BANYAK cara untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa", antara lain lewat kegiatan gambar-menggambar. Uniknya, kegiatan itu terus berlangsung sejak dua tahun lalu, di sebuah daerah terpencil dan terisolasi di Jawa Timur. Tepatnya di Dukuh Brumbun, Kelurahan Ngrejo, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Yang menjadi obyek untuk digambar adalah kehidupan sehari-hari di sekitar mereka: bangunan SD, rumah nelayan, orang bermain bola, menjala ikan. Malah dengan imajinasi dan teknik yang terbatas, sesuai dengan usia anak SD, ada yang menggambar dua orang bertengkar gara-gara rebutan air. Di dusun itu air memang menjadi masalah. Hasil coretan tangan-tangan mungil itu dipajang dalam pameran seni rupa "Dialogis Transformatif" di Lingkar Mitra Budaya, Jalan Tanjung, Jakarta, 26-31 Agustus lalu. Tentu saja lukisan mereka -- tepatnya 26 murid SD Ngrejo IV Brumbun -- itu tak bisa ditilik begitu saja dari sudut seni. Karena itu, pameran ini disertai brosur panjang yang menelaskan bagaimana proses menggambar itu berlangsung dan bagaimana konsep "mencerdaskan kehidupan bangsa" dimulai di sana. Suatu hari di awal tahun 1986, Moelyono, seni rupawan lulusan Institut Seni Indonesia (dulu STSRI "ASRI") Yogyakarta, datang ke Dukuh Brumbun. Ia bertekad ingin larut dengan kehidupan di daerah miskin itu. "Seorang seniman, jika ingin memahami dan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai masalah sosial, ia harus berada pada posisi dialogis dengan rakyat bawah yang punya masalah itu," ujarnya. Dan sarana dialog yang ia gunakan adalah gambar, "Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya." Moelyono tidak lantas mendirikan kursus menggambar. Ia hanya mengenalkan alat-alat gambar seperti pensil, spidol, dan kertas. Ia lalu mengajak anak-anak usia SD itu bermain-main dengan gambar. "Mereka kekurangan sarana bermain," kata bujangan berusia 31 tahun itu. Selanjutnya, anak-anak itu diajak memahami bahwa "menggambar selain merupakan kegiatan bermain juga bisa menjadi media bercerita". Moelyono, yang tinggal di Tulungagung, tiga kali seminggu datang ke dukuh itu, menempuh jarak 26 km -- sekitar 5 km jalan kaki menembus hutan Jati. Kegiatan ini mirip dengan "Kelompok Anak Merdeka" yang diperkenalkan Susiawan di Bandung. Kreativitas anak itu dipacu. Kalau ia menggambar sesuatu, harus bisa memberi alasan kenapa sesuatu itu digambar. Bedanya dengan "Kelompok Anak Merdeka", anak-anak Dukuh Brumbun ini terbatas menggambar obyek di sekitar dukuh itu saja. Sehingga, diskusi berkisar pada masalah bagaimana menghadapi problem sosial setempat. Di situ sebenarnya proses pendidikan berlangsung. Seorang anak yang menggambar bangunan rumah atau orang menarik jaring, kemudian bisa bercerita bahwa itu perwujudan dari sikap gotong royong. Lalu ada anak yang menggambar orang berkelahi karena berebut air. Penjelasannya bukan saja perbuatan itu tak terpuji, tetapi melebar pada bagaimana dukuh itu kesulitan air dan bagaimana mengatasinya. Jadi, anak-anak itu sudah melakukan kritik dan sekaligus pemecahan terhadap problem lingkungannya, yang bermula lewat gambar. Moelyono kemudian melangkah lebih auh bersama anak-anak asuhnya. Tahun 1987 ia memamerkan sekitar 400 lukisan anak-anak itu di Bentara Budaya, Yogyakarta. Dari hasil penjualan lukisan, Rp 200 ribu dipakai untuk membangun sebuah bak penampungan air di Brumbun. Anak-anak itu pun semakin kreatif, kritis, pintar berargumentasi, dan merasa punya empat di masyarakat. Dan bila Moelyono membawa 300 lukisan mereka ke Jakarta dan digelar di Lingkar Mitra Budaya, memang ada maksud khusus. "Untuk membeli alat-alat gambar dan seragam sekolah," katanya. "Sekolah perlu tapi bukan satu-satunya tempat untuk mencari ilmu." YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini