengit yang brutal. Di usia 31 tahun, Ellyas Pical memang jauh menurun. Pukulan kirinya, yang dulu sangat dahsyat, kini tak seefektif dulu. Tangan kanannya -- yang kabarnya diupayakan agar lebih hidup -- tampak tak lebih sebagai pengukur jarak. Ki Chang Kim sendiri adalah seorang boxer yang ragu-ragu. Pemuda lajang 26 tahun ini tak pandai memanfaatkan kelebihan jangkauan tangan (Elly 65 cm dan Kim 70 cm) dan tinggi badannya (Elly 1,64 m dan Kim 1,75 m). Sejak awal ronde, Kim cuma melontar-lontarkan tangan kirinya ke udara, maksudnya memancing agar Pical datang menyerang. Kalau Pical datang, Kim akan melontarkan straight kanannya yang tidak keras. "Kim memang tak punya killing punch," ujar Syamsul Anwar, bekas petinju, kini komentator tinju TVRI. Tak seperti Cesar Polanco -- petinju Dominika yang sempat merebut gelar juara dunia Elly Pical -- yang juga boxer, Kim sama sekali tak berani masuk memukul dan keluar kembali dengan footwork-nya yang enteng. Ia lebih banyak memancing Pical untuk memukul dulu dan menunggu. Sedangkan Pical adalah seorang counter boxer yang selalu menunggu mangsanya dengan tenang dan sabar. Anak Saparua, Ambon, ini lebih banyak mengandalkan serangan balik. Keduanya saling menunggu. Maka, jadilah pertandingan itu tak enak ditonton dan monoton. "Pukul ... pukul . . . aku ini bayar," teriak seorang penonton di ring-side dengan jengkel. Maklum, ia membayar Rp 250 ribu untuk duduk di ring-side itu. Panitia memang mengedarkan karcis cukup mahal untuk ukuran Surabaya: Rp 150 ribu (VIP), Rp 50 ribu (kelas utama), dan Rp 15 ribu di tribun. Karena itu, hanya sekitar 6.000 penonton datang ke Gelora 10 Nopember itu. Sementara itu, di ring, kedua petinju masih saja saling menunggu. Sampai pada ronde ke-3, sebuah straight kanan Kim masuk ke muka Pical dan ia terbungkuk. Namun, Kim tak berani datang menyerbu. Mengapa? "Saya perintahkan Kim tetap sabar dan menjaga jarak pukul. Ia boleh masuk setelah ronde ke-6 karena Elly 'kan sudah tua. Elly habis napas setelah ronde itu," begitu pengakuan Hwa Sung Lee, pelatih Kim, pada TEMPO soal strategi anak buahnya. Dan hampir saja Elly terjebak di ronde ke-4. Setelah sebuah pukulan kanan Kim masuk telak, Pical tampak emosional dan terus memburu Kim. Kontrolnya hilang. Ia asal memukul. Akibatnya, banyak pukulan kirinya terlontar keras dan percuma. Untung saja, Kim tak memanfaatkan keadaan ini. Peringkat ke-8 IBF yang juga taekwondoin ini malah banyak ditegur wasit karena menekan kepala Elly. "Beta ditekan terus mana bisa angkat kepala. Lama-lama kita bisa lemas," tutur Pical keesokan harinya. Kondisi Pical sendiri mengharuskan ia banyak bertahan. Sejak menikah dengan calon dokter gigi Rina Siahaya -- dan berbulan madu ke Amerika -- praktis Elly hanya berlatih sekitar sepuluh minggu. Menurut Dokter Suhantoro, yang menangani Pical, ketika naik ring Hb Elly tercatat 14,6 dan VO 2 Max-nya 51,9. Meskipun ukuran ini tak menggambarkan kondisi fisik sepenuhnya, dengan takaran sebegitu Pical diperkirakan hanya mampu infight selama delapan ronde. "Di atas ronde itu, Elly bisa kepayahan dan tidak mustahil kalah," tutur Suhantoro pada Gunung Sardjono dari TEMPO. Sekali lagi untung. Di ronde ke-7, ketika Pical memancing Kim masuk dengan mengangkat tangan kanannya, Kim benar-benar datang. Dan . . . plak . . . straight kiri Ellyas Pical, andalannya selama ini, menyambar rahang kanan Kim yang bergerak maju -- seolah menyongsong pukulan itu. Benturan keras itu merebahkan anak kelahiran kota Hong Sung itu. Tapi Kim memang tahan pukul: ia cepat bangkit dan wasit menghitung ketika ia berdiri lagi. Boleh jadi, ketahanan fisik Kim dipengaruhi menu makanannya. Sepuluh tahun terakhir ini, anak pengusaha supermarket itu sudah melahap 5 ribu mangkuk baem tang atau sup ular Kobra. Menjelang pertarungan, agar berat badannya tak melonjak, Kim hanya makan kim chee, sayur sawi khas Korea. Menjelang pertandingan, pasar taruhan Surabaya miring ke Kim. Soalnya, Pical sempat KO dalam latih tanding lawan Yance Mandagie dari sasana AMI/ASMI, meski kubu Elly berusaha menutup-nutupinya. "Elly memang saya KO di ronde satu, dari rencana tiga ronde. Bukan KO saja, Elly juga digotong ke sudut ring dan dipijit. Setelah lima menit baru dia sparring dengan Boy Kelung," tutur Yance, 21 tahun, pada TEMPO. Alhasil, banyak penonton kecewa dengan penampilan Elly di kejuaraan dunia yang digelar Promotor Anton Sihotang dengan biaya Rp 400 juta itu. Ada juga yang meragukan jumlah bayaran Elly Pical yang Rp 150 juta itu. Pada TEMPO, Anton tegas-tegas mengatakan semua pembayaran Elly sudah dibereskan Senin malam lalu di Hotel Elmi, Surabaya. Begitu juga bayaran US$ 15 ribu untuk Kim. Namun, dari kubu Kim ada suara lain. "Kami cuma dibayar lima ribu dolar," kata salah seorang rombongan Kim. Adakah ini cuma sekadar "diplomasi" dagang tinju? Entahlah. Yang jelas, menurut sebuah sumber TEMPO, sampai hari pertandingan tiba, promotor masih merugi sekitar Rp 60 juta. Namun, Anton Sihotang membantah. "Pas-pasan, kok." Toriq Hadad, Wahyu muryadi, dan Zed Abidien (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus